RUPANYA Ki Ageng Pandan Alas merasa sayang pula pada tanaman-tanamannya kalau tak ada yang memetiknya. Tetapi karena menunggu jagung itulah maka Mahesa Jenar terpaksa terikat dalam keadaan yang sulit.
Pada hari pertama, Mahesa Jenar memerlukan untuk mengenal seluruh daerah di sekitar bukit kapur itu. Benarlah kata Ki Ageng Pandan Alas, bahwa di belakang bukit itu banyak terdapat tanaman jagung yang subur. Sedangkan agak kesamping sedikit terdapat sebuah blumbang yang berair jernih.
Demikianlah Mahesa Jenar berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan Ki Ardi. Merebus jagung dan membakar daging hasil buruan semalam. Kemudian mengelilingi tanaman jagung, kalau-kalau diganggu burung, makan pagi, berburu dan seterusnya.
Pada hari kedelapan ia telah mulai merasa jemu. Apalagi sebuah tugas yang besar, yaitu membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten masih menantinya. Tetapi meskipun demikian disabarkan juga hatinya sebab jagung yang sudah mulai kuning itu dua hari lagi pasti sudah masak untuk dipetiknya.
Tetapi pada hari ke 9 terjadilah suatu hal yang dapat merubah rencananya.
Pada hari itu Mahesa Jenar sedang sibuk menyalakan api sebagaimana dilakukan tiap-tiap hari apabila malam tiba, seperti juga yang dilakukan oleh Ki Ardi. Tiba-tiba telinganya yang tajam menangkap suara beberapa orang yang dihanyutkan angin utara. Suara itu semakin lama semakin jelas, sehingga dapat diterka bahwa orang-orang itu sedang mendekatinya. Mahesa Jenar tidak tahu siapakah kira-kira orang-orang yang datang itu. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki maka segera Mahesa Jenar menyelinap masuk ke dalam goa. Dari sana, dari dalam gelap, ia akan dapat melihat siapakah mereka itu, apabila mereka mendekati perapian.
Benarlah dugaannya. Beberapa orang datang beriring-iringan mendekati perapian. Di muka sendiri berdiri seorang gagah tegap. Sedang di belakangnya berjalan seorang yang tinggi agak kekurus-kurusan. Di belakangnya lagi berjalan seorang yang pendek bulat dan berkumis lebat. Di belakang mereka berjalan beberapa orang yang tampak garang-garang.
Melihat orang yang berjalan paling depan darah Mahesa Jenar berdegupan. Segera teringatlah ia akan wajah seseorang yang pernah dibinasakannya. Yaitu Watu Gunung. Teringatlah Mahesa Jenar akan kata-kata Sagotra bahwa seorang saudara kembar Watu Gunung, yaitu Wadas Gunung, sedang mencarinya. Kalau demikian pastilah orang yang berjalan paling depan itu Wadas Gunung, sedangkan yang lain adalah sebagian dari rombongan gerombolan Lawa Ijo yang berjumlah 18 orang.
Mahesa Jenar masih saja berdiri di dalam gelap. Kalau tidak perlu, ia akan menghindari bentrokan-bentrokan yang akan terjadi.
Tiba-tiba orang yang pendek bulat itu berteriak dengan nyaringnya. “Ardi…, Ki Ardi…!”
Mahesa Jenar jadi bimbang. Perlukah panggilan itu dijawab? Kalau demikian halnya, pastilah segera dikenal bahwa suaranya lain dengan suara Ki Ardi. Karena itu maka ia berdiam diri saja.
Karena tidak mendapat jawaban, orang pendek itu mengulangi lagi, teriaknya. “Ardi…, hai Ki Ardi. Jangan main-main. Kali ini waktu kami hanya sedikit. Kami hanya ingin mendapat beberapa ontong jagung untuk makan kami besok. Sesudah itu kami akan pergi.”
Kembali suara itu tidak mendapat jawaban.
“Orang tua gila. Masih saja ia suka bermain gila dalam waktu yang begini.”
“Ki Ardi…! Kami sedang sibuk dengan tugas kami. Keluarlah! Jangan bermain gila-gilaan selagi kami tergesa-gesa,” teriak yang tinggi kurus itu kemudian.
Juga teriakan ini lenyap ditelan malam tanpa ada jawaban. Rupanya Wadas Gunung menjadi jengkel.
“Carang Lampit dan Bagolan. Masuklah. Seret orang itu keluar dan ambil saja persediaan makanan yang ada. Aku masih ingin menunggu setan itu sampai tiga hari,” kata Wadas Gunung.
Mahesa Jenar segera menangkap isi kata-kata Wadas Gunung. Rupanya dalam menunggu kedatangannya, rombongan itu kehabisan makanan. Sedang yang dimaksud dengan setan yang ditunggu itu, pastilah dirinya. Kembali Mahesa Jenar bimbang. Apakah yang akan dilakukan? Untuk tetap berdiam diri di dalam goa adalah sangat berbahaya. Apabila benar-benar ada diantara mereka yang masuk dan mengenalnya, maka pasti akan terjadi perkelahian. Dan perkelahian melawan beberapa orang, di ruangan yang sempit tidaklah menguntungkan baginya.
Karena itu, segera sebelum orang yang disebut Carang Lampit dan Bagolan itu memasuki goa, Mahesa Jenar telah lebih dahulu meloncat ke mulut goa. Kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu sangat mengejutkan seluruh rombongan Lawa Ijo. Juga Bagolan yang pendek bulat, Carang Lampit yang tinggi kekurus-kurusan, bahkan juga Wadas Gunung sendiri. Baru setelah beberapa saat Wadas Gunung dapat mengatur perasaannya bertanyalah ia, “Siapakah kau yang berada di rumah Ki Ardi?”
“Aku adalah anaknya,” jawab Mahesa Jenar.
Wadas Gunung mengerutkan alisnya, kemudian katanya, “Sudah sejak lama aku mengenal Ki Ardi. Tetapi tak pernah aku mendengar bahwa ia mempunyai seorang anak.”
“Aku kira tidak ada perlunya untuk menceriterakan anak-anaknya kepada orang lain,” jawab Mahesa Jenar
Kembali Wadas Gunung menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi sementara itu ia pun tidak habis-habisnya mengamat-amati tubuh Mahesa Jenar. Akhirnya diketemukannya ciri-ciri yang cocok dengan keterangan yang diterimanya dari Ki Pasingsingan. Karena itu tiba-tiba saja ia bertolak pinggang dan dari mulutnya berderailah sebuah tawa yang mengerikan yang menusuk-nusuk ulu hati, seperti suara jeritan hantu kubur.
Melihat sikap Wadas Gunung serta mendengar derai tertawanya, tahulah Mahesa Jenar, bahwa Wadas Gunung telah mengenalnya. Karena itu ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
SETELAH beberapa lama surutlah suara tertawanya. Dan demikian suara itu berhenti, berteriaklah Wadas Gunung itu dengan suaranya yang nyaring.
“Hai, seluruh rombongan yang sedang mencari seorang yang bernama Rangga Tohjaya. Pantaslah, bahwa orang ini dapat memperpanjang umurnya sampai sembilan hari, karena ia disembunyikan oleh Ki Ardi. Tetapi bagaimanapun akhirnya orang itu dapat kami temukan juga. Nah, sekarang pandanglah orang ini dengan baik, amatilah dengan saksama, sebab sebentar lagi ia harus kita binasakan. Sekarang kita boleh mengaguminya sebagai seorang yang perkasa, yang telah berhasil membunuh saudara kembarku Watu Gunung dan yang dapat melukai pemimpin kami Lawa Ijo. Dendam kami adalah setinggi gunung, sedalam lautan. Sekarang bersiaplah dan jangan lepaskan orang ini. Juga setelah orang ini binasa, harus dibinasakan juga Ki Ardi, yang telah berusaha membebaskan orang ini dari tangan kita.”
Mendengar kata-kata Wadas Gunung, segera setiap orang anggota gerombolan itu mempersiapkan diri dan mencabut senjata masing-masing. Sebagian besar dari mereka bersenjatakan sebilah belati panjang sebagai senjata yang khusus diperuntukkan anggota rombongan Lawa Ijo. Tetapi diantaranya ada juga yang bersenjata dua. Di tangan kirinya ia memegang pisau belati panjang, sedang tangan kanannya menggenggam sepotong carang pring ori sebesar ibujari kaki, tetapi panjangnya tidak lebih dari lima jengkang.
Bagolan, di kedua belah tangannya menggenggam bola besi bertangkai. Wadas Gunung sendiri ternyata juga tidak mau memandang ringan kepada Mahesa Jenar. Ia pun memegang dua buah senjata di kedua belah tangannya. Yaitu belati panjang.
Melihat semua lawannya bersenjata, Mahesa Jenar mulai menimbang diri. Hatinya terasa berdegupan juga. Sebab orang-orang seperti Wadas Gunung, Carang Lampit, Bagolan dan sebagainya tampaknya bukan pula orang sembarangan. Apalagi kini mereka menggenggam senjata masing-masing. Maka mulailah Mahesa Jenar berpikir. Di manakah tempat yang paling menguntungkan untuk melawan mereka ?
Di mulut goa, ia tidak akan dapat diserang dari samping dan belakang. Tetapi kalau ujung-ujung senjata itu bersama menyerangnya dari depan, sulit baginya untuk menghindar. Maka lebih baik baginya apabila bertempur di tempat terbuka. Ia akan dapat mempergunakan kegesitan, serta mudah-mudahan gelap malam di luar membantunya.
Mendapat pikiran itu, sebelum Mahesa Jenar mendapat serangan, segera ia meloncat dengan kecepatan yang luar biasa, menerobos orang-orang yang mengepungnya. Dan tahu-tahu Mahesa Jenar telah berada di belakang mereka, di dekat api yang menyala-nyala. Secepat kilat tangannya memegang dua batang kayu yang sedang dimakan api. Dengan kedua batang cabang kayu sebesar lengan itulah ia siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat kecepatan Mahesa Jenar bergerak, hampir semua orang sangat heran sampai terdiam seperti patung. Dengan loncatan yang hampir tak dapat dilihat, kepungan mereka dengan begitu saja sudah dapat ditembus.
Menyaksikan buruannya telah berada di luar jaring, Wadas Gunung menjadi marah sekali. Sehingga dengan teriakan keras ia memerintahkan kepada anak buahnya segera untuk mengepung kembali.
Wadas Gunung sendiri bersama-sama Carang Lampit, Bagolan, Seco Ireng, Cemara Aking, dan Tembini, langsung menyerang. Meski dikurangi Sagotra, tujuh tokoh itu merupakan tenaga gabungan yang luar biasa kuatnya, meskipun tidak lengkap. Senjata mereka tampak gemerlapan memenuhi udara dan seolah-olah bergulung-gulung melanda Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar segera melihat bahaya yang akan datang.
Sudah pasti Mahesa Jenar tidak akan dapat sekaligus menangkis serangan dari enam orang yang mempunyai kekuatan yang cukup. Karena itu segera Mahesa Jenar mencari akal. Maka dengan tiba-tiba tanpa diduga oleh seorangpun, Mahesa Jenar dengan kedua cabang kayu di tangannya memukul api yang sedang menyala-nyala ke arah penyerang-penyerangnya. Segera bara-bara api serta potongan-potongan kayu yang masih menyala bertebaran di udara dan mengarah kepada lawan-lawannya.
Wadas Gunung beserta kawan-kawannya terkejut bukan alang kepalang. Sama sekali tak terlintas di dalam pikirannya, bahwa serangan mereka akan mendapat sambutan begitu panas. Karena itu segera mereka sibuk menghindarkan diri dari serangan api. Mereka yang sempat menghindar segera berloncatan kian kemari, sedang mereka yang tidak lagi mempunyai kesempatan, segera berusaha memukul api itu dengan senjata masing-masing.
Melihat kebingungan itu Mahesa Jenar tidak menyia-nyiakan waktu. Segera ia melompat serta memutar kedua potong kayunya, menyerang keenam orang yang masih belum sempat mempersiapkan diri. Serangannya ini ternyata mempunyai hasil yang cukup baik. Kayu di tangan kirinya dengan derasnya menyambar Cemara Aking.
Melihat serangan yang datang tiba-tiba itu Cemara Aking tidak sempat menghindar. Maka yang dapat dilakukan hanyalah menangkis serangan Mahesa Jenar dengan kedua pisau belati panjangnya yang disilangkan di muka kepalanya.
Tetapi pukulan Mahesa Jenar demikian kerasnya sehingga tangan Cemara Aking tidak mampu untuk melawannya. Ia tak berhasil menghindarkan kepalanya dari benturan kayu Mahesa Jenar.
Segera pemandangannya menjadi kuning berputaran, serta kepalanya seolah-olah ditindih batu yang besar sekali. Cemara Aking terhuyung-huyung surut beberapa langkah ke belakang dan akhirnya ia terduduk lemah.
Dalam saat yang bersamaan pula, tangan kanan Mahesa Jenar sempat menyambar lambung Carang Lampit. Tetapi Carang Lapit ternyata mempunyai kekuatan yang cukup pula sehingga ia berhasil mengurangi tekanan serangan Mahesa Jenar dengan carang orinya. Meskipun demikian lambungnya terasa sakit bukan kepalang. Dan ini telah banyak mengurangi kebebasan geraknya.
Melihat kedua kawannya dikenai dalam saat yang sangat singkat Wadas Gunung menjadi bertambah marah, disamping perasaan keheranan serta keseganan yang merambati hatinya. Segera iapun membuka sebuah serangan dengan menusuk dada Mahesa Jenar.
MAHESA JENAR dengan gerakan yang sedikit saja, dengan menarik tubuhnya miring tanpa mengubah letak kakinya, telah dapat menghindari serangan Wadas Gunung. Malahan dengan tangan kirinya ia sempat menyodokkan batang kayunya ke perut lawannya. Melihat serangannya gagal serta malahan mendapat serangan balasan, segera Wadas Gunung meloncat ke samping.
Pada saat itu, serangan Tembini datang sangat mendadak, dengan sebuah tombak terkait. Melihat kilatan senjata yang dengan cepatnya mengarah ke perutnya, Mahesa Jenar agak terkejut. Rupanya Tembini yang masih muda ini mempunyai kegesitan yang luar biasa. Tetapi segera Mahesa Jenar melihat kekurangan lawannya. Belum lagi ia yakin bahwa serangannya akan berhasil, ia sudah mempergunakan seluruh kekuatannya, sehingga ia tidak lagi mempunyai tenaga cadangan.
Melihat hal itu segera Mahesa Jenar dengan sebagian besar kekuatannya menghantam mata tombak Tembini dengan kayunya, sehingga terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Tangan Tembini bergetar hebat sampai terasa sakit, sedang tombaknya menancap ke kayu Mahesa Jenar. Belum lagi Tembini sadar, Mahesa Jenar telah merenggut kayunya sehingga terseretlah tombak Tembini itu, dan terlepas dari tangannya.
Tetapi belum lagi Mahesa Jenar menangkap tombak pendek itu, Bagolan orang yang pendek bulat, dengan garangnya meloncat sambil memutar bola besinya yang bertangkai. Mahesa Jenar melihat serangan yang akan datang. Tangan kanannya yang memegang kayu dimana tombak Tembini menancap, pastilah belum dapat dipergunakan dengan baik. Maka sebelum Bagolan mencapai jarak yang cukup untuk mempergunakan senjatanya, Mahesa Jenar dengan kekuatan yang hampir penuh melemparkan kayu di tangan kirinya ke arah Bagolan.
Kayu itu meluncur cepat, sehingga Bagolan tidak lagi dapat berbuat lain daripada menangkis serangan itu dengan kedua bola besinya. Tetapi serangan Mahesa Jenar terlalu deras dan keras. Maka ketika terjadi benturan yang hebat, salah satu bolabesi Bagolan ikut serta terlempar bersama kayu Mahesa Jenar, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang tak terhingga pada telapak tangan Bagolan.
Dengan demikian maka terpaksalah ia mengurungkan serangannya dan berlari-lari mengambil bola besinya yang terjatuh. Dalam saat yang sekejap itu Mahesa Jenar telah dapat mencabut tombak berkait Tembini yang menancap di batang kayunya. Mendapat senjata yang cukup baik itu, Mahesa Jenar menjadi bertambah garang. Meskipun pada saat itu segera datang pula serangan Wadas Gunung dan Seco Ireng bersama-sama, tetapi serangan-serangan itu dapat pula satu demi satu dipunahkan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Api yang dinyalakan Mahesa Jenar sudah tidak lagi menyala.
Hal ini sangat menguntungkan Mahesa Jenar yang berpandangan tajam sekali. Ia melawan kerubutan itu dengan berloncatan kesana-kemari, menyusup diantara mereka dan kadang-kadang meloncat menjauhi. Tetapi lawannya bukan orang-orang sembarangan. Ternyata Wadas Gunung mempunyai kecakapan sejajar dengan Watu Gunung. Sedangkan Carang Lampit hanya sedikit berada di bawah Wadas Gunung.
Untunglah orang ini telah dilukainya lebih dulu sehingga geraknya tidaklah berbahaya sekali. Bagolanpun ternyata tidak kalah gesitnya dengan Gagak Bangah yang bersama-sama dengan Watu Gunung dulu mengerubutnya. Ditambah lagi dengan Seco Ireng, Tembini dan Cemara Aking yang baru dapat bergerak sedikit-sedikit saja, karena kepalanya masih pening sekali. Disamping itu mereka masih mempunyai tenaga cadangan yang siap menyerangnya dari segala jurusan.
Ketika pertempuran itu sedang berlangsung dengan dahsyatnya, dimana masing-masing pihak berusaha untuk mengalahkan lawannya. Maka di sebelah timur membayanglah warna fajar. Langit yang kelam menjadi kemerah-merahan, sedangkan bintang fajar memancar dengan cemerlangnya.
Melihat cahaya merah itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Apabila sebentar lagi langit menjadi terang, akan sulitlah kedudukannya. Apalagi sampai saat itu saja sudah terasa bahwa tenaganya sebagai manusia biasa adalah sangat terbatas. Melawan 6 orang cukup kuat, ditambah lagi yang lain-lain yang telah pula mulai bergerak mengeroyoknya, adalah suatu pekerjaan yang barangkali diluar kemampuan tenaganya yang biasa.
Tekanan yang kuat dari Wadas Gunung, serangan yang tiba-tiba dari Tembini yang telah bersenjatakan pisau belati panjang, gempuran-gempuran bola bertangkai Bagolan, sambaran-sambaran carang ori yang tidak kalah berbahayanya, serta tusukan-tusukan parang Seco Ireng yang dahsyat adalah bahaya-bahaya yang setiap saat dapat merenggut jiwanya.
Dalam keadaan gelap, mereka masih agak ragu-ragu mempergunakan senjata itu, sebab Mahesa Jenar selalu berusaha untuk membelit lawan-lawannya. Tetapi kalau matahari sudah terbit, akan berbedalah keadaannya. Mungkin ia tak akan mampu melawan sampai tengah hari saja. Karena itu mengingat keselamatan diri, tugas yang masih harus diselesaikan serta pertimbangan yang sebaik-baiknya, adalah membinasakan gerombolan hitam itu.
TERLINTAS dalam pikiran Mahesa Jenar untuk segera menyelesaikan pertempuran ini sebelum fajar. Adapun cara satu-satunya adalah dengan mempergunakan ilmunya Sasra Birawa, di sisi telapak tangan kanannya, digabungkan dengan kemahirannya mempergunakan segala macam senjata dengan tangan kirinya. Dan untunglah pada saat itu ia memegang sebuah tombak berkait. Dengan mempergunakan gabungan kedua macam kekuatan itu ia memperhitungkan bahwa ia akan dapat mengakhiri pertempuran sebelum cahaya matahari yang pertama.
Tetapi belum lagi ia melaksanakan maksudnya, tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan dan tak terduga-duga.
Pada saat itu, pada saat pengikut Lawa Ijo siap untuk menyerang Mahesa Jenar bersama-sama, terjunlah seseorang ke kancah pertempuran. Meskipun Mahesa Jenar tidak berkesempatan untuk mengenal orang baru itu dengan seksama, tetapi sepintas ia melihat bahwa orang itu berperawakan sedang, serta bersenjatakan sebuah kapak sangat besar. Tampaknya ia tidak begitu lincah, tetapi mendengar desing ayunan kapaknya dapat diduga betapa besar tenaganya.
Dengan kekuatan yang luar biasa, ia memutar kapaknya, dan langsung menyerang pengikut-pengikut Wadas Gunung. Sejenak kemudian terjadilah dua lingkaran pertempuran yang amat dahsyat. Dengan hadirnya orang baru, yang masih belum sempat dikenalnya, Mahesa Jenar merasa bahwa pekerjaannya menjadi berkurang. Sebab mau tidak mau perhatian Wadas Gunung sebagai pemimpin rombongan menjadi terpecah, sehingga ia tidak lagi dengan sepenuhnya mengadakan tekanan kepada Mahesa Jenar. Apalagi ternyata luka di lambung Carang Lampit tidak dapat dianggap ringan. Di arah luka itu terasa makin lama semakin sakit. Karena itu gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah dan hampir tak berarti. Demikian juga keadaan Cemara Aking.
Di dalam dua lingkaran pertempuran itu, Mahesa Jenar harus melawan tokoh-tokoh gerombolan Lawa Ijo yang sudah tidak begitu penuh lagi kekuatannya, sedang anggota-anggota gerombolan itu terpaksa tidak dapat turut serta mengeroyok Mahesa Jenar, sebab mereka harus melayani pendatang baru yang dengan garangnya menghantam mereka dengan kapaknya.
Mengalami perubahan keadaan ini, Mahesa Jenar pun merasa masih belum waktunya mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Sebab ia merasa bahwa bersama dengan orang baru itu ia akan dapat mematahkan kekuatan Wadas Gunung.
Perhitungan Mahesa Jenar memanglah tepat. Meskipun orang baru itu tidak begitu lincah, tetapi tiba-tiba sambaran kapaknya selalu diikuti dengan berdesingnya angin maut. Anggota-anggota gerombolan Lawa Ijo yang mencoba menangkis ayunan kapak itu, senjatanya terlepas dan terpatahkan.
Melihat keadaan itu Wadas Gunung menjadi marah sekali. Tetapi ia tidak dapat meninggalkan Mahesa Jenar yang bagaimanapun dirasakan lebih berbahaya, apalagi kepadanyalah ia menyimpan dendam. Karena itu dengan teriakan nyaring ia memerintahkan Bagolan untuk melawan orang berkapak itu.
Mendengar perintah Wadas Gunung segera Bagolan dengan loncatan panjang meninggalkan gelanggang dan segera terjun ke lingkaran pertempuran lain. Ternyata Bagolan pun mempunyai tenaga raksasa. Sehingga dalam pertempurannya melawan orang berkapak itu seringkali terjadi benturan-benturan yang dahsyat antara bola besi bertangkai dengan kapak raksasa itu.
Bagaimanapun perkasanya orang berkapak itu, ketika ia harus melawan keroyokan yang sedemikian banyaknya ditambah lagi dengan seorang tokoh seperti Bagolan, akhirnya tampak juga bahwa ia agak terdesak.
Sebaliknya Mahesa Jenar yang lawannya berkurang lagi seorang menjadi semakin leluasa bergerak. Tetapi dalam pada itu segera ia melihat kerepotan orang yang bersenjatakan kapak itu. Maka segera iapun menjadi cemas.
Meskipun ia sama sekali belum mengenalnya, tetapi pada saat ia melibatkan diri dalam pertempuran itu, adalah sangat menguntungkannya. Karena itu ia tidak dapat membiarkan saja ketika ia melihat orang berkapak itu terdesak.
Untuk mengimbangkan keadaan, Mahesa Jenar berpikir bahwa sebaiknya pertempuran tidak terbagi. Ia dan orang berkapak itu harus berada dalam satu lingkaran pertempuran menghadapi seluruh gerombolan. Dengan demikian ruang pertempuran menjadi bertambah sempit.
Mendapat pikiran yang demikian segera Mahesa Jenar memutar tombaknya, dan dengan gerakan kilat ia meloncat menembus kepungan lawan. Selanjutnya dengan cepat sekali ia meloncat kesamping orang yang bersenjata kapak itu, sambil berkata, “Ki Sanak, baiklah kita bekerja bersama. Kau hadapi separo lingkaran, aku separo. Disamping itu kita pergunakan setiap kesempatan untuk menghantam lawan.”
Orang berkapak itu tidak menjawab tetapi ia tahu maksud Mahesa Jenar, maka segera ia pun menempatkan diri beradu punggung dengan Mahesa Jenar.
Kembali hati Wadas Gunung terperanjat melihat kelincahan Mahesa Jenar. Mengertilah ia sekarang kenapa Pasingsingan memaksanya membawa 20 orang anak buahnya bersama-sama untuk menangkap satu orang saja. Ternyata buruannya memang bukan orang biasa. Tetapi Wadas Gunung adalah orang yang berpengalaman cukup, sehingga ketika ia melihat sikap Mahesa Jenar dan orang berkapak itu saling membelakang, tahulah ia maksudnya.
Untuk mencegah kesulitan-kesulitan selanjutnya, cepat-cepat ia memerintahkan untuk menghantam lawan sebelum mereka mencapai keseimbangan dalam bekerja bersama. Ia sendiri beserta tokoh-tokoh rombongan itu segera melancarkan serangan-serangan yang berbahaya. Tetapi karena perubahan keadaan yang demikian cepatnya itu, tidak semua anak buah Wadas Gunung dapat mengikuti jalan pikiran pimpinannya, sehingga dalam pelaksanaannya terjadilah kekacauan.
Karena lawan mereka berkumpul pada satu titik, maka ketika mereka akan menyerang bersama-sama, terjadilah desak-mendesak diantara mereka, sehingga mereka tidak leluasa mempergunakan senjata masing-masing. Dalam keadaan yang demikian, segera Mahesa Jenar mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya.
MAHESA JENAR segara meloncat maju, dan memutar tombak berkaitnya seperti baling-baling. Kemudian dengan gerakan yang sangat mengejutkan lawannya, Mahesa Jenar langsung menyerang beberapa orang yang berdiri di hadapannya. Mendapat serangan yang tak terduga-duga ini, tak seorang pun sempat mengelak diri, sehingga dalam satu ayunan Mahesa Jenar sekaligus dapat melukai 4 orang anggota gerombolan Lawa Ijo, dan melemparkan beberapa senjata dari tangan pemiliknya.
Melihat kejadian itu, tergetarlah hati para anggota gerombolan Lawa Ijo, sehingga hampir serentak mereka berdesakan mundur. Untunglah bahwa para pemimpin gerombolan itu cepat bertindak. Serentak mereka berloncatan maju dan dengan dahsyatnya mereka melakukan serangan-serangan balasan.
Melihat orang ini tampil, segera Mahesa Jenar menarik diri serta menyesuaikan kedudukannya dengan orang yang bersenjatakan kapak, yang ternyata telah pula memutar kapaknya untuk melindungi dirinya dan sekali-sekali menyambar mereka yang berani mendekatinya.
Dalam siasat perkelahian ternyata Wadas Gunung pun tak kalah cerdiknya. Untuk memecah kerja sama lawannya, segera Watu Gunung memerintahkan untuk melumpuhkan kedudukan yang lemah. Karena itu berkumpullah tokoh-tokoh mereka untuk menyerang orang berkapak itu bersama-sama.
Tetapi maksud ini pun segera diketahui oleh Mahesa Jenar, karena itu katanya kepada orang berkapak itu, “Ki Sanak, baiklah kita selalu bergerak, supaya tak dapat mereka patahkan batas diantara kita.”
Kali ini orang berkapak itu pun tidak menjawab, tetapi rupanya ia pun mengerti maksud Mahesa Jenar. Maka ketika Mahesa Jenar mulai dengan loncatan loncatannya kesana-kemari, orang itu pun selalu menyesuaikan dirinya, meskipun ia tidak selincah Mahesa Jenar.
Melihat perubahan cara bertempur Mahesa Jenar, Wadas Gunung mengeluh dalam hati. Belum lagi rencananya dapat berjalan lancar, ia harus sudah menghadapi keadaan baru. Sehingga kembali timbul kekacauan di barisannya. Kesempatan ini pun dipergunakan oleh Mahesa Jenar dan orang berkapak itu. Dengan deras sekali kapak raksasa itu terayun, dan tiga buah senjata melesat dari tangan pemiliknya, dan sekaligus dua orang tersobek dadanya.
Disamping itu dengan lincahnya pula Mahesa Jenar mengadakan serangan. Tombaknya mematuk-matuk membingungkan. Dalam serangan ini pun ia berhasil melukai dua orang sekaligus. Bahkan dalam serangan berikutnya, pundak Tembini tergores oleh tombaknya sendiri.
Mengalami hal itu, Tembini menjadi marah bukan buatan. Matanya merah menyala. Tetapi baru saja ia akan meloncat menerkam lawannya dengan kedua pisau belatinya, mendadak Wadas Gunung yang tidak pula kalah marahnya menyaksikan Tembini dilukai, telah mendahuluinya mengadakan serangan yang dahsyat sekali.
Mendapat serangan Wadas Gunung dengan penuh kekuatan, segera Mahesa Jenar menarik diri, meloncat kecil kesamping, dan dengan satu putaran mengait senjata-senjata di tangan Wadas Gunung. Tetapi Wadas Gunung pun cukup siaga. Segera ia menarik kedua tangannya. Sayang bahwa ia agak terlambat sehingga satu dari pisaunya tak dapat dipertahankan sehingga jatuh dari tangannya.
Wadas Gunung adalah seorang pemarah yang keras hati. Bahkan karena marahnya, kadang-kadang ia kehilangan perhitungan. Juga pada saat itu. Ia pun menjadi mata gelap. Dengan sebuah pisau yang masih ada di tangannya, ia meloncat menyerang Mahesa Jenar sejadi-jadinya.
Serangan ini ternyata sangat menguntungkan Mahesa Jenar, sebab belati Wadas Gunung lebih pendek dari tombak berkait yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Karena itu Mahesa Jenar sama sekali tidak menghindar. Hanya tombaknya yang dijulurkan menanti terkaman Wadas Gunung.
Melihat mata tombak mengarah ke dadanya, Wadas Gunung terperanjat. Tetapi ia telah terlanjur meloncat keras sekali. Maka segera ditariknya pisaunya untuk menangkis tombak Mahesa Jenar. Tetapi tangan Mahesa Jenar adalah tangan yang perkasa, sehingga pukulan pisau Wadas Gunung, yang tak dapat dilakukan dengan sepenuh tenaga, karena ia sendiri baru dalam keadaan meloncat, tidaklah banyak artinya.
Tetapi pada saat terakhir, Bagolan telah berusaha menyelamatkan pemimpinnya. Dengan sekuat tenaga ia melemparkan bola besinya ke arah kepala Mahesa Jenar. Melihat bola besi bertangkai itu melayang ke arahnya sedemikian kerasnya, maka mau tidak mau Mahesa Jenar harus berusaha menghindar dengan menggerakkan kepalanya. Dan tepat pada saatnya, kembali Tembini yang meskipun sudah terluka, menunjukkan kegesitannya bergerak.
Dengan satu loncatan Tembini memukul tombak berkait Mahesa Jenar yang sedang berusaha menghindari bola besi itu, sekuat-kuat tenaganya. Maka terdengarlah suara berdentang senjata beradu. Oleh pukulan Tembini dengan kedua buah pisau belati panjangnya, ujung tombak Mahesa Jenar berhasil digerakkan. Meskipun demikian Wadas Gunung tak dapat membebaskan dirinya sama sekali, sehingga ujung tombak berkait itu merobek paha kanannya.
Sambil mengerang kesakitan, Wadas Gunung meloncat beberapa langkah mundur. Tetapi karena kesakitan yang amat sangat, ia pun beberapa kali terhuyung-huyung hampir jatuh.
Kejadian itu rupanya sangat berpengaruh pada semangat bertempur Wadas Gunung. Meskipun ia menyesal sekali tak dapat membalaskan dendam adiknya serta pemimpinnya, tetapi tak adalah yang dapat dilakukan. Ia juga menjadi marah sekali kepada orang berkapak yang telah mencampuri urusannya. Selain itu juga kepada Sagotra, salah seorang anak buahnya, ia menjadi marah sekali, serta berjanji dalam hatinya, bahwa anak itu diketemukan pastilah akan dikupas kulit kepalanya. Sebab dalam keadaan yang sedemikian sulit, ia sama sekali tidak menampakkan dirinya.
Dalam keadaan yang demikian tidak ada jalan lain bagi Wadas Gunung kecuali harus menyelamatkan diri, meskipun hanya untuk sementara, sampai dapat tersusun kekuatan untuk membalas dendam. Karena itu segera ia bersiul keras dan dengan segera pula anak buahnya berloncatan mengundurkan diri dari gelanggang perkelahian.
Bagolan, yang ternyata mempunyai tenaga raksasa, segera mendukung Wadas Gunung, dan dengan cepatnya berlari menjauhi lawannya. Sementara itu, yang lain berusaha melindungi apabila mereka dikejar.
MELIHAT lawan-lawannya berlari, Mahesa Jenar sama sekali tidak berusaha mengejarnya. Orang berkapak itu juga tidak.
Pada saat itu, warna langit di sebelah timur sudah semakin terang. Bayangan pepohonan serta bentuk-bentuk batang-batang ilalang menjadi semakin jelas. Juga wajah orang berkapak itu menjadi jelas.
Kalau sebelumnya, kecuali karena gelapnya malam, juga karena Mahesa Jenar tidak sempat mengamati orang berkapak itu, kini ia dapat dengan jelas melihat wajahnya.
Dan ketika Mahesa Jenar melihat wajah orang itu, darahnya tersirap, seakan-akan ada sesuatu masalah yang memukul rongga dadanya. Karena itu sampai beberapa saat ia berdiri diam seperti patung.
Sedang orang berkapak itu, setelah melihat bahwa lawan-lawan Mahesa Jenar berlari, berdiri seperti acuh tak acuh saja. Juga ketika ia melihat Mahesa Jenar memandangnya dengan wajah yang membayangkan keruwetan hatinya, orang berkapak itu sama sekali tidak mempedulikannya.
Akhirnya, setelah agak tenang hatinya, Mahesa Jenar segera mendekati orang itu sambil berkata, ”Terimakasih atas segala pertolongan yang telah aku terima, sehingga aku terbebaskan dari tangan mereka.”
Orang itu masih saja berdiri acuh tak acuh. Meskipun demikian ia menjawab pula, ”Tak usah kau menyatakan terimakasih kepadaku. Ketahuilah bahwa kedatanganku membawa suatu masalah yang harus kita selesaikan. Kalau aku menolongmu, itu adalah karena aku takut bahwa masalah kita akan tetap merupakan masalah yang tidak selesai.”
Mendengar jawaban orang itu, sebenarnya Mahesa Jenar merasa sedikit tersinggung oleh ketinggian hatinya. Tetapi meskipun demikian ia berusaha juga menyabarkannya. Katanya pula, ”Bagaimanapun kali ini engkau telah melepaskan aku dari kekuasaan mereka.”
”Mungkin…. Tetapi belumlah pasti bahwa kau dapat melepaskan diri dari persoalan yang kau hadapi sekarang,” jawab orang itu, masih dengan nada dingin.
Kembali Mahesa Jenar terpaksa menyabarkan dirinya. Meskipun hatinya bergetar hebat. Sampai orang tadi melanjutkan, ”Kedatanganku kemari adalah pertama-tama karena seseorang merasa mempunyai pinjaman sesuatu barang kepadamu. Dan tak seorangpun dapat disuruhnya menyerahkan kembali. Akulah yang menyanggupkan diri untuk mengembalikan barang itu kepadamu. Kedua, adalah karena masalahku sendiri. Masalah yang pada saat itu kau putar-balikkan kenyataannya dengan mengumpankan seorang yang sama sekali tak berarti. Kau kira bahwa dengan perbuatan yang demikian itu kau akan dapat menyembunyikan kenyataan untuk seterusnya. Dengan kesombonganmu, menyediakan diri dalam sayembara tanding itu, aku kira kau adalah seorang yang benar-benar jantan. Tetapi menghadapi suatu masalah terakhir, kau melarikan diri.”
Darah Mahesa Jenar benar-benar bergolak hebat. Tuduhan-tuduhan yang datang bertubi-tubi seperti mengalirnya sungai yang sedang banjir melanda dirinya tanpa diduga-duganya. Sebenarnya Mahesa Jenar bukanlah termasuk seorang pemarah. Karena itu untuk menahan diri, Mahesa Jenar menekankan giginya sampai gemeretak.
Apalagi ketika orang itu menyambung bicaranya, ”Nah, aku beri waktu kau sehari ini untuk beristirahat. Aku kira kau masih lelah setelah mengalami pertempuran pagi ini. Sesudah hari ini dan malam nanti, baiklah besok kita selesaikan masalah kita. Sayang aku tak dapat menyaksikan sebaik-baiknya cara kau membela diri terhadap orang yang mengeroyokmu. Sebab aku terlalu cemas menyaksikan pertarungan tadi. Kalau-kalau kau dapat dibinasakan, maka aku akan tetap menyesali hidupku selama-lamanya. Tetapi mengingat apa yang telah kau lakukan, serta apa yang baru saja terjadi, meskipun aku tidak menyaksikan dengan jelas, kau adalah termasuk orang yang berkepandaian tinggi. Mungkin pula aku tak akan dapat menyamai kepandaianmu. Tetapi bagaimanapun juga aku akan puas dengan penyelesaian terakhir yang akan kita tentukan bersama.”
Hampir saja kemarahan Mahesa Jenar meledak. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri. Apalagi ketika tiba-tiba dilihatnya orang itu memutar tubuhnya, lalu berjalan perlahan-lahan menjauhinya.
Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak dengan gemetar menahan diri. Dipandangnya punggung orang itu dengan seksama. Alangkah tinggi hatinya. Tetapi sejenak kemudian Mahesa Jenar telah dapat menenangkan hatinya. Ia dapat memahami kenapa orang itu harus bersikap sedemikian, bahkan sudah hampir merupakan sebuah kesombongan yang besar.
Tetapi menurut keterangan yang pernah didengarnya, sebenarnya ia bukanlah seorang yang jahat. Ia hanyalah seorang yang mempunyai dua alam yang terpisah. Alam angan-angan dan alam kenyataan. Juga ceritera tentang masa mudanya, yang selalu dipenuhi dengan perantauan-perantauan yang penuh dengan kejadian-kejadian yang hebat-hebat, tetapi kemudian tak ada lagi kesempatan baginya untuk mengalami kembali, membuatnya seperti orang yang tak tahu melihat kenyataan.
PERLAHAN-LAHAN Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali. Apa yang baru saja terjadi dianggapnya sebagai suatu kesalahpahaman saja. Hanya ia masih belum menemukan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya.
Sementara itu matahari telah semakin tinggi menanjak kaki langit. Terasalah betapa segar sinarnya menyentuh tubuh Mahesa Jenar yang kelelahan. Tiba-tiba saja terasa betapa penatnya setelah semalam suntuk harus melayani 19 orang gerombolan Lawa Ijo. Juga terasa betapa kantuknya. Alangkah nikmatnya kalau tubuhnya segera beristirahat, meskipun hanya sejenak. Tapi baru saja Mahesa Jenar melangkah akan memasuki guanya, berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti membelai hatinya.
Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah pagi. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam yang besar, orang berkapak itu duduk meniup serulingnya. Kapaknya disandarkan pada batu tempat ia duduk.
Mahesa Jenar adalah juga seorang penggemar lagu. Ia sendiri sebenarnya pandai juga meniup seruling. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan niatnya untuk beristirahat. Malahan ia berdiri bersandar bibir goa dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Dan diluar sadarnya ia bergumam, “Pantaslah kalau orang menyebutnya Seruling Gading. Kepandaiannya meniup seruling hampir sampai pada tingkat sempurna. Ternyata apa yang diceriterakan Ki Asem Gede sama sekali tidak berlebih-lebihan.”
Tetapi dalam pada itu, tiba-tiba saja ia teringat kepada masalah yang harus diselesaikannya dengan Seruling Gading. Masalah yang ingin ia kuburkan sedalam-dalamnya. Yang kini tiba-tiba saja telah muncul kembali dalam bentuk yang justru lebih tegas. Karena itu ia menjadi gelisah. Bukan karena ia harus berhadapan dengan Seruling Gading yang apabila ia tetap dalam pendiriannya, akan merupakan suatu pertempuran yang tak dapat dianggap ringan, tetapi seperti masalah yang pernah dihadapinya beberapa waktu yang lalu, ialah menang atau kalah, ia akan tetap menyesali dirinya.
Berpikir tentang masalah itu, perhatiannya terhadap lagu itu jadi berkurang. Malahan kembali terasa betapa penatnya setelah ia bekerja keras semalam suntuk. Karena itu timbullah kembali keinginannya untuk beristirahat.
Maka segera ia pun melangkah masuk ke dalam goa, dan merebahkan diri diatas sebuah tikar batang ilalang yang dibentangkan diatas sebuah batu panjang. Tetapi bagaimanapun ia berusaha untuk melupakan, meskipun hanya sejenak, namun pikirannya tetap masih saja melingkar-lingkar kepada Seruling Gading.
Tiba-tiba saja Mahesa Jenar teringat sesuatu, sampai ia terloncat berdiri. Bukankah Seruling Gading itu pada saat ia tinggalkan berada dalam keadaan lumpuh…? Dan bukankah Ki Asem Gede telah meminjam biji bisa ularnya untuk mencoba menyembuhkan kelumpuhan itu…?
Ia jadi teringat pula kata-kata Seruling Gading bahwa ia mendapat suatu titipan untuknya. Karena pada saat pikirannya sedang digelisahkan oleh sikap tinggi hati orang itu, sampai ia tidak begitu memperhatikan kata-katanya. Titipan itu pastilah dari Ki Asem Gede untuk mengembalikan biji bisa yang telah menyembuhkan kaki Seruling Gading.
Mengingat hal-hal itu semua, Mahesa Jenar menjadi bimbang. Apakah Ki Asem Gede tidak mengatakan kepadanya bahwa barang yang dibawa untuknya itulah yang telah menyembuhkan kakinya? Ataukah Ki Asem Gede takut bahwa dengan demikian si Tinggi Hati itu akan semakin tersinggung?
Mula-mula Mahesa Jenar berhasrat untuk mengatakan hal itu, tetapi niat itu diurungkan. Sebab kalau Ki Asem Gede saja tidak mau mengatakannya, pastilah ada sebabnya.
Tetapi sejenak kemudian, mendadak wajah Mahesa Jenar menjadi terang. Ia telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan masalah itu, meskipun ia terpaksa sedikit menyombongkan diri, serta mempunyai kemungkinan yang berlawanan dengan tujuannya.
Maka setelah mendapat pikiran yang demikian, agak legalah hatinya, sehingga pikirannya tidak lagi digelisahkan oleh kehadiran Seruling Gading. Bahkan tiba-tiba kembali ia bisa menikmati suara seruling yang lincah membentur dinding-dinding goa.
Dalam tangkapan Mahesa Jenar, Seruling Gading itu ingin berceritera tentang derai air laut yang membelai pantai.
Suaranya gemericik berloncat-loncatan. Alangkah riangnya. Seriang anak domba yang dilepaskan di padang hijau, di bawah lindungan gembala yang pengasih.
Namun tiba-tiba hampir mengejutkan, nada itu melonjak berputaran melukiskan datangnya topan yang dahsyat serta kemudian mengguruh menimbulkan badai. Ombak yang dahsyat datang bergulung-gulung menghantam keriangan wajah pantai.
Tetapi yang mengagumkan Mahesa Jenar adalah, Seruling Gading dalam lagunya yang gemuruh dahsyat itu, berhasil menyelipkan sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu kecil sedang berusaha mencapai pantai sambil melawan tantangan alam yang ganas itu. Tetapi mendadak lagu itu berhenti sampai sekian, sehingga Mahesa Jenar agak terkejut pula karenanya.
Rupanya Seruling Gading dengan demikian ingin mengatakan kepadanya bahwa ia sendiri, dalam perjalanan hidupnya, bagaikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan gelombang keadaan yang maha dahsyat. Namun demikian ia tetap berjuang untuk masa depannya.
Untuk ketenteraman hidupnya. Sehingga mau tidak mau Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Hanya saja, perwujudan dari ketabahan Wirasaba dalam menghadapi tantangan hari depannya, kadang-kadang dilahirkan dalam bentuk yang kurang tepat, sehingga sifatnya yang memang sudah tinggi hati itu, mencapai bentuk yang agak berlebih-lebihan. Sampai sekian, Mahesa Jenar tidak sempat lagi terlalu banyak menilai Seruling Gading. Kelelahan dan kantuknya tak dapat lagi ditahannya, sehingga sesaat kemudian ia jatuh tertidur.
SERULING GADING yang baru saja menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah pula dengan pertempuran yang baru saja dilakukan, tidak pula kalah lelahnya. Maka, ketika matahari sudah melewati puncak langit, segera ia pun terserang kantuk pula.
Apalagi ketika angin silir mengusap tubuhnya. Terasa betapa nyamannya. Karena itu segera Seruling Gading mencari tempat yang teduh, di bawah bayangan pohon yang rindang, untuk merebahkan diri. Dan sejenak kemudian ia pun tertidur.
Baru ketika matahari hampir tenggelam, Seruling Gading terbangun oleh suara seruling. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar lagu yang berkumandang demikian merdunya. Ia sendiri demikian mahirnya meniup seruling sampai orang menyebutnya Seruling Gading. Tetapi di sini, di padang rumput, di sela-sela hutan rimba, ia mendengar dengan telinganya sendiri suara seruling yang demikian indahnya, sampai ia sendiri tak dapat menilainya. Siapakah yang lebih pandai, selain ia sendiri, yang mendapat julukan Seruling Gading? Siapakah peniup seruling di tengah-tengah padang ilalang ini…?
Lebih kagum lagi ketika ia mendengar, bagaimana orang yang meniup seruling itu berusaha untuk mengulang kembali ceriteranya yang telah diungkapkan lewat nada siang tadi. Ceritera tentang derai air laut yang membelai pantai, gemericik berloncat-loncatan. Bahkan ceritera itu kini dilengkapi dengan desir angin yang bermain bersama burung-burung camar yang beterbangan dengan lincahnya.
Tetapi dengan tiba-tiba pula, nada itu melonjak melingkar-lingkar bagaikan topan yang dengan dahsyatnya menimbulkan putaran-putaran air serta gelombang yang bergolak mengerikan. Sedangkan di sela-sela riuhnya gelombang yang membentur pantai itu, terselip pula sebuah nada yang melukiskan seolah-olah sebuah perahu yang kecil sedang menyusup diantara gelegak ombak, berusaha mencapai pantai.
Sampai sekian perasaan Seruling Gading menjadi tegang. Ia tidak tahu, siapakah yang telah meniup seruling sedemikian pandainya sehingga hampir mencapai tingkat sempurna. Juga ia sama sekali tidak tahu maksud peniup seruling itu, kenapa ia berusaha melukiskan kembali ceriteranya, meskipun dalam ungkapan yang berbeda, tetapi mempunyai bentuk yang sama.
Tetapi tiba-tiba Seruling Gading terlonjak bangkit. Perahu kecil yang sedang berjuang mati-matian untuk mencapai pantai itu, tiba-tiba terseret oleh deru gelombang dahsyat, serta kemudian diputar oleh topan yang ganas. Sehingga nada lagu itu menjadi menjerit seperti tangis anak-anak yang kehilangan ibunya.
Mendengar akhir lagu itu, hati Seruling Gading tersinggung bukan main. Tahulah ia sekarang maksudnya, bahwa peniup seruling ingin menghinanya sebagai seorang yang minta belas kasihan, serta sedang berteriak-teriak minta pertolongan. Sebagai seorang yang tinggi hati, Seruling Gading marah bukan buatan. Darahnya tiba-tiba menjadi bergelora. Timbullah keinginannya untuk menjawab hinaan itu, serta menghantam lewat nada pula.
Tetapi ketika ia ingin mengambil serulingnya dari dalam bajunya, kembali Seruling Gading terperanjat, sampai menjerit nyaring karena marahnya. Serulingnya yang dibuat dari pring gadhing, serta tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, ternyata sudah tidak ada lagi. Ketika sekali lagi ia memperhatikan warna suara yang masih saja melingkar-lingkar di telinganya, ternyata bahwa seruling itu adalah miliknya.
Kembali Seruling Gading menggeram. Dua kali ia dihinakan oleh orang yang meniup seruling itu. Pertama-tama orang itu menuduhnya sebagai anak-anak yang berteriak-teriak minta belas kasihan, sedang yang kedua, orang itu berhasil mencuri serulingnya tanpa diketahui.
Maka cepat-cepat ia berdiri. Diangkatnya kepalanya untuk mengetahui dari mana arah suara seruling itu. Tetapi kembali darahnya meluap-luap. Suara seruling itu ternyata melingkar-lingkar tak tentu arahnya. Meskipun sudah beberapa lama ia mencoba untuk mengetahui, tetapi ia tidak berhasil. Semakin keras suara seruling itu, semakin ribut pulalah gemanya bersahut-sahutan susul-menyusul dari segala arah. Sehingga semakin bingung pulalah Seruling Gading.
Ia sendiri adalah seorang peniup seruling yang hampir sempurna pula. Tetapi ia tidak memiliki tenaga lontar yang sedemikian membingungkan. Getaran yang dapat diisinya dengan tenaga, hanyalah dapat untuk menghantam perasaan seseorang, sebagai suatu tenaga kekerasan. Tetapi tenaga yang sedemikian lunak, namun memusingkan tidaklah dipunyainya.
Dengan demikian ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang meniup dan sekaligus mencuri serulingnya itu, pastilah bukan orang sembarangan. Meskipun demikian Seruling Gading bukanlah orang yang lekas menjadi cemas dan takut. Tetapi ia adalah orang yang tinggi hati dan terlalu percaya kepada kekuatan sendiri.
Apalagi ketika diingatnya bahwa satu-satunya orang yang berada di daerah itu hanya Mahesa Jenar. Marahnya semakin menjadi-jadi. Sehingga ia tidak lagi bisa menguasai gelora perasaannya, Seruling Gading itu berteriak keras, “Hai pengecut yang hanya berani menghina dari tempat yang jauh dan tersembunyi, coba tampakkanlah dirimu…!”
Tetapi suaranya sendiri juga hanya menghantam bukit kecil di padang ilalang itu, serta berpantulan susul-menyusul. Sedangkan suara seruling itu masih saja merintih-rintih hampir putus asa.
Ketika suara teriakannya tidak mendapat sahutan, Seruling Gading semakin marah. Sekali lagi ia berteriak bertambah keras. Tetapi juga suaranya tak mendapat sahutan.
Maka sedemikian marahnya Seruling Gading, serta ketidaktahuannya, kepada siapa kemarahannya itu harus diarahkan. Tiba-tiba kapaknya diayunkannya deras sekali menghantam sebatang pohon sebesar tubuh orang, yang berdiri di hadapannya.
Sedemikian besar tenaganya, sehingga pohon itu sekaligus berderak-derak patah dan roboh seketika.
Bersamaan dengan robohnya pohon itu, terdengarlah suara memujinya dari kejauhan. “Bagus…, bagus Wirasaba. Tenagamu memang tenaga raksasa.”
Seruling Gading terkejut mendengar suara itu. Segera ia membalikkan diri untuk mencari siapakah yang telah memujinya. Tetapi juga ia tak dapat menemukan seseorang. Apalagi pada saat itu matahari telah tenggelam. Yang tampak hanyalah bentuk-bentuk bukit-bukit kapur dan puntuk-puntuk kecil yang dibalut oleh hitamnya malam.
RASANYA darah Seruling Gading sudah benar-benar mendidih. Ia merasa sebagai seorang kanak-kanak yang sedang dipermainkan. Demikian bingung serta marahnya, akhirnya ia berlari ke mulut goa di bukit kapur, dimana dilihatnya Mahesa Jenar siang tadi masuk. Kembali di sana ia berteriak ke dalam goa. “Hai… pengecut yang tak tahu malu. Keluarlah. Tak perlu kita menunggu esok. Marilah kita selesaikan masalah kita sekarang juga.”
Seruling Gading berteriak asal berteriak saja, tanpa mengharapkan jawaban. Sebab telah sekian kali ia melakukannya, namun tidak ada jawaban.
Tetapi tiba-tiba saat itu terdengarlah orang menjawab, sehingga malahan Seruling Gading terkejut sampai tersentak. Arah jawaban itu ternyata sama sekali tidak dari dalam goa, tetapi malahan dari arah belakangnya, sehingga secepat kilat ia pun membalikkan diri.
“Wirasaba…” kata suara itu, “janganlah kau terlalu cepat berpanas hati. Sebab dengan demikian itu, akan mudah menghilangkan ketenangan berpikir. Kalau kita tidak lekas-lekas menjadi marah, mungkin kau tidak akan terlalu sulit mencari aku. Nah di sinilah aku.”
Mendengar kata-kata itu, serta ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu duduk di atas batu hitam, tempat ia meniup seruling siang tadi, tubuhnya menjadi gemetar karena kemarahan yang memuncak. Benar-benar ia dipermainkan.
Karena itu, tanpa berpikir panjang segera ia berlari ke arah bayangan di atas batu hitam itu. Apalagi ketika ia melihat bahwa orang yang dicarinya itu benar-benar Mahesa Jenar, maka menggeramlah Seruling Gading. “Setan, kau jangan mencoba menolong dirimu, menakuti aku dengan permainan hantu-hantuan itu. Bagaimanapun juga aku tetap dalam pendirianku. Menyelesaikan masalah kita dengan laku seorang jantan, sekarang juga.”
Sementara itu bulan yang sudah tidak bulat lagi mulai menampakkan dirinya, seperti mengapung di langit, diantara mega-mega yang mengalir dihembus angin. Sinarnya yang kuning berpencaran diantara batang-batang ilalang, serta bukit-bukit kapur.
Diantara cahaya bulan berkedipan, wajah-wajah bintang yang iri hati atas kurnia alam kepada bulan itu, yang memiliki kecantikan yang sempurna.
Dalam taburan sinar bulan, tampaklah wajah Wirasaba yang merah menyala, membayangkan kemarahan yang meluap-luap. Tangan kanannya menggenggam kapaknya erat sekali, siap diayunkan untuk membelah kepala Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat gelagat itu. Karena itu ia pun segera mempersiapkan diri, meskipun tampaknya ia tidak mengubah sikap duduknya. Bahkan masih dengan tersenyum ia berkata tidak menjawab tantangan Seruling Gading. “Wirasaba…, maafkan kalau aku meminjam serulingmu tanpa izinmu. Sebab aku tidak mau mengganggu membangunkan kau, nampaknya kau terlalu nyenyak tidur. Mungkin kaupun sangat lelah setelah menempuh perjalanan yang begitu jauh serta permainan pagi tadi yang sama sekali tak menyenangkan.”
“Cukup!” bentak Wirasaba. “Jangan kau coba lagi merendahkan aku. Sebaiknya kau jangan terlalu yakin akan kehebatanmu dengan mengalahkan Samparan dan Watu Gunung, serta dengan pertunjukanmu pagi tadi. Sebelum kau mampu melenyapkan diri dalam satu kedipan mata, jangan kau merasa dirimu tak terkalahkan.
Sekarang bersiaplah kau. Ambillah senjatamu, tombak berkait yang kau pergunakan pagi tadi. Biarlah kita lihat bersama bagaimanakah akhir persoalan kita.”
Mahesa Jenar melihat bahwa kemarahan Seruling Gading telah mencapai puncaknya. Meskipun demikian ia masih ingin berusaha untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik. Baru kalau usahanya gagal ia akan melaksanakan rencananya.
“Wirasaba… baiklah tawaranmu aku terima, tetapi tidakkah kau ingin mendengarkan dari mulutku keterangan-keterangan yang barangkali belum pernah kau dengar sebelumnya?” kata Mahesa Jenar.
“Ha…?” teriak Wirasaba, “alangkah pengecutnya kau. Dengan pembelaan-pembelaan itu kau ingin menghindari penyelesaian secara jantan. Kau barangkali ingin menjelaskan bahwa kau sama sekali tak mempunyai pamrih apa-apa dengan memasuki sayembara tanding itu. Kau tentu akan berkata, bahwa karena kau adalah sahabat mertuaku Ki Asem Gede. Tetapi pasti kau tidak mengatakan bahwa kau takut menghadapi cara penyelesaian seperti yang aku maui. Juga kau pasti tidak akan mengatakan bahwa kau telah mengumpankan Samparan untuk membersihkan namamu, setelah kau tak berani menerima tawaranku.”
“Wirasaba…” potong Mahesa Jenar. “Bagaimana aku sempat mengumpankan Samparan, sedang saat itu aku selalu berada di hadapanmu?”
“Ooo…. tidakkah ada pencuri yang berhasil mengambil milik orang lain di hadapan orang itu sendiri…?” jawab Seruling Gading.
Sampai sekian Mahesa Jenar yakin bahwa Seruling Gading tidak lagi dapat diajak berunding. Karena itu kemungkinan yang lain adalah, menyelesaikan menurut rencananya.
MAHESA JENAR kemudian berkata, “Wirasaba yang digelari orang Seruling Gading… kau adalah orang yang perkasa dengan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada kekuatan orang biasa. Seseorang yang belum pernah melihat kau mengayunkan kapakmu pun tentu dapat menduga yang demikian itu, dengan menilik senjatamu yang mempunyai ukuran terlalu besar bagi senjata umumnya itu telah menunjukkan betapa tinggi hatimu. Kau adalah orang yang tidak dapat mendengarkan keterangan orang lain selain mendengarkan angan-anganmu sendiri. Tetapi, Wirasaba, ketahuilah bahwa bagaimanapun perkasanya kau, jangan kau menepuk dada serta menyangka bahwa aku tidak berani menerima tantanganmu pada saat itu. Dengarlah, apa yang dapat dilakukan oleh seorang yang lumpuh seperti kau pada waktu itu? Apa pula arti keperkasaanmu dengan hanya mampu duduk di pinggir ranjang….?”
Belum lagi Mahesa Jenar selesai dengan kata-katanya, Wirasaba sudah tidak dapat menahan diri lagi. Darahnya sudah bergelora membakar kepalanya. Karena itu dengan tidak mengucapkan sepatah katapun, serta dengan menekan giginya, dihimpunnya segala kekuatannya. Dan dengan dahsyatnya ia berteriak. Bersamaan dengan itu, kapak besar itu terangkat dan dengan derasnya terayun mengarah kepala Mahesa Jenar yang masih saja duduk di atas batu hitam itu.
Memang Wirasaba benar-benar memiliki tenaga raksasa. Ayunan kapak yang dilambari kemarahan itu, menimbulkan suara berdesing yang hebat sekali, sehingga seolah-olah bunyi sangkakala yang memberi pertanda bahwa dewa maut akan melakukan kewajibannya.
Tetapi sementara itu Mahesa Jenar telah siap pula. Memang ia menunggu-nunggu saat yang demikian itu. Saat kemarahan Wirasaba mencapai ke puncaknya.
Maka ketika kapak itu dengan cepatnya mengarah kepalanya, iapun segera meloncat selangkah ke samping, sehingga kapak itu tidak mengenai sasarannya. Demikian kerasnya Wirasaba menghantamkan senjatanya, maka ketika kapak itu tak mengenai Mahesa Jenar, terhantamlah batu hitam yang semula dipakai sebagai tempat duduknya.
Dan ternyatalah betapa besar kekuatan Wirasaba. Dalam benturan itu, berderailah bunga-bunga api. Serta bertebaranlah pecahan-pecahan yang dilemparkan dari luka batu hitam itu, yang ditimbulkan karena hantaman kapak Wirasaba, meskipun batu itu sangat keras.
Melihat luka di atas batu hitam itu, Mahesa Jenar memuji di dalam hatinya. Tetapi sementara itu sampailah ia kepuncak permainannya. Ia ingin menaklukkan ketinggian hati Seruling Gading dengan sebuah pertunjukan yang tidak kalah seramnya. Dalam waktu yang sekejap itu, segera ia mengatur jalan pernafasannya, memusatkan perhatian serta kekuatannya di sisi telapak tangan kanannya. Segera disilangkannya tangan kirinya di muka dada. Satu kakinya diangkat ke depan serta tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi.
Sejenak kemudian dengan garangnya ia meloncat ke depan batu itu, dan sebelum Wirasaba menarik kapaknya, segera Mahesa Jenar menyusul menghantam batu hitam itu dengan tangannya yang dilambari dengan ilmu Sasra Birawa. Alangkah dahsyat akibatnya. Batu hitam yang sedemikian kerasnya, yang terluka tak sampai sejengkal oleh pukulan kapak Wirasaba dengan tenaga raksasanya, pada saat itu, dengan bunyi yang mengejutkan pecah berserakan karena sisi telapak tangan Mahesa Jenar.
Wirasaba terkejut bukan alang kepalang, sampai tanpa disengaja ia terloncat surut serta kapaknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya menggigil serta jantungnya berdegupan tanpa dapat dikuasainya. Sampai beberapa saat ia berdiri termangu seperti kehilangan kesadaran, dan tak mengerti apa yang harus dilakukannya, karena ia telah melihat suatu kejadian yang sama sekali tak dapat dibayangkan sebelumnya.
Demikianlah sampai beberapa saat Wirasaba berdiri kaku, sampai tiba-tiba terasa pundaknya ditepuk orang. Dengan geragapan ia memandang kepada orang itu, yang tidak lain adalah Mahesa Jenar yang membangunkannya sambil berkata, “Tenanglah hatimu Wirasaba. Itu tadi hanyalah suatu permainan yang jelek.”
Wirasaba masih belum memiliki seluruh kesadarannya, sehingga ia tidak dapat menjawab kata-kata Mahesa Jenar, kecuali memandangnya saja dengan pandangan yang berputar-putar kebingungan.
Sampai kembali Mahesa Jenar berkata sambil menuntunnya duduk di atas sebuah gundukan tanah. “Wirasaba…, lupakan semua yang telah terjadi. Marilah kita bercakap-cakap sebagai sahabat yang telah beberapa hari tidak bertemu.
Bukankah kau dapat banyak berceritera tentang Ki Asem Gede, Kakang Dalang Mantingan, Kakang Demang Penanggalan serta sahabat-sahabat lain di Pucangan dan Prambanan…? Sesudah itu aku juga banyak sekali mempunyai ceritera yang barangkali menarik.”
Seperti kanak-kanak yang dibimbing ibunya, Wirasaba sama sekali tak menolak. Ia menurut saja kemana Mahesa Jenar menuntunnya, serta seperti orang bermimpi pula ia duduk disamping Mahesa Jenar.
Ketika sampai beberapa saat Wirasaba masih berdiam diri, kembali Mahesa Jenar bertanya, “Wirasaba… siapakah yang memberitahukan kepadamu serta Ki Asem Gede bahwa aku berada di sini?”
Kini lamat-lamat Wirasaba telah dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar serta telah dapat mengerti. Tetapi meskipun demikian ia masih belum juga dapat menjawab, sebab ia baru mengumpulkan kembali ingatan-ingatan atas kejadian-kejadian yang baru saja berlalu.
Wirasaba adalah seorang tinggi hati yang dalam perbendaharaan pengalamannya selalu dipenuhi dengan kejadian-kejadian dahsyat di masa mudanya, serta keunggulan kekuatan atas hampir terhadap semua lawan-lawannya. Sampai ia dipisahkan dari cara hidupnya itu oleh racun-racun yang melumpuhkan simpul-simpul saraf kakinya.
Tetapi meskipun dalam keadaan lumpuh, masih saja ia merasa keperkasaannya tidak berkurang. Sehingga suatu ketika sampailah saatnya kakinya dapat sembuh kembali. Dengan demikian ia semakin merasa dirinya akan dapat mengulangi peristiwa kemenangan demi kemenangan yang pernah dicapainya.
Apalagi pada saat itu ia menghadapi suatu peristiwa yang menurut pendapatnya adalah suatu hinaan bagi sifat kejantanannya. Kehadiran Mahesa Jenar yang telah membebaskan istrinya dari tangan Samparan, diterimanya dengan pengertian yang salah.
KETIKA seseorang yang bernama Sagotra datang kepada mertua Wirasaba dan mengabarkan bahwa Mahesa Jenar berada di daerah Pliridan, maka maksud Wirasaba untuk membuat perhitungan tak dapat dikekang lagi, meskipun kakinya baru saja sembuh dan belum pulih kembali seperti sediakala.
Tetapi tiba-tiba, ketika ia telah dapat bertemu dengan orang yang dicarinya itu, disaksikannya suatu peristiwa yang bermimpipun belum pernah diangankan. Hanya dengan telapak tangan saja, batu hitam sebesar itu dapat dihantam hancur.
Bagaimanakah jadinya kalau yang dikenai sisi telapak tangan itu kepalanya?
Menghadapi peristiwa itu, rontoklah sifat tinggi hatinya. Mendadak tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Wirasaba berdiri serta membungkuk hormat. Siapakah sebenarnya Tuan yang telah membingungkan perasaanku?
Sambil tersenyum, Mahesa Jenar menunduk hormat pula. Lalu jawabnya, Sebagaimana kau ketahui, aku adalah Mahesa Jenar.
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah bahwa ia sama sekali tidak puas dengan jawaban itu. Sebab orang yang dapat berbuat demikian pastilah orang yang sudah punya nama.
Karena itu ia memberanikan diri untuk mendesak, Tuan, tetapi barangkali Tuan mempunyai sebuah gelar lain yang dapat memperkenalkan diri Tuan…?
Mahesa Jenar ragu-ragu sejenak. Adakah untungnya kalau disebutkannya gelar keprajuritannya? Tetapi kemudian ia berpikir, barangkali dengan demikian ia dapat mengurangi kepahitan yang baru saja dialami oleh Wirasaba.
Sebagai seorang yang tinggi hati, pastilah Wirasaba akan menderita batin untuk seterusnya kalau ia sampai dapat dikalahkan oleh orang yang tak bernama. Karena itu, jawabnya, Wirasaba…, ketahuilah bahwa sebenarnya akulah yang bernama Rangga Tohjaya.
Mendengar nama itu, membersitlah warna merah di wajah Wirasaba, serta jantungnya berdegup keras. Pantaslah kalau yang dapat berbuat sedemikian dahsyatnya itu adalah orang yang bergelar Rangga Tohjaya. Karena itu kembali ia membungkuk hormat.
Tuan Rangga Tohjaya yang perwira, maafkanlah segala kelancanganku. Karena Tuan telah berbuat kemurahan hati untuk membebaskan istriku. Maka berdosalah aku, yang telah berani menuduhkan hal yang sama sekali tidak wajar kepada Tuan. Karena itu aku serahkan diriku kepada Tuan untuk menerima hukuman apapun yang Tuan kehendaki, kata Wirasaba dengan suara yang berat penuh penyesalan.
Kembali Mahesa Jenar tersenyum.
Wirasaba… tidaklah ada hukuman yang pantas aku berikan kepadamu. Sebab wajarlah kalau seseorang dalam perjalanan hidupnya suatu kali mengalami keterlanjuran. Hanya pengalaman yang demikian itulah yang dapat menjadi peringatan. Bahwa untuk selanjutnya kita harus lebih hati-hati dalam tiap-tiap tindakan kita. Tetapi selain dari itu semua, tadi kau katakan bahwa kau mendapat suatu titipan dari seseorang. Apakah itu? kata Mahesa Jenar.
Wirasaba menjadi seperti tersadar. Lalu ia menjawab, Tuan, aku mendapat titipan dari mertuaku Ki Asem Gede. Sebuah bumbung kecil yang aku tidak tahu isinya.
Sesudah berkata demikian segera Wirasaba mengambil bumbung dari kantong ikat pinggangnya dan diserahkannya kepada Mahesa Jenar.
Segera bumbung itu pun diterima oleh Mahesa Jenar, serta ketika dilihat isinya, betul bahwa yang di dalamnya adalah biji bisa ular yang telah dipinjamkan kepada Ki Asem Gede.
Wirasaba… kata Mahesa Jenar kemudian, tidakkah Ki Asem Gede mengatakan kepadamu, apakah kasiat benda yang kau bawa ini?
Tidak Tuan, jawab Wirasaba sambil menggelengkan kepalanya.
Ketahuilah, benda ini adalah biji ular yang sangat keras, yang dapat dipergunakan sebagai obat pemusnah bisa atau racun yang lain. Bagi perjalanan hidup, benda ini sangat penting artinya, sebab dengan benda ini pula Ki Asem Gede telah berhasil menyembuhkan kelumpuhanmu, jelas Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar ini, Wirasaba kembali terkejut. Ditambah pula dengan perasaan haru yang mendalam. Ternyata atas pertolongan Rangga Tohjaya ini pula kelumpuhan kakinya itu disembuhkan. Mengingat hal itu semua, semakin dalamlah penyesalan yang dirasakannya.
Sementara itu Mahesa Jenar telah mengajukan pula beberapa pertanyaan mengenai Ki Asem Gede. Kademangan Pucangan serta Prambanan, dan banyak hal mengenai orang-orang yang pernah dikenalnya. Karena itu sebentar kemudian pembicaraan telah dapat berlangsung lancar.
Dari pembicaraan itu diketahui, ternyata sepeninggal Mahesa Jenar, Ki Dalang Mantingan pun segera kembali ke Prambanan. Dan menurut Wirasaba yang mendengar dari Ki Asem Gede, bahwa orang yang bernama Mantingan itu telah kembali ke Wanakerta.
Setelah pembicaraan mereka berlangsung beberapa lama, berkisar dari yang satu ke yang lain, maka berkatalah Mahesa Jenar, Nah, Wirasaba, marilah kita anggap bahwa apa yang pernah terjadi itu merupakan suatu mimpi yang tak menyenangkan. Dan sekarang ternyata kita telah bangun dan melupakan mimpi itu. Karena itu kembalilah kepada istrimu seperti pada masa kau datang untuk mengambilnya dahulu.
Baiklah Tuan…, aku akan kembali kepada keluargaku, serta mengatakan apa yang sudah aku lihat, jawab Wirasaba.
Sekarang, sambung Mahesa Jenar, Marilah kita beristirahat. Besok kita akan melakukan tugas kita masing-masing. Kau akan kembali kepada keluargamu, sedang aku masih dinanti oleh suatu tugas berat.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, Wirasaba termenung sejenak. Lalu katanya, Kalau Tuan masih harus melalukan tugas berat, dapatkah kiranya aku membantu?
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Wirasaba…, bagaimanapun beratnya, tetapi aku tak dapat membagi pekerjaan itu dengan orang lain. Karena itu dengan menyesal aku tak dapat menerima tawaranmu.
Wirasaba menjadi terdiam. Tugas apakah yang sedang dihadapi Mahesa Jenar? Tetapi karena Mahesa Jenar sendiri telah menyatakan keberatan atas tawarannya, maka ia pun tidak berani lagi mendesak.
SEJENAK kemudian Mahesa Jenar telah berdiri, sambil melangkah ia berkata, ”Selamat malam Wirasaba, beristirahatlah. Kalau kau mau, tidurlah di dalam goa bersama aku. Besok kita bisa menuai jagung. Dan sesudah itu kita berangkat dengan tujuan masing-masing.”
Segera Wirasaba pun berdiri, serta berjalan mengikuti Mahesa Jenar, masuk ke dalam goa, untuk bersama-sama beristirahat, sebelum esok paginya mereka masing-masing akan menempuh perjalanan yang cukup berat.
Bagi Mahesa Jenar, adalah sebaik-baiknya segera meninggalkan tempat itu. Sebab apabila Wadas Gunung beserta kawan-kawannya sampai dapat mencapai sarangnya, sebelum ia meninggalkan tempat itu, mungkin untuk selama-lamanya ia tidak akan lagi dapat pergi. Karena tidaklah mustahil kalau Pasingsingan sendiri akan melakukan pembalasan.
Ketika ayam hutan pada fajar pagi harinya mulai berkokok, Mahesa Jenar pun segera bangun. Wirasaba bangun pula. Sejenak kemudian ketika sudah mulai terang tanah, keduanya berkemas.
Tetapi sebelum mereka pergi, Mahesa Jenar bersama Wirasaba memerlukan memenuhi pesan Ki Ageng Pandan Alas untuk menuai jagung di belakang bukit kapur, serta menyimpannya di dalam goa. Mungkin pada suatu saat Ki Ageng Pandan Alas akan kembali lagi ke goa itu, atau salah satu dari mereka pada suatu kali akan mengunjungi tempat itu.
Ketika semuanya sudah selesai, maka yang pertama-tama siap untuk berangkat adalah Wirasaba. Atas permintaan Mahesa Jenar, Wirasaba membawa bekal beberapa ontong jagung.
Sesudah sekali lagi Wirasaba minta maaf serta menyatakan terima kasihnya, maka segera ia pun berangkat ke timur, kembali kepada keluarganya dengan perasaan yang seolah-olah baru sama sekali.
Sepeninggal Wirasaba, segera Mahesa Jenar pun ingat akan tugasnya. Maka tanpa disengaja, ia berdiri di atas sebuah gundukan tanah sambil memandang ke arah barat, ke arah hutan Mentaok yang pekat oleh pepohonan liar, dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Pohon-pohon raksasa serta pohon-pohon yang membelit.
Meskipun masih agak jauh, tetapi lamat-lamat hutan yang liar itu telah tampak sebagai suatu tabir yang di belakangnya tersembunyi banyak sekali rahasia dan bahaya.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak pernah takut untuk menghadapi bahaya yang bagaimanapun besar. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia bisa memperhitungkan tindakan-tindakannya. Apa yang harus diusahakannya sekarang adalah membebaskan keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari tangan Sima Rodra. Sebelum itu berhasil, harus dihindari kemungkinan-kemungkinan yang akan menggagalkan usahanya.
Bahaya yang paling besar yang dihadapinya, apabila ia menempuh hutan itu adalah kemungkinan bertemu dengan Pasingsingan. Sebab bila ia bertemu dengan orang itu, pastilah ia tidak akan dapat melepaskan diri. Bahkan tidak mungkin baginya untuk dapat bertahan menghadapi tokoh yang terkenal itu.
Karena itu timbul pikiran dalam diri Mahesa Jenar untuk menempuh jalan lain. Ia bisa pula mengambil jalan utara. Lewat hutan Turi di kaki Gunung Merapi. Lalu sesudah itu akan dilaluinya lapangan batu-batu yang luas. Konon daerah ini telah pernah dilanda banjir batu yang dimuntahkan dari Gunung Merapi, sehingga merupakan daerah yang sama sekali tak dapat ditumbuhi pepohonan. Karena itu daerah ini biasa disebut Ngentak-entak.
Dari sana akan sampailah perjalanan itu ke daerah hutan di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Dan apabila ia mendaki sedikit lambung Gunung Merbabu itu, akan sampailah ia di daerah Parangrantunan. Dari sana ia harus turun dan berjalan ke barat agak ke selatan. Meskipun perjalanan melewati daerah ini pun harus menerobos rimba-rimba yang tak kalah dahsyatnya dari alas Mentaok, tetapi kemungkinan untuk bertemu dengan Pasingsingan adalah tipis sekali.
Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk mengambil jalan utara, meskipun daerahnya agak lebih sulit. Kecuali hutan-hutan yang cukup lebat, juga harus didaki tebing-tebing yang curam serta harus dituruni lembah-lembah yang terjal.
Setelah tetap hatinya, maka dengan berbekal beberapa ontong jagung , Mahesa Jenar segera berangkat. Tidak ke barat, tetapi ke utara, untuk menghindari kemungkinan rintangan-rintangan yang akan dapat menggagalkan usahanya.
Saat itu, matahari telah cukup tinggi. Sinarnya telah terasa hangat mengenai tubuh. Tetapi meskipun demikian, burung liar masih bersiul ramai, seolah-olah menyatakan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar yang sedang memulai kembali perjalanannya untuk menemukan pusaka yang lenyap dari perbendaharaan Kraton Demak.
Namun demikian pikirannya masih saja terganggu oleh kata-kata Samparan, bahwa yang sedang diperebutkan oleh golongan hitam itu adalah keturunannya saja dari keris Nagasasra dan Sabuk Inten, jadi bukan keris aslinya. Kalau demikian, bila Sima Rodra benar-benar menyimpan keris itu, adalah hanya keturunannya saja, ataukah aslinya seperti yang digambarkan oleh Ki Ageng Pandan Alas…?
DUA tokoh ternama ternyata mempunyai pendapat yang berbeda tentang Keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Pasingsingan menganggap bahwa yang ada di luar Kraton itu adalah keturunannya saja, sehingga ia menyuruh Lawa Ijo untuk mencari pusaka aslinya. Menilik hal tersebut ternyata Pasingsingan tidak mengetahui bahwa pusaka aslinya itu sedang lenyap dari perbendaharaan Kraton.
Demikianlah dengan beberapa pemikiran dan persoalan Mahesa Jenar berjalan dengan cepatnya, dengan satu harapan untuk dapat segera sampai ke tempat tujuannya. Menurut perhitungannya, apabila tidak ada suatu halangan, ia akan sampai ke tujuan kira-kira lima hari empat malam.
Tidak banyak hal-hal yang dialami Mahesa Jenar dalam perjalanannya, kecuali kesulitan-kesulitan melawan alam. Tetapi itu pun satu demi satu dapat diatasinya. Dan hal-hal yang demikian bagi Mahesa Jenar bukanlah merupakan rintangan dibandingkan dengan orang yang bernama Pasingsingan.
Apabila malam tiba, Mahesa Jenar selalu mencari tempat untuk tidur, di atas cabang-cabang pohon untuk menghindari gangguan-gangguan binatang buas. Sedang di siang hari, ia berjalan sejak matahari terbit sampai matahari terbenam.
Maka pada hari ketiga, Mahesa Jenar telah dapat meninggalkan daerah-daerah hutan di lereng Gunung Merbabu, untuk segera sampai ke Pangrantunan.
Tetapi demikian ia sampai ke daerah persawahan Pangrantunan, hatinya segera dikejutkan oleh sebuah panji-panji yang terpancang dengan megahnya, bergambar harimau hitam yang sedang mengaum hebat.
Harimau hitam itu digambar di atas dasar merah darah, pada kain yang dianyam dari serat kulit kayu yang dikemplong halus.
Melihat panji-panji itu segera Mahesa Jenar dapat menebak, bahwa panji-panji itu adalah tanda-tanda yang ditinggalkan oleh Gerombolan Sima Rodra. Tetapi apakah kepentingannya, panji-panji itu dipasang di tempat ini? Itulah yang menjadi pertanyaan. Apalagi di daerah Pangrantunan.
Menurut keterangan gurunya, Pangrantunan pernah menjadi pusat percaturan para tokoh sakti. Sebab di daerah ini beberapa puluh tahun yang lalu pernah diadakan semacam pertemuan dari beberapa tokoh sakti yang saat ini pada umumnya sudah tidak pernah menampakkan diri lagi.
Diantara beberapa tokoh yang pernah mengadakan pertemuan itu adalah Almarhum Ujung Kulon, Pasingsingan, Titis Anganten serta Ki Ageng Pandan Alas. Adapun yang menjadi tuan rumah dalam pertemuan itu adalah Ki Ageng Sora Dipayana, yang pada saat itu menjadi kepala daerah Perdikan Pangrantunan.
Sekarang, di bekas daerah yang terkenal itu berkibar panji-panji sebuah gerombolan dari golongan hitam. Ini adalah suatu hal yang aneh. Tidak adakah seorangpun murid Ki Ageng Sora Dipayana yang dapat mempertahankan kebesaran namanya…? Ataukah memang Ki Ageng Sora Dipayana tidak mengambil seorang murid pun…? Atau barangkali gerombolan Sima Rodra ini sudah merasa demikian kuatnya sehingga berani meremehkan kebesaran Ki Ageng Sora Dipayana…?
Hal itu hanyalah mungkin apabila gerombolan Sima Rodra ini seperti juga gerombolan Lawa Ijo, yang didalangi oleh salah seorang dari tokoh-tokoh golongan hitam.
Tetapi kemungkinan ini adalah tipis sekali. Keberadaan Pasingsingan dalam kalangan hitam telah cukup mengejutkan, sehingga Ki Ageng Pandan Alas sendiri perlu membayanginya, untuk membuktikan kebenarannya. Apalagi tokoh-tokoh lain, yang tidak seaneh Pasingsingan, pastilah akan semakin menggemparkan.
Karena hal-hal yang mencurigakan itu, maka Mahesa Jenar harus berhati-hati untuk tidak mengalami hal-hal yang merugikan dirinya serta tugasnya. Dengan penuh kewaspadaan ia berjalan selangkah demi selangkah mendekati desa yang berada di hadapannya, yang menurut ingatannya adalah desa Pangrantunan.
Dahulu, saat Mahesa Jenar belum lama berguru, pernah diajak gurunya bersama sama dengan Kebo Kenanga menjelajahi hampir seluruh pulau Jawa bagian tengah. Dan pada suatu kali ia pernah diajak pula mampir ke Pangrantunan. Sayang pada saat itu Ki Ageng Sora Dipayana sedang tidak di rumah, sehingga mereka tidak dapat bertemu. Meskipun demikian, oleh gurunya banyak yang diceriterakan tentang orang ini. Tentang keistimewaan-keistimewaannya, serta tentang budinya yang luhur.
Ketika Mahesa Jenar telah mendekati desa itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah, daerah ini telah mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak serapi beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur, bahkan banyak parit yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Mahesa Jenar bahwa sepeninggal Ki Ageng Sora Dipayana, tak ada orang lain, baik keturunannya maupun muridnya yang dapat melanjutkan memelihara kebesaran nama daerah ini.
Rupanya Ki Ageng Sora Dipayana setelah memutuskan menarik diri dari pergaulan, sudah tidak menaruh perhatian lagi kepada daerahnya.
Maka, ketika Mahesa Jenar melihat seorang petani tua sedang mencangkul tanah yang tampaknya keras dan tandus, ia memerlukan mendekatinya. Barangkali darinya dapat didengar ceritera tentang sebab-sebab kemunduran daerah ini, serta yang penting panji-panji yang dipancangkan oleh Sima Rodra itu.
Melihat orang asing mendatanginya, maka petani tua itu pun berhenti mencangkul, serta mengawasi Mahesa Jenar dengan saksama. Meskipun pandangan matanya tidak memancarkan kecurigaan, tetapi jelas mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Setelah sampai di hadapan orang itu, segera Mahesa Jenar membungkuk hormat. Orang itu ternyata juga orang yang ramah dan sopan.
Karena itu sambil tertawa ia pun membungkuk hormat. Malahan sebelum Mahesa Jenar bertanya, ia sudah mendahuluinya.
“Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas memerlukan pertolonganku?”
Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak diduga-duga, Mahesa Jenar terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya, “Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan Bapak.”
“Tidak… tidak… sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku kerjakan untuk Anakmas?” sahut orang itu.
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah ini,” jawab Mahesa Jenar.
ORANG TUA itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya. Katanya kemudian, “Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya. Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, Bapak… hanya sekedar sebagai petunjuk jalan,” jawab Mahesa Jenar.
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“Bapak…” sambung Mahesa Jenar, “Apakah Bapak mengetahui mengenai panji-panji yang terpancang di tepi desa itu?”
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajahnya berubah. Tampaklah kecemasan membayang di wajahnya.
“Keterangan mengenai bendera itu agak panjang Anakmas. Kalau Anakmas sudi, marilah mampir ke pondokku sebentar. Barangkali aku dapat menyuguhkan sesuatu, walaupun hanya air kelapa sebagai penawar haus. Serta barangkali sedikit keterangan mengenai panji-panji merah itu.”
Mahesa Jenar sulit untuk menolak ajakan orang tua yang nampaknya sangat terbuka hatinya. Ditambah lagi dengan keinginannya mendengar keterangan-keterangan tentang panji-panji yang bergambar harimau itu. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan ucapan terima kasih ia menerima ajakannya.
Ternyata rumah orang tua itu tidaklah begitu jauh. Hanya berjarak beberapa tonggak saja dari sawahnya yang tampaknya tidak begitu subur. Rumahnya tidak lebih dari sebuah gubug yang sudah agak miring, meskipun tampaknya masih agak baru, serta beratapkan daun ilalang.
Dengan ramah pula dipersilahkan Mahesa Jenar masuk serta duduk di atas balai-balai bambu satu- satunya, di samping sebuah paga dan tlundhak tempat lampu.
“Duduklah Anakmas, aku ambilkan untuk Anakmas buah kelapa muda,” kata orang itu.
“Terima kasih, Bapak. Aku senang sekali mendapat sebuah kelapa muda. Tetapi biarlah aku sendiri memanjatnya. Apakah Bapak yang sudah setua ini masih dapat memanjat pohon kelapa?” jawab Mahesa Jenar.
Orang itu tersenyum, lalu jawabnya, “Meskipun aku sudah tua, tetapi karena tak ada orang lain di dalam rumah ini, jadi aku masih harus mengerjakan apa-apa sendiri. Juga memanjat kelapa. Malahan tidak saja mengambil buahnya, bahkan aku juga nderes beberapa pohon.”
“Bapak masih nderes juga? — tanya Mahesa Jenar keheranan.
Orang tua itu mengangguk. Dan karena itu Mahesa Jenar terpaksa percaya bahwa orang tua itu masih mampu memanjat pohon kelapa. Karena itu ia tidak lagi mencoba menghalangi orang itu memanjat pohon kelapa.
Sejenak kemudian orang itu sudah kembali masuk rumahnya, dengan membawa dua buah kelapa muda yang sudah diparas serta dilubangi, langsung disuguhkan kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang baru saja berjalan di bawah terik matahari, menerima kelapa muda itu dengan gembira serta berterima kasih, sehingga dengan sekali minum habislah isi dari sebuah kelapa muda.
Maka setelah Mahesa Jenar berisitirahat sejenak, mulailah ia menanyakan kembali tentang panji-panji merah bergambar harimau itu.
“Panji-panji itu adalah panji-panji dari sebuah gerombolan yang dikepalai oleh suami-istri yang menamakan dirinya Sima Rodra.” Orangtua itu mulai bercerita.
Desa-desa yang diberinya panji-panji semacam itu, adalah pertanda bahwa desa itu telah menjadi daerah yang setiap bulan harus menyediakan pajak bahan makanan untuk gerombolan itu. Demikian juga daerah ini, yang baru menjadi daerah perbekalan Sima Rodra sejak dua bulan yang lalu. Setiap bulan, mereka datang untuk memasuki setiap rumah yang ada.
Mahesa Jenar mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh keheranan. Sampai sekian jauh tindakan Sima Rodra di daerah itu tanpa mendapat gangguan apapun.
“Bapak… apakah Sima Rodra menentukan apakah yang harus diserahkan oleh masing-masing kepadanya?” Mahesa Jenar akhirnya bertanya kepada orangtua itu.
“Tidak. Mereka tidak menentukan bahan apa yang harus diserahkan, tetapi asal saja mereka menyediakan. Mungkin beras, kelapa, jagung dan sebagainya,” jawab orang itu.
“Jadi, tidakkah penduduk di daerah ini mendapat perlindungan dari siapapun?” tanya Mahesa Jenar selanjutnya.
Orang tua itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya yang sudah berkerut-kerut karena garis-garis umur itu, tampak semakin berkerut.
“Anakmas, benar apa yang Anakmas katakan,” jawab orang itu. Memang, penduduk di daerah ini seolah-olah tidak mendapat suatu perlindungan dari siapapun. Sebab daerah ini adalah daerah perdikan, yang sebenarnya segala sesuatu, seluk-beluk pemerintahan dan keamanan serta kesejahteraan rakyatnya telah bulat-bulat diserahkan kepada daerah ini sendiri. Tetapi pimpinan daerah perdikan yang sekarang ini rupanya tidak begitu menghiraukan keadaan rakyatnya.
“Bukankah daerah ini mula-mula dipimpin oleh seorang sakti serta bijaksana yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana?” sela Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab orang tua itu.
“Tetapi Ki Ageng itu telah lama mengundurkan diri dari pemerintahan. Daerah Pangrantunan ini sepeninggalnya dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing diserahkan kepada dua orang putranya. Maksudnya jelas, supaya tidak ada rebutan diantara mereka. Tetapi akibatnya adalah seperti sekarang ini. Daerah Utara yang dipimpin oleh Ki Ageng Gajah Sora, yang berkedudukan di Banyu Biru mengalami kemajuan yang pesat. Tetapi daerah ini, yang dipimpin oleh adiknya, Ki Ageng Lembu Sora, dan berkedudukan di Pamingit, mengalami kemunduran dalam hal kesejahteraan rakyatnya. Pangrantunan, yang pernah menjadi pusat pemerintahan, sekarang tidak lebih dari sebuah desa kecil yang terpencil dilambung Gunung Merbabu ini,” jelas orangtua itu, melanjutkan ceritanya.
Tampaklah wajah orang tua itu semakin bersedih. Rupanya ia sedang mengenang masa jaya dari desanya ini. “Bapak… apakah Bapak mengalami masa-masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
ORANG itu tampak ragu-ragu sebentar. Lalu akhirnya ia menggelengkan kepalanya. “Aku di sini adalah orang baru. Tetapi sebelum aku tinggal di tempat ini aku sudah banyak mendengar ceritera tentang Ki Ageng Sora Dipayana,” katanya.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi jelaslah bahwa rabaannya mengenai kemunduran daerah ini adalah benar. Tetapi disamping itu ia mempunyai kesan yang aneh terhadap orang tua itu. Menilik caranya bicara, pastilah ia bukan orang biasa seperti yang tampak pada tata lahirnya, yang tidak lebih dari seorang petani miskin.
“Anakmas…” orangtua itu melanjutkan, “pada hari ini, kebetulan adalah hari pungutan pajak. Karena itu, tak seorang pun yang meninggalkan rumahnya. Mereka menanti dengan setia, kedatangan para pemungut pajak. Dan karena itu pulalah maka tadi tak seorang pun yang Anakmas jumpai di sawah, kecuali aku.”
“Kenapa Bapak tidak berbuat seperti orang lain?” desak Mahesa Jenar. Orang itu menggelengkan kepala. “Aku tak mau,” jawabnya.
Belum lagi mereka habis bercakap-cakap, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Orang tua itu tampak agak terkejut.
“Anakmas, itulah mereka datang. Pergilah ke belakang rumah ini supaya Anakmas tidak terlibat,” kata orang itu.
Mahesa Jenar ingin membantah, sebab ia sama sekali tidak dapat membenarkan kezaliman yang demikian itu berlangsung terus. Tetapi sebelum ia sempat berkata, dengan penuh wibawa orang itu mendesaknya. Entahlah pengaruh apa yang menusuk perasaan Mahesa Jenar, sehingga ia tidak dapat membantah lagi.
Sebentar kemudian benarlah apa yang dikatakan. Beberapa orang yang dipimpin oleh seorang yang bertubuh tegap tinggi serta berambut hampir di seluruh mukanya, datang dan langsung memasuki rumah orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa orang tua itu dengan ganasnya diseret keluar dan dipukuli dengan cemeti semau-maunya.
“Panggil seluruh penduduk desa ini…!” teriaknya kemudian.
“Suruhlah mereka menyaksikan contoh bagi mereka yang mau sengaja menghindari kedatangan kami.”
Sesaat kemudian anak buahnya telah berhasil memaksa penduduk desa itu berkumpul serta menyaksikan pertunjukan yang mengerikan. Semua penduduk tidak terkecuali, tua-muda, laki-laki dan perempuan, dengan wajah yang ketakutan terpaksa berkumpul di halaman rumah petani tua itu.
Beberapa orang perempuan menutup mukanya dengan kedua belah tangannya, sedang beberapa orang laki-laki hanya bergumam, “Kasihan orang tua itu, kenapa ia tidak memenuhi permintaan orang-orang itu saja? Bukankah dua-tiga butir kelapa telah dapat membebaskannya dari derita yang sedemikian?”
Sementara itu orang yang tinggi besar itu berhenti memukul. Lalu dengan lantangnya ia berkata, “Lihatlah, para penduduk daerah Pengrantunan. Inilah sebuah contoh dari seorang yang dengan sengaja membantah peraturan kami. Pada waktu kami datang untuk pertama kalinya pagi tadi, ia telah menghindarkan diri dengan meninggalkan rumahnya. Untunglah bahwa ketika kami datang untuk kedua kalinya ia sudah ada di dalam rumahnya, sehingga aku dapat memaafkannya untuk tidak membakar habis rumahnya serta merampas semua miliknya. Tetapi meskipun demikian kami anggap perlu untuk sedikit memberi pelajaran kepadanya.”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, kembali cemetinya terayun-ayun di udara serta dengan derasnya memukul-mukul orang tua itu. Segera beberapa jalur garis-garis merah darah membekas di punggung yang sudah berkerut-kerut serta hampir tak berdaging itu.
Kembali beberapa orang memejamkan matanya. Apalagi ketika orang tinggi besar itu semakin keras memukul, terdengarlah jeritan-jeritan tertahan keluar dari mulut orang tua yang disiksa dengan ganasnya itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun ada kesan-kesan kesetia kawanan diantara penduduk, ternyata sama sekali tidak berani berbuat sesuatu. Beberapa ratus orang laki-laki yang tampaknya juga tegap-tegap dan kuat, tak dapat berbuat apa-apa melihat salah seorang warga desanya disiksa di hadapan matanya oleh tidak lebih dari 10 orang.
Ini adalah suatu hal yang aneh. Hanya dalam waktu berapa tahun saja, desa ini tidak hanya mengalami kemunduran kemakmuran serta pemerintahan tetapi juga mengalami kemunduran jiwa yang sangat mengejutkan. Suatu daerah dimana seorang sakti yang bernama Sora Dipayana tinggal dan memerintah, kini mengalami suatu penghinaan yang sedemikian besarnya tanpa perlawanan sedikit pun.
Mahesa Jenar yang kemudian menggabungkan diri dengan para penduduk setempat menyaksikan semua itu dengan darah yang bergolak. Ia tidak bisa membiarkan kelaliman-kelaliman serta kemaksiatan semacam itu berlangsung. Tetapi meskipun demikian ia mempertimbangkan juga beberapa kemungkinan. Sayang bahwa saat itu ia masih belum bisa menjajaki kekuatan Sima Rodra yang sebenarnya. Ia juga mempunyai dugaan bahwa apabila terjadi sesuatu dengan orang-orangnya di suatu daerah pasti Sima Rodra tidak akan tinggal diam. Mungkin daerah itu akan digilasnya habis, serta dijadikan lautan api. Karena itu Mahesa Jenar jadi bimbang
ANCAMAN itu pasti merupakan salah satu sebab kenapa tak seorangpun yang berani menentang peraturan Sima Rodra, kecuali malahan seorang tua yang sudah putih seluruh rambutnya. Juga merupakan suatu sebab kenapa hanya dengan 10 orang, mereka berani melakukan tugasnya, bahkan berani melakukan siksaan yang sedemikian kejamnya.
Cemeti orang berewok yang gagah itu masih tetap memukul-mukul dengan bunyi yang menyentak-nyentak. Juga dari mulut orangnya sendiri pun tak habis-habisnya terdengar caci maki dan umpatan-umpatan yang kotor.
Melihat semuanya itu, hati Mahesa Jenar semakin tidak tahan lagi. Tetapi hanya karena perhitungan keselamatan penduduk setempat, ia tidak segera bertindak. Ia telah memutuskan untuk mengikuti gerombolan itu sampai jauh keluar desa. Di sanalah ia akan memuntahkan segala kemauan hatinya, kemarahannya serta kebenciannya. Sebab dalam wawasannya, ke 10 orang itu tidaklah lebih dari kelinci-kelinci yang sama sekali tak bekerja, kecuali hanya berteriak-teriak saja.
Tetapi tiba-tiba hatinya menjadi tak tahan lagi, ketika ia melihat orang tua yang kesakitan itu dengan menangis-nangis memeluk kaki orang yang tinggi besar dan sedang memukulinya itu, minta untuk dimaafkan. Tetapi apa yang didapatnya, adalah tidak saja pukulan-pukulan cemeti, juga kakinya yang besar-besar itu, yang sedang dipeluk demikian eratnya, dengan sekuat tenaga dikibaskan, sehingga orang tua yang malang itu terpelanting.
Pada saat itu hampir saja Mahesa Jenar meloncat maju. Tetapi, tiba-tiba terasa punggungnya ditepuk orang dengan mengandung tenaga dalam yang luar biasa besarnya. Mendapat tepukan yang bertenaga luar biasa itu, Mahesa Jenar sangat terkejut. Apalagi ketika ia menoleh dan melihat orang yang menepuknya. Malahan hampir saja ia berteriak, kalau saja orang itu tidak mendahuluinya berkata, “Sst, jangan sebut namaku, panggil aku dengan sebutan lain.”
Orang itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga demikian terkejutnya Mahesa Jenar menjawab sambil tergagap,
“Baik Ki Ageng….”
“Sst…,” kembali Ki Ageng Pandan Alas berdesis, sambil tersenyum geli, “Jangan kau sebut itu.”
“Ach…,” jawab Mahesa Jenar. “Aku menjadi bingung atas kehadiran Tuan yang tiba-tiba.”
“Kau akan menolong orang itu?” tanya Ki Ageng Pandan Alas masih berbisik.
“Ya, aku tidak sampai hati melihat siksaan yang sama sekali tak berperikemanusiaan itu,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum dengan wajah Ki Ardi yang jenaka. Kemudian katanya, “Seharusnya kau berpikir sebaik-baiknya.”
Mendengar keterangan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar teringat akan kecurigaan atas pembicaraan orang tua itu. Maka jawabnya, “Memang, Tuan, aku merasakan beberapa keanehan dari orang itu.”
“Nah lihatlah apa yang akan terjadi,” potong Ki Ageng Pandan Alas, sambil menunjuk kepada orang tinggi besar yang sedang memukuli petani miskin itu.
Benarlah bahwa sejenak kemudian terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Tiba-tiba saja orang yang tinggi besar itu tubuhnya menjadi kejang. Wajahnya berubah menjadi pucat. Beberapa kali ia meneriakkan kata-kata yang tak begitu jelas, dan hanya dalam waktu yang singkat ia terjatuh tak tahu diri.
Segera terjadilah suatu kegemparan. Beberapa orang anak buahnya segera berloncatan untuk memberikan pertolongan, tetapi usaha itu sia-sia. Orang yang tinggi besar dan berewok itu ternyata sudah tidak bernapas lagi.
Melihat kejadian itu, salah seorang anggota gerombolan itu menjadi marah sekali. Ia pun bertubuh tinggi besar, tetapi tidak berewok. Rambutnya bahkan hanya tumbuh jarang-jarang. Segera ia meloncat maju dengan wajah yang merah padam. Ia sebenarnya tidak tahu apakah sebabnya maka kawannya mengalami nasib yang demikian.
Tetapi karena yang menjadi sebab menurut pikirannya adalah orang tua yang tak mau mentaati peraturan itu, maka kepadanyalah kemarahannya akan ditumpahkan.
Melihat sikap yang garang sekali, orang tua itu tampaknya menjadi semakin ketakutan. Maka dengan gemetar segera iapun berlutut dan mencium kaki orang yang sedang marah itu. Tetapi juga orang itu sama sekali tak menghiraukan. Bahkan sedemikian marahnya karena ia telah kehilangan pemimpinnya, ia bermaksud membunuh saja orang tua itu. Maka dengan menggeram hebat sekali ia mencabut golok yang terselip dipinggangnya.
Tetapi belum lagi ia berhasil mencabut golok itu, iapun tiba-tiba menjadi kejang-kejang pula, dan tak lama kemudian iapun jatuh tak sadarkan diri, untuk kemudian menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Melihat hal itu, semakin gemparlah mereka yang menyaksikan. Terutama para gerombolan Sima Rodra. Ke-8 orang sisanya, bagaimanapun marahnya, tak seorang pun lagi yang berani berbuat sesuatu atas orang tua itu.
Sebab mereka mengira bahwa orang tua itulah yang menyebabkan kematian kedua orang kawannya. Maka ketika salah seorang dari mereka dengan perasaan takut meloncat ke atas kudanya, yang lain pun berbuat demikian.
Ketika mereka akan pergi, salah seorang dari mereka sempat pula menakut-nakuti penduduk. “Kamu semua telah mencoba melawan kami. Baiklah, lain kali kami akan datang, dan membunuh kamu semua sampai ke anak cucu.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, segera mereka melarikan kuda mereka kencang-kencang.
Sepeninggal mereka, penduduk yang menyaksikan peristiwa itu semua, untuk sementara tertegun kaku. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tetapi tiba-tiba mereka sadar akan arti ancaman gerombolan Sima Rodra itu bagi keluarga mereka masing-masing.
Kalau benar hal itu akan mereka lakukan, pastilah mereka akan ludes tanpa ada yang melanjutkan nama serta garis keluarga masing-masing.
MENGINGAT hal yang demikian itu, penduduk Pangrantunan segera menjadi ketakutan. Takut pada pembalasan yang bakal datang, karena seorang tua yang belum lama tinggal di tempat itu tidak mau memenuhi permintaan gerombolan Sima Rodra untuk menyerahkan dua tiga butir kelapa.
Kalau mula-mula mereka merasa kasihan kepada orang tua itu, kini tiba-tiba berubah menjadi perasaan marah. Alangkah kikirnya orang tua itu. Serta karena kekikirannya maka seluruh penduduk akan mengalami akibatnya. Meskipun andaikata dua orang anggota gerombolan itu mati karena kebetulan saja, tetapi orang tua yang kikir itulah yang menjadi sebabnya. Apalagi kalau orang tua itu sengaja meracun atau menyihirnya.
Dalam pada itu tiba-tiba penduduk yang bertubuh pendek ketat penuh dengan otot-otot yang menonjol, berteriak dengan kerasnya.
“Hai, saudara-saudara penduduk desa ini. Siapakah sebenarnya yang bersalah andaikata gerombolan Sima Rodra marah kepada kita?”
Maka terdengarlah jawaban dari segenap penjuru. “Orang tua itu, orang tua yang kikir itu.”
Orang tua yang tadi dipukuli gerombolan Sima Rodra itu menjadi bertambah gemetar. “Saudara-saudaraku, apakah salahku terhadap desa ini. Aku telah menerima hukumanku karena aku tidak mau membayar pajak bahan makanan kepada gerombolan Sima Rodra. Lalu apa lagi kesalahanku terhadap kalian?”
“Jangan banyak omong,” bentak orang yang tinggi kekurus-kurusan. “Sejak kau tinggal di desa ini bulan yang lalu, kau hanya mendatangkan bencana saja. Sekarang kau mempergunakan ilmu sihir atau senjata-senjata racun untuk membunuh anggota gerombolan Sima Rodra itu, tanpa mempertimbangkan akibatnya. Bukankah kau tadi mendengar sendiri ancaman mereka terhadap desa kita?”
Orang tua itu seolah-olah menjadi bertambah ketakutan, seperti seekor tikus yang sudah berada di dalam cengkeraman kucing yang sedang marah.
Sementara semua peristiwa itu berlangsung, Mahesa Jenar yang tidak mengerti terhadap semua yang terjadi, menjadi diam kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang tua itu. Apakah ia harus menolong ataukah dibiarkannya saja menjadi korban kemarahan penduduk.
Ki Ageng Pandan Alas dapat meraba perasaan Mahesa Jenar, maka katanya, “Mahesa Jenar, jangan kau ributkan orang tua itu. Ia cukup mampu, bahkan berlebihanlah kemampuannya untuk menjaga diri.”
“Tuan…,” tanya Mahesa Jenar, “permainan apakah yang sedang dilakukan oleh orang tua itu sebenarnya? Adakah orang itu pula yang telah melakukan pembunuhan terhadap kedua orang anggota gerombolan itu?”
“Ya….,” sahut Ki Ageng Pandan Alas. “Tangan orang itu adalah tangan maut apabila dikehendakinya. Dengan sekali tekan pada urat-urat tertentu, seseorang tidak akan dapat hidup lebih dari lima tarikan nafas lagi.”
Mahesa Jenar mendengar keterangan itu dengan penuh keheranan. Alangkah saktinya. Sehingga akhirnya ia bertanya, “Tuan…, guruku, termasuk Tuan yang mempunyai ciri Keris Sigar Penjalin, serta yang akhir-akhir ini dengan sebuah tembang Dandanggula yang merdu.”
“Ah..!” potong Pandan Alas, “kau senang pada lagu itu?”
“Tentu… tentu,” sahut Mahesa Jenar, “tetapi siapakah orang tua itu, yang sama sekali tidak mempergunakan ciri-ciri khusus?”
“Aneh kau Mahesa Jenar,” jawab Ki Ageng Pandan Alas. “Kalau ciri-ciri khusus itu ditunjukkan pada setiap saat dan tempat maka ia akan kehilangan arti kekhususannya. Kecuali hanya dalam saat-saat yang perlu dan penting. Tentang orang tua itupun demikian pula. Ia menganggap sama sekali tidak perlu untuk memperkenalkan dirinya di hadapan penduduk ini.”
“Tetapi siapakah sebenarnya orang itu?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum lucu, tepat seperti pada saat Sagotra mendesaknya untuk melanjutkan ceritera tentang dua ekor naga yang bertempur melawan orang bintang kemukus.
“Mahesa Jenar… sebenarnya kau harus dapat menerka. Siapakah yang paling berkepentingan dengan daerah ini? Beberapa tokoh sakti yang kau kenal? Siapakah diantara mereka yang paling tersinggung apabila daerah ini sampai dinodai? Aku, yang tidak begitu berkepentingan, memerlukan untuk membuktikan kebenaran berita yang aku dengar bahwa daerah ini telah merupakan daerah yang harus menyerahkan bulu bekti kepada salah satu gerombolan aliran hitam. Bagaimanapun aku merasa tidak rela atas hal yang berlaku itu, sebab aku pernah ikut serta menikmati kebesaran daerah ini, sebagai daerah sahabatku. Tetapi untunglah bahwa yang berhak telah datang untuk melindungi daerahnya,” jawab Pandan Alas kemudian.
Mendengar penjelasan Ki Ageng Pandan Alas hati Mahesa Jenar berdesir.
“Jadi, beliau itukah Ki Ageng Sora Dipayana?” tanya Mahesa Jenar.
“Sst… jangan terlalu keras,” desis Pandan Alas.
Perasaan Mahesa Jenar menjadi terputar-putar tidak karuan menyaksikan kenyataan itu. Gembira, terharu, sedih dan segala macam, berkecamuk di dadanya. Seorang yang sakti, serta telah memutuskan untuk menarik diri dari pergaulan, terpaksa turun tangan, dan benar-benar mempergunakan tubuhnya sendiri, untuk soal-soal tetek bengek yang seharusnya dapat diselesaikan oleh orang lain.
Tetapi disamping itu, tumbuh pulalah perasaan hormat serta kekaguman Mahesa Jenar atas sifat kepemimpinan Ki Ageng Sora Dipayana. Sehingga apabila perlu, ia sendiri tidak segan-segan untuk bertindak serta mengorbankan diri.
Sementara itu, kemarahan rakyat Pangrantunan rupa-rupanya sudah memuncak. Sehingga beberapa orang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tinjunya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari seorang yang bertubuh gemuk, tinggi dan berwajah keras seperti batu, “Saudara-saudara, marilah kita tangkap saja orang itu. Kita serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal untuk keselamatan desa kita.”
“Bagus… bagus…. Setuju…, setuju….” teriak yang lain dari segala penjuru.
ORANG TUA yang tidak lain adalah Ki Ageng Sora Dipayana sendiri, tampak semakin ketakutan. Tetapi perasaan Mahesa Jenar sudah tidak lagi tersiksa menyaksikan kejadian-kejadian itu.
“Tetapi… ,” kata orang tua itu mencoba membela dirinya kembali, “Apa yang aku lakukan sebenarnya bukanlah maksudku sendiri. Bagaimana aku berani membantah peraturan pajak itu? Apalagi apa-apa yang dibutuhkan telah ada tersedia.”
“Bukan maksudmu sendiri…?,” tanya yang tinggi kekurus-kurusan.
“Ya, bukan!”, jawab orang tua itu.
“Lalu, siapakah yang menyuruhmu berbuat demikian?” tanya yang pendek ketat dengan otot-otot yang menjorok keluar.”
Kembali terjadilah suatu hal di luar dugaan. Tiba-tiba orang tua itu menunjukkan jarinya kepada Mahesa Jenar dan Pandan Alas.
“Orang asing beserta anaknya itulah yang telah memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan dari gerombolan Sima Rodra. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya, tetapi aku tak berani menolaknya. Tanyakan pada anak muda itu, apakah maksudnya ia berbuat demikian,” kata orang tua itu.
Mendengar jawaban itu, serta merta semua mata memandang kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri tidak begitu jauh di belakang mereka.
Sedang Mahesa Jenar sendiri, yang tidak menduga sama sekali akan terlibat dalam masalah itu, menjadi terkejut tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia jadi cemas.
Kalau saja kemarahan penduduk ditujukan kepada Mahesa Jenar, lalu apa yang harus dikerjakan. Haruskah ia melawan dan mungkin akan menimbulkan bencana bagi penduduk yang seharusnya mendapat perlindungan?.
Tetapi ia lebih tidak mengerti lagi, ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas yang sama sekali tak berkesan apa-apa, malahan wajahnya tampak menggelikan. Sehingga terpaksa ia bertanya, “Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana membebankan masalah ini kepada kami, Tuan.”
“Mahesa Jenar… Dalam keadaan demikian, sebagaimana kau ketahui orang tua itu telah mengetahui kehadiranku. Serta malahan ia mempunyai cara yang aneh untuk mengucapkan selamat datang. Tetapi rupa-rupanya ia masih belum perlu langsung menemuiku seperti juga aku merasa belum waktunya.
Tetapi terang ia minta tolong kepadamu untuk menjelaskan maksudnya. Nah Mahesa Jenar, terserah pelaksanaannya kepadamu, untuk membangkitkan kembali jiwa kejantanan bagi penduduk daerah ini. Tolonglah orang tua itu serta kalau perlu berilah sedikit penerangan dan pertunjukan yang mengesankan,” jawab Pandan Alas berbisik.
Sementara itu perhatian semua orang telah tertuju kepada Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Bahkan ada diantara mereka yang sudah mulai bergerak mendekati. Seorang yang kurus pendek dengan suara yang menjerit bertanya kepada Mahesa Jenar, “He anak muda…, benarkah kau memaksa kepada orang tua itu untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra?”
Mahesa Jenar merasa akan canggung juga untuk menjawab, sampai orang kurus itu membentaknya kembali, “Ayo jawab!”
Tetapi Mahesa Jenar masih juga rikuh untuk berbuat gagah-gagahan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itu ia untuk beberapa saat hanya dapat memandangi wajah orang tua itu, yang tiba-tiba tidak ada lagi perhatian terhadapnya, tetapi tersenyum-senyum sambil mengangguk-angguk kepada Ki Ageng Pandan Alas.
Sebaliknya wajah Ki Ageng Pandan Alas yang kemudian berubah menjadi ketakutan.
Melihat permainan itu semua hampir-hampir Mahesa Jenar tak dapat menahan tertawanya. Rupa-rupanya sedemikian karib persahabatan orang-orang sakti pada saat itu, sehingga sampai hari tuanya pun mereka masih saja bergurau, meskipun dalam keadaan yang demikian.
Sejenak kemudian ketika Mahesa Jenar masih juga belum menjawab, Ki Ageng Sora Dipayana berteriak, “Ya, itulah orangnya yang memaksa aku untuk tidak mentaati peraturan Sima Rodra, sehingga mungkin akan menimbulkan bencana.”
Mendengar suara itu, Mahesa Jenar menjadi sadar bahwa ia harus benar-benar membantu orang tua itu untuk kepentingan kebangkitan daerah Pangrantunan. Karena itu ia menjawab, “Ya, akulah yang memaksa orang tua itu untuk tidak menyerahkan pajak kepada Sima Rodra.”
“Jadi… kaulah biang keladi dari bencana ini, ” teriak salah seorang dari mereka.
“Tangkap juga orang itu,” teriak yang lain tiba-tiba.
“Bagus, tangkap juga orang itu. Kita serahkan pula kepada Sima Rodra untuk tumbal bersama-sama orang tua celaka itu,” sahut yang gemuk tinggi serta berwajah keras seperti batu.
“Tangkap…, tangkap…. ” teriak yang lain bersama-sama. Dan serentak mulailah mereka bergerak.
Melihat gerakan itu Ki Ageng Pandan Alas tampaknya menjadi ketakutan sekali, sehingga tubuhnya gemetar. Dan tiba-tiba ia meloncat melarikan diri.
“Tangkap…, tangkap….” teriak penduduk itu dengan marahnya, ketika mereka melihat salah seorang dari orang asing itu melarikan diri. Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Mahesa Jenar, “Jangan kejar dia. Akulah yang akan mempertanggung jawabkan.”
SUARA itu dilontarkan dengan sepenuh tenaga yang dapat langsung merangsang mereka yang mendengarnya, sehingga terkejutlah semua orang yang sedang siap untuk memburu Ki Ageng Pandan Alas. Mereka tidak tahu apa yang sudah terjadi. Tetapi yang terasa oleh mereka hanyalah suara Mahesa Jenar itu seperti memukul dada mereka masing-masing, sehingga dengan demikian serentak mereka berhenti.
Mereka tersadar ketika Ki Ageng Pandan Alas sudah lenyap, sehingga salah seorang berteriak marah sekali.” He…, kenapa dibiarkan orang tua tadi melarikan diri. Sekarang jangan lepaskan anak muda itu.”
”Jangan takut aku melarikan diri, “ jawab Mahesa Jenar dengan suara yang mantap.
”Aku akan tetap tinggal di sini. Tangkaplah.”
Mendengar tantangan itu, beberapa orang yang sudah akan menyerbu justru terhenti. Mereka menjadi ragu-ragu dan bimbang. Kenapa orang itu begitu berani menghadapi seluruh penduduk Pangrantunan.
”Saudara-saudara penduduk Pangrantunan, salahkah aku kalau aku menasehati orang tua itu untuk tidak tunduk kepada gerombolan liar yang mengganggu ketenteraman desa kalian?, “ kata Mahesa Jenar selanjutnya.
Mendengar pertanyaan itu semua orang menjadi terdiam. Memang dalam hati kecil mereka, sama sekali mereka tidak rela menyerahkan harta benda mereka kepada orang-orang yang datang untuk memerasnya. Tetapi karena ketakutan dan tidak adanya pimpinan, mereka terpaksa melakukannya. Baru setelah beberapa saat terdengar jawaban diantara mereka. “Tetapi dengan tindakan itu, nasib kita semua akan celaka.”
”Nasib saudara-saudara bukanlah mereka yang menentukan,” sambung Mahesa Jenar. “Tetapi ada di tangan saudara sendiri. Kenapa saudara tidak berbuat sesuatu?”
Kembali mereka terdiam mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Ya, kenapa mereka tidak pernah berpikir untuk suatu usaha menghindarkan diri dari pemerasan itu. Tetapi apakah yang dapat dilakukan…?
Tiba-tiba diantara mereka berteriak seorang yang berkumis tebal dan bermata tajam seperti mata burung hantu. “Hai anak muda, kau jangan memperuncing kemarahan kami. Dengan omonganmu itu kau akan berusaha menjelomprongkan kami ke lembah kesengsaraan yang lebih hebat. Kau lihat sekarang, betapa sulitnya keadaan kami sehari-hari, tiba-tiba orang tua celaka itu menambah beban kesulitan kami karena hasutanmu. Sekarang kau berusaha untuk menghasut seluruh penduduk. Apa kau kira kami ini semuanya orang-orang bebal seperti si tua celaka itu? “
”Memang…,” jawab Mahesa Jenar, “aku ingin menghasutmu supaya kamu semua tidak lagi mau menyerahkan sebutir padi pun kepada Sima Rodra.”
”Dengan perbuatan itu,” sambung si kumis tebal dan bermata Burung Hantu, “apakah keuntunganmu? Nah, sekarang tutup mulutnya dan jangan mencoba melawan. Kau akan kami ikat bersama-sama orang tua itu untuk tumbal keselamatan desa ini. Bukankah begitu kawan-kawan…?”
”Betul…, betul….,” sahut mereka hampir serentak.
Dan bersamaan dengan itu, mulailah mereka beramai-ramai menyerbu Mahesa Jenar. Tetapi seperti patung, Mahesa Jenar tetap di tempatnya. Melihat orang asing itu sama sekali tidak bergerak, kembali mereka jadi ragu-ragu dan malahan berhenti beberapa langkah di sekitar Mahesa Jenar. Mereka memandang dengan mata yang bertanya-tanya. Bahkan beberapa diantaranya malahan mulai agak takut-takut melihat sikap yang sedemikian tenangnya.
Melihat hal itu Mahesa Jenar mengeluh dalam hati. Juga Ki Ageng Sora Dipayana tak kalah sedihnya. Sebab dengan peristiwa itu terbuktilah betapa mundurnya keberanian penduduk menghadapi suatu persoalan.
Beberapa tahun yang lalu mereka adalah rakyat yang cukup tangguh dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Tetapi sekarang mereka tidak lebih dari segerombolan pengecut yang berjiwa budak yang paling rendah. Ketika Mahesa Jenar sempat mengerlingkan mata kepada Ki Ageng Sora Dipayana, alangkah terperanjatnya, melihat mata orang tua itu mengaca.
Tetapi tiba-tiba ia berteriak, “Ya…, itulah yang telah menghasutku, kenapa kalian diam saja? Bukankah kalian akan menangkapnya?”
Selesai mengucapkan kata-kata itu segera ia meloncat menyusup di antara orang banyak dan langsung menyerbu Mahesa Jenar. Mahesa Jenar segera menangkap maksud Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun dengan agak segan dan malu-malu, ia meladeni juga orang tua itu. Maka segera terjadilah perkelahian. Ki Ageng Sora Dipayana bergerak dengan sekenanya saja. Memukul, menendang tak berketentuan. Tetapi maksudnya untuk memancing keberanian penduduk, ternyata berhasil.
Melihat orang tua itu mendahului menyerang, segera yang lain pun bertindak. Melihat orang-orang kampung itu mulai berlari-lari untuk menangkapnya, segera Mahesa Jenar meloncat kesana kemari dan sekadar mengadakan perlawanan. Dalam beberapa benturan Mahesa Jenar mengetahui bahwa diantara mereka ada juga yang mempunyai kekuatan cukup serta pengetahuan tata berkelahi yang agak tinggi.
Karena itu anehlah kalau daerah ini tidak dapat berbuat sesuatu untuk melawan kekuasaan Sima Rodra.
Maka, kunci dari kemunduran ini pasti terletak pada pimpinan. Bagaimanapun, kepala daerah Perdikan Pengrantunan yang sekarang adalah putra Ki Ageng Sora Dipayana, yang bernama Ki Ageng Lembu Sora. Apakah Ki Ageng Lembu Sora ini sama sekali tak memiliki sifat-sifat ayahnya? Bukankah apabila dikehendaki untuk melawan Sima Rodra, daerah ini tidak berdiri sendiri?
Pangrantunan hanyalah salah satu dari desa-desa yang berada di dalam lingkaran Perdikan yang sekarang berkedudukan di Pamingit. Tetapi menilik kekuatan Pangrantunan ini sendiri ditambah dengan daerah-daerah lain, pastilah mereka dapat setidak-tidaknya mencegah kekuasaan Sima Rodra atas daerah ini.
Maka setelah mereka berkejar-kejaran serta berkelahi beberapa lama, segera Mahesa Jenar meloncat dengan tangkasnya menembus kepungan mereka, lalu dengan teguhnya berdiri menghadapi penduduk Pangrantunan yang mengejarnya itu sambil berteriak nyaring, “Cukup kawan-kawan, permainan kita ternyata berhasil baik. Jangan menyerang aku lagi. Aku tidak akan melawan. Aku akan tunduk kepada kalian. Tetapi sebelumnya aku ingin berbicara sedikit lagi kepada kalian.”
KETIKA penduduk Pangrantunan yang sedang mengejar Mahesa Jenar itu melihat buruannya meloncat dengan tangkasnya, seolah-olah melampaui kemampuan manusia biasa, serta dalam waktu yang hanya sekejap itu telah dapat dengan tiba-tiba berdiri di luar kepungan mereka, hati mereka tergetar hebat. Segera mereka sadar bahwa itu pastilah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, kembali mereka berhenti beberapa langkah di sekeliling Mahesa Jenar, yang dengan tegapnya berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Kesadaran mereka akan ketinggian ilmu orang asing itu, ternyata telah menuntun ingatan penduduk Pangrantunan kepada kekaguman-kekaguman mereka terhadap orang dari daerah mereka sendiri. Terutama pemimpin mereka yang mereka cintai dengan sepenuh hati, yang sejak beberapa tahun lalu telah menyisihkan diri. Yaitu Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengenal, bahwa orang yang mereka kenangkan itu, telah ada diantara mereka. Bahkan baru saja mengalami siksaan di hadapan mereka. Orang kedua yang mereka kagumi adalah Ki Ageng Gajah Sora, putra sulung Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun belum dapat memiliki seluruh ketinggian ilmu ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora telah dapat digolongkan manusia yang memiliki kelebihan dibanding manusia biasa.
Orang ketiga sesudah itu adalah Ki Ageng Lembu Sora, adik Ki Ageng Gajah Sora. Orang inilah yang sekarang menerima kepercayaan dari ayahnya untuk menggantikan kedudukannya sebagai kepala daerah perdikan Pangrantunan bagian selatan. Tetapi tabiat seseorang ternyata tidak dapat ditentukan dari tetesan darah yang menurunkan. Ki Ageng Lembu Sora yang oleh ayahnya diharapkan akan dapat melanjutkan cita-citanya untuk mengembangkan daerahnya, ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Ia lebih mementingkan kesenangan sendiri.
Bahkan kadang-kadang ia sampai melupakan kedudukannya sebagai pengayom. Malahan tidak jarang ia berbuat hal yang dapat melukai hati rakyatnya. Hal-hal yang demikian itu menimbulkan banyak kegelisahan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya menjadikan rakyat tidak peduli lagi kepada keadaan di sekelilingnya, kecuali kepentingan mereka sendiri-sendiri.
Dan sekarang tiba-tiba muncul seorang yang agaknya termasuk orang yang berilmu tinggi dan bertabiat aneh. Kalau orang ini memaksakan sesuatu peraturan yang bertentangan dengan kemauan gerombolan Sima Rodra, maka akan celakalah nasib penduduk setempat. Sebab mereka tentu tidak akan mampu melawan salah satu diantaranya.
Sementara itu ketika setiap otak dari mereka yang ada di halaman itu sedang dipenuhi dengan berbagai masalah dan persoalan-persoalan, terdengarlah Mahesa Jenar mulai berkata, “Saudara-saudara penduduk Pangrantunan. Setelah kita bermain-main sebentar, aku mendapat kesimpulan bahwa daerah ini bukanlah daerah yang seharusnya dapat menjadi lembu perahan bagi gerombolan Sima Rodra. Seberapakah sebenarnya kekuatan dari gerombolan itu dibandingkan dengan keperkasaan kalian? Kalau kalian merasa bahwa apa yang kalian sediakan untuk gerombolan Sima Rodra setiap bulannya bukanlah kekayaan yang berharga, memang mungkin sekali. Tetapi arti dari kesediaan saudara-saudara menyerahkan pajak kepada gerombolan itulah yang sebenarnya patut disesalkan. Sebab dengan demikian kalian telah menempatkan diri kalian sendiri di bawah kekuasaan Sima Rodra. Apalagi kalau kalian sampai pada perhitungan nilai dari barang-barang itu kalian kumpulkan, lalu kalian jual. Maka pastilah dalam waktu yang singkat kalian dapat mendirikan banjar-banjar desa, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Tetapi lebih dari itu, kalian adalah rakyat yang merdeka, bukan rakyat yang diperbudak oleh Sima Rodra, yang patut mempergunakan segala sumber kekayaan kalian untuk kepentingan kalian sendiri. Nah saudara-saudara, pertahankan kemerdekaan ini. Kalau perlu dengan darah dan jiwa kalian.”
Kata-kata Mahesa Jenar ini terasa seperti membakar dada mereka yang mendengarnya, disamping perasaan malu dan sesal yang menghantam bertubi-tubi.
Hampir semua orang tampak menundukkan mukanya, seolah-olah hendak langsung memandang kekecilan jiwa mereka masing-masing. Disamping itu, makin jelaslah dalam ingatan mereka, keperwiraan serta kejantanan yang pernah mereka alami semasa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.
Mahesa Jenar dapat merasakan, bahwa kata-katanya berhasil menusuk langsung kedalam sanubari pendengarnya. Karena itu sambungnya, Nah saudara, keputusan terakhir adalah di tangan saudara-saudara. Masihkah saudara ingin merdeka, ataukah saudara telah merasa berbahagia dalam penindasan dan pemerasan Sima Rodra? Kalau saudara memilih yang kedua maka aku bersedia untuk saudara-saudara tangkap serta saudara-saudara serahkan kepada Sima Rodra sebagai tumbal keselamatan penduduk.
Kalau kata-kata Mahesa Jenar yang terdahulu telah membakar dada rakyat Pangrantunan, maka kata-katanya yang terakhir itu bagaikan cermin yang langsung diletakkan di hadapan mereka. Sehingga semakin jelaslah noda-noda yang melekat dalam wajah kepribadian mereka.
Untuk mempertegas kata-katanya, Mahesa Jenar melanjutkan, “Saudara-saudara, kalau saudara-saudara sudah merasa bimbang maka sebaiknya saudara-saudara pulang saja sambil merenungkan pilihan manakah yang saudara-saudara anggap paling sesuai dengan sifat serta watak saudara-saudara. Sekarang saudara-saudara kami persilahkan meninggalkan halaman ini. Selama saudara merenungkan kemungkinan yang paling menguntungkan bagi saudara-saudara, aku ingin minta ijin untuk dua-tiga hari. Setelah itu, aku akan datang lagi untuk menerima keputusan kalian.”
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar yang terakhir, penduduk Pangrantunan itu saling pandang. Mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Sampai kembali Mahesa Jenar berkata, “Aku harap kalian meninggalkan halaman ini untuk merenungkan apa yang akan saudara lakukan. Aku yakin bahwa saudara akan memilih keputusan yang benar demi tanah tercinta serta kebesaran nama daerah ini, yang telah diletakkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.”
Meskipun Mahesa Jenar mengucapkan kata-katanya dengan lunak serta sopan, tetapi tajamnya seperti sembilu yang langsung membelah jantung mereka, sehingga terasa suatu desiran yang pedih di dalam dada masing-masing.
SAMBIL menundukkan kepala serta langkah yang lemah, penduduk Pangrantunan mulai satu demi satu bergerak meninggalkan halaman rumah petani tua yang sama sekali tak diketahuinya, bahwa beliaulah Ki Ageng Sora Dipayana.
Dalam kepala mereka berkecamuklah seribu macam masalah. Tetapi satu hal yang telah menyusup di dalam hati mereka tanpa mereka sadari. Sejak saat itu mereka bertekad untuk mempertahankan tanah tercinta ini dari segala macam penindasan dan pemerasan. Kalau perlu akan mereka pertaruhkan darah dan nyawa.
Ketika tidak ada lagi seorang pun di halaman petani miskin itu, segera Mahesa Jenar menundukkan kepalanya kepada Ki Ageng Sora Dipayana sambil berkata, “Tuan…, maafkanlah aku yang sama sekali tidak tahu bahwa Tuanlah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Sora Dipayana.”
Orang tua itu tersenyum.
“Tak apalah. Kalau sampai engkau tidak mengenal, maka berbanggalah aku. Sebab dengan demikian aku merasa bahwa permainanku dapat berhasil,” jawab orang tua itu.
Kembali Mahesa Jenar menghormat.
“Dengan ini atas nama perguruanku aku menyampaikan hormat,” kata Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk lemah.
“Rupanya kau adalah satu-satunya waris dari gurumu,” kata Ki Ageng Sora Dipayana.
“Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya waris yang harus menjunjung nama perguruanku. Tetapi kemampuanku sangatlah terbatas, sehingga aku sangat cemas bahwa tugas itu tak akan berhasil,” jawab Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa lirih.
“Aku tadi ternyata salah tebak. Ketika aku melihat orang tua dari Gunung Kidul yang malahan terkenal dari Wanasaba tadi, aku mengira bahwa kau adalah muridnya. Tetapi ketika aku melihat kau melangkah, barulah aku tahu bahwa kau adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh,” sahut Sora Dipayana.
Benar Ki Ageng, aku adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, jawab Mahesa Jenar lagi.
Siapakah namamu? tanya Ki Ageng kemudian.
Mahesa Jenar Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar.
Lalu adakah kau mendapat tugas dari perguruanmu sehingga kau sampai ke daerah Pangrantunan ini?
Mendengar pertanyaan Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar jadi bimbang. Haruskah ia menyatakan tujuan sebenarnya, ataukah tidak? Dalam kebimbangan hati, Mahesa Jenar tidak segera dapat menjawab sehingga dalam beberapa saat ia berdiri kebingungan. Ki Ageng Sora Dipayana ternyata memang orang yang bijaksana. Karena itu segera ia menyambung, Mungkin kau mendapat tugas rahasia dari seseorang. Nah, kalau begitu baiklah aku bertanya soal lain saja.
Tidak, Ki Ageng… tidak…, potong Mahesa Jenar tergagap.
Ki Ageng Sora Dipayana tertawa perlahan. Kemudian ia bertanya, Kaukah satu-satunya Ki Ageng Pengging, yang masih ada? Gurumu almarhum adalah sahabat dekatku. Jadi jangan kau menaruh prasangka apapun kepadaku. Nah, tinggallah untuk sementara bersama aku di Pangrantunan.
Terima kasih Ki Ageng, terpaksa aku dengan menyesal tak dapat memenuhi, sebab aku masih harus meneruskan perjalanan, jawab Mahesa Jenar.
Begitu tergesa-gesa? potong Ki Ageng.
Benar Ki Ageng.
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Keningnya tampak berkerut, dan tiba-tiba terloncat kata dari mulutnya, Ke Gunung Tidar?
Pertanyaan ini rupanya mengejutkan Mahesa Jenar, sehingga ia kebingungan, sampai Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan, Bagus, pergilah ke sana. Barangkali ada perlunya. Aku menduga bahwa kau tidak akan menderita sesuatu kalau kau cukup hati-hati. Bukankah Ki Ageng Pengging Sepuh terkenal dengan Sasra Birawa-nya? Aku kira kau telah memiliki itu pula.
Mahesa Jenar tak dapat berbuat lain kecuali mengiakan semua kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana, meskipun ia sendiri tak habis heran, kenapa orang tua itu dapat menebak maksudnya dengan tepat.
Meskipun demikian…, sambung orang tua itu, kau harus tetap waspada. Sebab penghuni Gunung Tidar bukan pula orang yang patut direndahkan. Dan jagalah bahwa kau dapat langsung mendekati tempat tinggal Sima Rodra.
Usahakan untuk tidak diketahui oleh para penjaga-penjaganya. Sebab bagaimanapun, jumlah yang banyak akan turut serta menentukan keseimbangan pertempuran. Apalagi disamping Sima Rodra sendiri masih ada beberapa orang yang termasuk orang-orang yang berilmu.
Kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu bagi Mahesa Jenar merupakan petunjuk yang sangat berharga. Maka dengan perasaan yang gembira ia mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Kau pernah ke Gunung itu? tanya Ki Ageng Sora Dipayana kemudian.
Belum Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar. Tetapi aku pernah lewat desa Gelangan di dekat Gunung itu.
Desa yang berbentuk gelang serta di tengah-tengahnya ada danaunya? tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
Benar Ki Ageng, jawab Mahesa Jenar.
KI AGENG Sora Dipayana kemudian menyarankan Mahesa Jenar agar mengambil jalan ke arah desa itu. Sebab kau akan terlalu banyak membuang waktu. Sebaiknya kau mengambil jalan yang biasa dilalui oleh gerombolan itu, melewati hutan bagian selatan. Kau tidak perlu lagi mencari-cari jalan, sebab daerah itu sering dilewati oleh anak buah Sima Rodra sehingga seakan-akan telah menjadi sebuah jalan raya. Sedang kalau kau bertemu dengan satu-dua orang dari mereka maka hal itu bukanlah hal yang perlu diributkan. Kau dapat dengan mudah menyembunyikan diri, atau dengan semudah itu pula membinasakan mereka, kata Ki Ageng.
Mahesa Jenar mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima dari Ki Ageng Sora Dipayana, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
Nah Mahesa Jenar, kata Ki Ageng Sora Dipayana akhirnya, memang sebaiknya kau tidak banyak membuang waktu. Kau dapat segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada halangan, besok malam kau sudah akan sampai ke pusar pulau Jawa itu. Ingatlah, hindari pertemuan dengan para pengawal gunung. Pergilah langsung ke lambung utara. Di sana terletak sebuah goa tempat tinggal suami-istri Sima Rodra itu. Sedang untuk mendekati bukit itu ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam.
Sekali lagi Mahesa Jenar mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia mohon diri untuk segera melanjutkan perjalanannya ke Gunung Tidar. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Sora Dipayana.
Tetapi satu hal yang sama sekali tak diduganya, adalah bahwa dengan memberikan segala petunjuk itu, Ki Ageng Sora Dipayana telah membuat suatu rencana. Rencana yang hanya diketahui oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu sendiri. Karena itu ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan langkah yang tetap berjalan menurut petunjuknya, tampaklah orang tua itu tersenyum sambil bergumam, Mudah-mudahan rencanaku berhasil. Bukankah dengan demikian aku telah membuat suatu jasa pada mereka…
Sementara itu Mahesa Jenar berjalan dengan langkah yang cepat. Ia mengharap bahwa besok malam ia sudah dapat sampai ke tempat tinggal Sima Rodra. Menilik rencana pertemuan dari golongan hitam, dimana Sima Rodra akan ikut serta, maka dapatlah dibayangkan bahwa setidak-tidaknya Sima Rodra sendiri atau berdua dengan istrinya, pasti mempunyai tingkat kepandaian sama dengan Lawa Ijo.
Ditambah lagi mereka ternyata memiliki pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Karena itu, ia harus berhati-hati dalam tiap tindakannya untuk mendapatkan kembali keris Nagasasra dan Sabuk Inten.
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh meninggalkan desa Pangrantunan, matahari telah condong ke barat. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun demikian panas yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti menyengat-nyengat kaki. Karena itu Mahesa Jenar semakin mempercepat langkahnya. Sekali-kali ia meloncat-loncat di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan.
Sebentar kemudian Mahesa Jenar telah meninggalkan daerah-daerah persawahan Pangrantunan. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan kecil untuk segera sampai ke induk hutan yang memagari tanah perdikan Pangrantunan.
Tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berjalan cepat-cepat itu mendengar suara ringkik kuda. Segera ia menghentikan langkahnya serta bersiap-siap, kalau-kalau suara ringkik kuda itu berasal dari gerombolan Sima Rodra. Tetapi sampai beberapa saat ia sama sekali tidak mendengar langkahnya. Karena itu Mahesa Jenar menduga bahwa kuda itu pastilah berhenti.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar menyusup batang-batang ilalang, mendekati arah suara ringkikan kuda itu. Setelah beberapa langkah, benar-benar Mahesa Jenar melihat kuda lengkap dengan pelananya, tetapi tidak ada penunggangnya. Maka timbullah kecurigaannya. Tiba-tiba ia menjadi sangat terkejut ketika dilihatnya di samping kuda itu, menggeletak sesosok tubuh yang rupa-rupanya sudah tidak bernyawa lagi.
Perlahan-lahan dan hati-hati ia merunduk mendekati mayat itu. Ternyata bahwa mayat itu adalah mayat seorang laki-laki yang gagah. Di tangannya masih tergenggam sebatang tombak pendek. Ketika Mahesa Jenar mengamat-amati daerah di sekitar mayat itu, sama sekali tidak terdapat bekas-bekas telapak, baik telapak kuda maupun telapak kaki manusia yang lain kecuali telapak kuda yang seekor itu.
Ketika Mahesa Jenar sudah yakin bahwa di sekitar tempat itu sama sekali tidak ada bahaya, maka mulailah ia mengamat-amati mayat orang gagah itu dengan saksama.
Wajah mayat itu tampak biru kemerah-merahan, hampir di seluruh permukaan kulitnya tampak noda-noda biru kemerah-merahan. Melihat tanda-tanda itu segera Mahesa Jenar dapat menerka bahwa orang itu pasti meninggal karena racun.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar mencari, masih belum dapat ditemukan luka yang menyebabkan kematian orang itu. Baru ketika mayat itu ditelungkupkan, tampaklah sebuah jarum sumpit yang masih menancap di punggungnya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa orang itu telah diserang dari belakang. Atau kemungkinan lain orang itu dikenai sumpit pada waktu ia sedang melarikan diri.
Lebih heran lagi Mahesa Jenar ketika melihat pada ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan, dan dibuat dari kulit kerbau, tampaklah sebuah pahatan yang mirip dengan dua ekor ular yang saling membelit. Mula-mula Mahesa Jenar agak bingung menafsirkan gambar itu, tetapi akhirnya berdesirlah jantungnya. Ini pastilah gambar dua ekor uling. Kalau demikian maka orang ini pasti termasuk salah seorang anggota gerombolan yang dikenal dengan nama pimpinannya, sepasang uling dari Rawa Pening.
Tetapi kenapa ia sampai kemari, juga siapa yang membunuhnya, merupakan suatu teka-teki bagi Mahesa Jenar. Yang terang baginya adalah, bahwa orang itu belum terlalu lama meninggal. Mungkin pagi tadi, atau malahan sesudah hampir tengah hari.
BELUM lagi Mahesa Jenar selesai meneliti tubuh mayat itu, tiba-tiba terdengarlah derap beberapa ekor kuda. Cepat-cepat Mahesa Jenar memperhatikan arahnya, lalu dengan cepat sekali ia meloncat ke gerumbul yang terdekat. Ia harus berusaha untuk bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah yang datang. Beberapa saat kemudian derap kuda itu sudah dekat benar, dan segera muncullah dari dalam hutan beberapa orang berkuda. Rupanya mereka sedang mencari sesuatu atau mencari jejak, sebab hampir semua dari mereka mengawasi jalan yang akan dilewatinya.
Melihat rombongan itu, sekali lagi Mahesa Jenar tersirap. Diantara orang-orang berkuda itu, Mahesa Jenar melihat, bahwa meskipun orang itu berpakaian laki-laki, tetapi jelas bahwa ia adalah seorang perempuan. Maka tanggapan Mahesa Jenar segera mengarah kepada istri Sima Rodra. Sedangkan apakah Sima Rodra sendiri ada diantara mereka, Mahesa Jenar masih belum tahu.
Rombongan itu ternyata benar-benar sedang mencari jejak kaki. Malahan jejak kaki orang yang meninggal itu. Karena itu, pada mayat orang gagah itulah rombongan berkuda itu mengarah. Dengan demikian Mahesa Jenar harus semakin rapat bersembunyi.
Ternyata setelah mereka dekat serta semakin jelas, jumlah mereka seluruhnya ada tujuh orang, satu diantaranya seorang perempuan yang sudah hampir setengah umur, tetapi menilik tubuh serta wajahnya ia masih tampak lincah dan cantik.
Ketika salah seorang dari mereka melihat mayat itu, ia segera berteriak, Itulah dia… Ki Lurah.
Mendengar teriakan itu, seorang yang bertubuh tegap, gagah, bahkan lebih agak gagah dari mayat itu, segera meloncat turun dari kudanya dan berjalan mendekati mayat itu, yang segera disusul oleh satu-satunya perempuan dalam rombongan itu.
Melihat mereka berdua, segera Mahesa Jenar menebak bahwa mereka berdualah yang terkenal dengan suami-istri Sima Rodra.
Setelah mereka sampai pada mayat itu, segera suami-istri itu berjongkok mengamat-amati. Kemudian segera tangannya meraih tombak pendek itu.Hem.., sayang adi Gemak Paron. Terpaksa aku membunuhnya. Kalau tidak, pastilah Kiai Kala Tadah ini jatuh ke tangan sepasang Uling Rawa Pening, gumamnya.
Mungkin tujuannya lebih dari itu, sahut istrinya, Mungkin Adi Gemak Paron mendapat tugas untuk mengambil kedua keris itu.
Mungkin juga, jawab si suami, sebab kalau tidak, tugas yang penting itu pastilah bukan Adi Gemak Paron yang harus melaksanakan.
Tetapi kejadian ini pasti ada akibatnya, sela istrinya, Apakah kakak-beradik dari Rawa Pening itu akan tinggal diam?
Pasti tidak, jawab si suami, Tetapi ia tidak pula akan bertindak gegabah. Sebab kalau tindakannya terdengar oleh golongan lain, pasti akan menimbulkan keributan pula. Pastilah Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya tidak pula akan tinggal diam.
Si istri tampak berpikir sejenak, lalu katanya, itu berarti akan mempercepat saat pertemuan akhir tahun ini di Rawa Pening. Mungkin mereka akan bersama-sama datang ke Gunung Tidar untuk memperebutkan pusaka-pusaka itu.
Mungkin, jawab suaminya. Itu berarti pekerjaan kita bertambah berat.
Lalu bagaimana dengan Adi Gemak Paron itu? potong istrinya. Sebab Adi Yuyu Rumpung yang lolos dari kejaran kami pasti segera akan melaporkan kejadian ini.
Belum lagi mereka menentukan sikap, tiba-tiba terdengarlah derap kuda dari arah lain. Tampaklah bahwa semua orang dalam gerombolan itu terkejut. Tidak terkecuali suami-istri Sima Rodra.
Rupa-rupanya Adi Gemak Paron tidak hanya berdua, desis si istri.
Kau benar, jawab suaminya. Bersiaplah kalian, perintahnya kepada anak buahnya.
Maka segera mereka pun bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Suara derap kuda itu semakin lama semakin jelas. Dan Mahesa Jenar pun tidak kalah cemasnya, sebab arah derap kuda itu menuju kepadanya. Karena itu, ia pun melipat dirinya lebih kecil lagi di bawah sebuah gerumbul yang berdaun rapat.
Sejenak kemudian kuda yang larinya seperti terbang meluncur hanya beberapa langkah di samping Mahesa Jenar. Melihat penunggang-penunggangnya, Mahesa Jenar agak keheran-heranan pula. Mungkinkah mereka dari gerombolan Uling Rawa Pening? Sebab tampaklah wajah mereka berbeda dengan wajah-wajah gerombolan Sima Rodra. Sedangkan pakaian mereka pun sama sekali tidak seperti pakaian orang yang mati itu.
Rombongan yang kedua ini terdiri dari orang yang jumlahnya lebih banyak. Semua kira-kira ada 15 orang. Ketika rombongan yang kedua ini melihat rombongan Sima Rodra, mereka pun tampak terkejut. Maka dengan segera mereka menarik tali kekang kuda mereka, sehingga kuda-kuda mereka berdiri dan berhenti seketika.
Melihat rombongan yang baru saja datang itu, ternyata Sima Rodra beserta anak buahnya bertambah terkejut lagi, sehingga ketika rombongan yang kedua itu telah berhenti. Sima Rodra segera berkata, Aku menyampaikan hormat yang setinggi-tingginya kepada rombongan Ki Ageng Lembu Sora.
Mendengar sapa Sima Rodra itu, giliran Mahesa Jenar yang terkejut bukan kepalang. Inilah orangnya yang bernama Ki Ageng Lembu Sora, putra kedua dari Ki Ageng Sora Dipayana.
Ki Ageng Lembu Sora adalah seorang yang bertubuh sedang, berwajah keras. Matanya memancarkan sinar ketamakan dan pemujaan kepada nafsu-nafsu jasmaniah.
Sambil masih duduk di atas kudanya ia menjawab, Salamku kepada kalian.
Terima kasih Ki Ageng, jawab Sima Rodra.
Kenapa kalian berada di tempat ini? tanya Ki Ageng Lembu Sora.
Kami sedang mengejar orang ini, Ki Ageng, jawab Sima Rodra sambil menunjuk kepada mayat Gemak Paron.
Siapakah dia? tanya Lembu Sora kembali.
Ia berusaha untuk mencuri pusaka kami, Kiai Kala Tadah. Untunglah bahwa aku dapat mengenainya dengan sumpit, sehingga ia tidak dapat melarikan diri lebih jauh lagi, jawab Sima Rodra.
LEMBU SORA tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Dari manakah dia?”
“Dari daerah Rawa Pening,” jawab Sima Rodra.
“Gerombolan yang dipimpin oleh Uling Rawa Pening…?” Lembu Sora menegaskan.
“Ya,” jawab Sima Rodra.
Sekali lagi Lembu Sora mengangguk-angguk.
Untunglah gerombolan Uling itu sampai sekarang masih diberi kesempatan berdiri. Kalau saja Kakang Gajah Sora sudah mau bertindak maka umur gerombolan itu tidak akan lebih dari satu senja, kata Lembu Sora kemudian.
Rupanya hal itu pun disadari oleh sepasang Uling itu, sehingga mereka tidak berani berbuat apa-apa di dalam wilayah kekuasaan Ki Ageng Gajah Sora. Meskipun secara perseorangan belumlah pasti bahwa kakak-beradik Uling itu dapat dikalahkan oleh Gajah Sora, sahut Sima Rodra.
“Kau yakin akan hal itu?” potong Lembu Sora.
“Hal yang mungkin sekali,” jawab Sima Rodra.
Lembu Sora tampak mengernyitkan alisnya. Ia tampak tidak begitu senang mendengar keterangan Sima Rodra itu. Seperti kau yakin bahwa kau tidak dapat aku kalahkan, katanya kemudian.
Sima Rodra menarik nafas panjang. Tampaklah betapa tajam pandangan matanya.
Perlahan-lahan ia menegakkan kepalanya, memandang ke arah puncak-puncak pohon raksasa yang bertebaran di hutan. Jelas, betapa ia mencoba menguasai dirinya untuk tidak bertindak tergesa-gesa.
Sebentar kemudian, baru Sima Rodra menjawab, “Ki Ageng, aku tidak ingin berkata demikian. Selama kita masih saling menghormati persetujuan kita. Biarlah, apa saja yang akan terjadi di daerah Banyu Biru dan Rawa Pening. Sedang diantara kita hendaknya tetap berlaku persetujuan yang sudah sama-sama kita terima, supaya kita tidak usah menilai, siapakah diantara kita yang lebih kuat. Sedangkan apa yang berlaku sekarang aku rasa sudah saling menguntungkan.”
Wajah Lembu Sora menjadi tegang pula. Rupanya ia pun sedang berusaha untuk menguasai perasaannya.”
Sejenak kemudian dengan mata yang berapi-api ia berkata, “Bagus, kalau kau masih tetap dalam pendirianmu itu. Tetapi aku dengar kau mulai membuat perkara. Karena itu aku sekarang memerlukan berkeliling pagar perdikanku untuk mengetahui kebenaran berita bahwa kau mulai merambah ke daerah lalu lintas dengan Pamingit.”
“Itu tidak benar, ” potong Sima Rodra, “Aku tidak biasa berbuat kecurangan-kecurangan yang naif semacam itu. Mungkin dalam kehidupanku telah ribuan kali aku berbuat curang, tetapi untuk keperluan yang cukup bernilai dan seimbang dengan kecurangan yang terpaksa aku lakukan.”
Sima Rodra diam sejenak. Suasana segera meningkat semakin tegang. Tampaklah bahwa masing-masing telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi setiap kemungkinan.
“Yang benar… dua orangku pagi ini telah mati di Pangrantunan, ” lanjut Sima Rodra.
Lembu Sora tampaknya agak terkejut mendengar berita itu, sehingga ia bertanya, “Kenapa? “
“Sebabnya masih belum begitu jelas, sebab aku masih belum sempat mengusutnya, karena ada peristiwa pencurian pusaka ini. Tetapi dua-tiga hari yang akan datang, pastilah aku sendiri akan datang ke Pangrantunan untuk melihat siapakah yang telah berbuat kejahatan itu, ” jawab Sima Rodra.
Sima Rodra…, yang termasuk dalam persetujuan kita hanyalah sumbangan hasil bumi dari penduduk Pangrantunan, bukan orang-orangnya, sahut Sima Rodra.
“Tetapi aku tidak membiarkan pembunuhan itu menjadi kebiasaan. Karena itu, yang bersalah harus mendapat hukuman, ” jawab Sima Rodra.
“Aku beri wewenang kau melakukan hukuman hanya kepada yang bersalah. Tetapi awas, jangan berbuat sekehendakmu saja atas orang-orangku. Sebab ganti yang kau berikan kepadaku akhir-akhir ini ternyata mulai merosot nilainya, ” kata Lembu Sora.
Mendengar kata-kata Lembu Sora yang terakhir, tiba-tiba Sima Rodra tertawa menggelegar.
Katanya kemudian, “Jangan takut Ki Ageng, lain kali pasti akan lebih memberi kepuasan kepada Ki Ageng…”
.
“Aku berkata sebenarnya, karena itu segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku akan melanjutkan perjalanan sekarang,” potong Ki Lembu Sora.
Sehabis mengucapkan kata-kata itu, segera ia menarik tali kekang kudanya, serta mencambuknya keras-keras, sehingga kudanya terloncat dan berlari kencang. Para pengikutnya segera mengikutinya pula. Suami-istri Sima Rodra bersama anak buahnya mengawasinya sampai hilang di balik semak-semak.
Setelah itu kembali terdengar Sima Rodra tertawa tergelak-gelak.
“Orang gila. Rupa-rupanya masih juga ada sisa-sisa minatnya untuk meninjau daerah perdikannya yang sebentar lagi pasti akan dapat aku telan seluruhnya,” kata Sima Rodra kemudian.
JANGAN terlalu tergesa-gesa. Apa kau kira Ki Ageng Gajah Sora akan tinggal diam? potong istrinya.
Dengan kedua pusaka keris Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tangan kita, pastilah bahwa kita akan menguasai segenap aliran hitam di pulau Jawa, seperti apa yang pernah kita janjikan bersama. Sesudah itu apakah arti kekuasaan Gajah Sora. Sedangkan Demak sendiri lambat laun pasti akan dapat aku lenyapkan pula, kata Sima Rodra.
Istri Sima Rodra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, Mudah-mudahan semua itu tidak hanya merupakan sebuah impian yang akan lenyap bersama terbitnya matahari.
Si suami tertawa perlahan-lahan. Seperti kepada dirinya sendiri ia berkata, Aku harus bekerja lebih keras. Mungkin akan banyak hal yang harus aku hadapi dalam perjalanan ke istana Demak.
Lalu apa yang akan kita perbuat sekarang? Tiba-tiba istrinya bertanya.
Sima Rodra itu menjadi seperti orang yang tersadar dari lamunannya. Kembali ia mengamat-amati mayat Gemak Paron.
Sebentar kemudian ia berkata, Marilah Nyai, sebaiknya kita kembali. Mungkin sehari dua hari kakak-beradik Uling dari Rawa Pening akan berkunjung ke rumah kita. Baru sesudah itu kita pergi ke Pangrantunan untuk mencari pembunuh-pembunuh itu.
Tidakkah kita selesaikan sama sekali masalah Pangrantunan yang tinggal tidak seberapa jauh lagi?
Sima Rodra tampak agak berpikir, tetapi segera ia menjawab, Masalah Pangrantunan sama sekali bukan masalah yang perlu mendapat perhatian banyak. Tetapi sepasang Uling itu benar-benar memerlukan persiapan yang cukup untuk menyambutnya.
Setelah itu maka segera ia pun berdiri meninggalkan mayat Gemak Paron, langsung menuju ke kudanya. Dan sejenak kemudian rombongan itu pun pergi meninggalkan mayat itu tetap terkapar, sambil membawa kembali pusaka yang disebutnya Kiai Kala Tadah.
Setelah derap kuda mereka tak terdengar lagi, Mahesa Jenar perlahan-lahan keluar dari persembunyiannya. Tanpa sadar ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap dadanya. Meskipun ia tidak tahu bunyi perjanjian antara Ki Ageng Lembu Sora dan Sima Rodra, tetapi bahwa Ki Ageng Lembu Sora bersedia menyerahkan sebagian dari wilayahnya untuk sumber perbekalan dari golongan hitam, adalah suatu tindakan yang tercela.
Apapun yang diterima Lembu Sora dari Sima Rodra sebagai gantinya, hal itu adalah suatu penghinaan atas kekuasaan yang dipegangnya, dengan membiarkan adanya kekuasaan asing turut serta mencampuri masalah di dalam rangkah. Apalagi ketika Mahesa Jenar teringat akan rencana Sima Rodra, tidak saja menguasai Perdikan ini, tetapi ia sudah mulai merintis jalan ke Demak.
Tetapi ketika ia teringat bahwa Ki Ageng Sora Dipayana dengan ujudnya yang baru telah kembali ke Pangrantunan, hatinya menjadi agak tenteram. Pasti orang tua itu tidak akan membiarkan pengkhianatan itu tetap berlangsung. Sebab kekuasaan yang selalu dibayangi oleh kekuasaan lain tidaklah lebih dari kekuasaan boneka.
Sebentar kemudian segera Mahesa Jenar sadar akan tugasnya. Ia harus cepat-cepat pergi ke Gunung Tidar. Kalau benar apa yang diperhitungkan oleh Sima Rodra, yaitu kemungkinan akan datangnya Uling dari Rawa Pening, maka ia harus berusaha untuk mendahuluinya. Sebab kalau tidak, dan sepasang Uling itu sampai berhasil merebut kedua keris pusaka itu, maka tugasnya akan bertambah sulit.
Karena itu Mahesa Jenar pun segera melanjutkan perjalanannya. Sejenak kemudian ia telah memasuki daerah hutan yang cukup lebat pula. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana, bahwa di dalam hutan itu seolah-olah telah dibuat sebuah jalan, yang walaupun sempit tetapi cukup baik untuk lalu lintas kuda maupun orang berjalan. Maka tidaklah ada kesulitan apa-apa bagi Mahesa Jenar untuk langsung menuju ke Gunung Tidar.
Tetapi belum lama ia menyusur jalan rimba, tiba-tiba didengarnya telapak kuda yang lari sangat kencang dari arah depan.
Mula-mula Mahesa Jenar mengira orang-orang Sima Rodra. Tetapi ketika diketahuinya bahwa suara derap kuda itu tidak lebih dari seekor, maka maksudnya untuk menghindar itu diurungkan. Ia tetap saja berdiri menepi dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian baru tentang Sima Rodra dari orang itu.
Sebentar kemudian tampaklah seekor kuda yang lari seperti terbang menuju ke arahnya. Penunggangnya adalah orang yang pendek kokoh dan berjambang tebal.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar, ia pun tampak terkejut. Segera ia menarik kekang kudanya sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan Mahesa Jenar. Mula-mula wajah orang itu tampak tegang.
Tetapi ketika ia melihat ikat pinggang orang itu, yang lebarnya hampir selebar telapak tangan serta dibuat dari kulit kerbau, menjadi terkejut. Segera ia ingat kepada Gemak Paron yang mati kena sumpit punggungnya, juga memakai ikat pinggang yang serupa.
Maka kesimpulan bagi Mahesa Jenar, orang ini pasti juga salah seorang dari gerombolan Uling Rawa Pening. Mungkin orang inilah yang tadi disebut-sebut dengan nama Yuyu Rumpung, yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Sima Rodra.
Kalau demikian, kiranya Yuyu Rumpung tadi telah berhasil menyelinap ke dalam hutan, sementara gemak Paron berlari terus. Kemudian setelah diketahuinya bahwa Sima Rodra telah kembali ke sarangnya, ia segera berusaha untuk melarikan diri.
Orang berkuda itu, setelah memandangi Mahesa Jenar sejenak segera bertanya, Siapakah kau yang berani lewat di jalan yang khusus bagi gerombolan Sima Rodra?
Tiba-tiba timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk menjajagi kekuatan gerombolan Uling ini, dengan mencoba kekuatan salah seorang anggotanya yang terkemuka. Dengan demikian ia akan dapat mengetahui kira-kira sampai dimana kekuatan anggota-anggota yang lain. Sedang pimpinan rombongannya sendiri pastilah tidak akan banyak terpaut dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan mungkin juga Sima Rodra.
SETELAH berpikir sejenak, Mahesa Jenar segera menjawab, Namaku Yuyu Rumpung, dan berasal dari Rawa Pening. Aku adalah salah seorang kepercayaan kakak-beradik Uling untuk mencari keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi sayang bahwa aku dan Gemak Paron hanya berhasil mengambil tombak pendek yang bernama Kala Tadah. Itu saja Gemak Paron terpaksa menebus dengan nyawanya, sedang tombak itu kembali kepada pemiliknya.
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, segera wajah orang itu, yang sebenarnya adalah Yuyu Rumpung, menjadi merah menyala. Ia menjadi marah sekali karena jawaban itu seolah-olah merupakan suatu sindiran akan ketidakmampuannya melakukan tugas yang dibebankan kepadanya bersama Gemak Paron. Karena itu dengan gigi yang gemeretak ia berteriak.
Orang gila, jangan kau mau main-main dengan Yuyu Rumpung. Meskipun aku tidak berhasil mencuri kedua pusaka itu, tetapi aku pasti akan bisa mematahkan lehermu. Tetapi sebelum itu, supaya aku tahu, siapakah yang telah aku bunuh, hendaknya kau mengatakan namamu yang sebenarnya.
Mendengar teriakan Yuyu Rumpung, Mahesa Jenar hanya tertawa dingin.
Kau memang lekas marah. Untuk melaksanakan tugas yang sulit itu seharusnya Uling Rawa Pening memilih orang yang tenang dan dapat menguasai perasaannya. Mungkin Gemak Paron tidak selekas engkau ini menjadi marah, jawab Mahesa Jenar.
Rupanya Yuyu Rumpung sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi. Segera ia meloncat dari kudanya dan dengan suatu gerakan yang dahsyat ia langsung menyerang Mahesa Jenar dengan suatu pukulan ke arah pelipis.
Ternyata Yuyu Rumpung adalah orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Pukulannya mengandung tenaga yang hebat, serta cepat.
Mendapat serangan yang demikian cepatnya, Mahesa Jenar segera merendahkan diri dan dengan sebagian tenaganya ia mempergunakan ujung sikunya untuk menyerang lambung lawannya. Tetapi Yuyu Rumpung pun ternyata lincah sekali, sehingga ia tidak terlambat meloncat mundur menghindar. Tetapi dalam hati ia pun tidak habis heran.
Siapakah orang yang berjalan di dalam hutan seorang diri, tetapi mempunyai keuletan yang sedemikian tinggi. Apalagi ia sudah tahu nama, asal serta tugas yang sedang dilaksanakan.
Mahesa Jenar tidak sempat merenung-renung, sebab ketika sadar bahwa serangannya gagal, segera ia memutar tubuhnya, dan dengan kaki kirinya ia menghantam perut Yuyu Rumpung. Sekali lagi Yuyu Rumpung terpaksa meloncat ke samping, tetapi kali ini ia tidak mau terus-menerus diserang. Karena itu demikian kakinya melekat diatas tanah, segera ia maju menyodok perut Mahesa Jenar.
Kali ini sengaja Mahesa Jenar tidak menghindarkan diri, tetapi dengan tangannya ia memukul tangan Yuyu Rumpung ke samping. Yuyu Rumpung yang percaya pada kekuatannya, ketika melihat Mahesa Jenar menangkis pukulannya sama sekali ia tidak berusaha menarik tangannya, malahan seluruh tenaganya dikerahkan. Maka segera terjadilah suatu benturan yang keras sekali. Dengan tak diduga sama sekali oleh Yuyu Rumpung, bahwa lawannya memiliki tenaga yang dahsyat, sehingga ia jatuh terguling.
Sebaliknya Mahesa Jenar pun merasakan kekuatan Yuyu Rumpung sehingga tangannya terasa agak sakit.
Sampai sekian Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa orang ini kira-kira tidak lebih dari Carang Lampit, orang kedua sesudah Wadas Gunung dalam gerombolan Lawa Ijo. Maka ketika dengan sedikit kesulitan Yuyu Rumpung berdiri, segera Mahesa Jenar meloncatinya, dan dengan tangannya yang kokoh kuat, segera ia menangkap kedua lengan Yuyu Rumpung, dan dengan lututnya ia menekan punggungnya. Yuyu Rumpung terkejut melihat kegarangan lawannya. Tetapi tak ada lagi kesempatan baginya untuk melepaskan diri.
Selanjutnya terdengar Mahesa Jenar bertanya, Yuyu Rumpung, selain kau dan Gemak Paron, siapakah yang termasuk orang-orang penting dalam gerombolanmu?
Pertanyaan ini telah memusingkan kepala Yuyu Rumpung. Ia pun segera mengetahui bahwa orang ini pasti bukan dari golongan hitam, sebab dari golongan itu, pada umumnya sudah mengenal siapa-siapa yang menjadi orang-orang terpenting dalam gerombolan masing-masing.
Ketika sampai beberapa lama ia tidak menjawab, terasa tekanan lutut di punggungnya semakin keras semakin keras. Sehingga terpaksa ia berkata, Apakah kepentinganmu dengan mengetahui orang-orang kami?
Itu adalah soalku, yang kuminta hanyalah kau sebutkan nama-nama itu, dan jangan bohong, jawab Mahesa Jenar,
Sementara itu punggung Yuyu Rumpung semakin terasa sakit, sehingga akhirnya ia tak dapat mengelak lagi. Gemak Paron adalah orang kedua dalam gerombolan kami, sedang aku adalah orang ketiga, jawabnya.
Siapakah orang pertama? tanya Mahesa Jenar lagi.
Orang pertama adalah kakang Seri Gunting.
Kenapa bukan Seri Gunting itu yang pergi untuk mencuri pusaka-pusaka itu?
Kakang Seri Gunting sedang tidak ada di rumah.
Kemana dia?
Ke Nusa Kambangan.
Ke tempat Jaka Soka?
Mendengar pertanyaan Mahesa Jenar itu, Yuyu Rumpung menjadi bertambah heran. Rupanya orang ini sudah agak banyak mengenal tokoh-tokoh hitam. Karena itu ia harus lebih berhati-hati, sebab mungkin malahan seluruhnya sudah diketahui, sehingga pertanyaan-pertanyaannya hanya merupakan sebuah pancingan saja.
Maka jawabnya, Ya, kakang Seri Gunting pergi ke tempat Jaka Soka.
Mahesa Jenar mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa kekuatan gerombolan hitam itu benar-benar seimbang, sehingga pertemuan akhir tahun di Rawa Pening benar-benar akan menarik.
Ketika Mahesa Jenar tidak memerlukan hal-hal lain lagi, segera Yuyu Rumpung dilepaskan, tetapi ia tidak membiarkannya pergi berkuda.
Yuyu Rumpung, kau boleh pergi, tetapi aku ingin meminjam kudamu. Sedang kau dapat mencari kuda Gemak Paron untuk kau pakai. Aku temukan tadi mayatnya di luar hutan. Kalau kau akan mencarinya, pergilah membelok ke selatan, di mulut lorong ini, kata Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sengaja membiarkan Yuyu Rumpung berjalan kaki dan menunjukkan arah yang salah atas mayat Gemak Paron, supaya orang ini tidak segera sampai di Rawa Pening. Ia mengharap untuk dapat mendahului kakak beradik Uling itu.
Yuyu Rumpung yang tidak tahu maksud Mahesa Jenar, menjadi keheranan. Tetapi bagaimanapun juga ia merasakan keperkasaan orang itu. Maka ketika ia mendapat kesempatan untuk pergi, segera iapun meloncat dan melangkah cepat sekali menjauhi Mahesa Jenar, meskipun ia menggerutu tak habisnya karena kudanya dirampas.
Sedangkan Mahesa Jenar merasa mendapat keuntungan dengan pertemuannya dengan Yuyu Rumpung. Ia sudah mendapat gambaran sedikit tentang kekuatan gerombolan Uling Rawa Pening, sedangkan keuntungannya yang lain ia telah dapat menghambat dijalan orang itu, sehingga, kemungkinan untuk dapat mendahului sampai ke Gunung Tidar semakin besar. Sedangkan kuda yang dirampasnya, sama sekali tak diperlukannya, sebab dengan kuda itu, ia tidak lagi bebas untuk dapat menyusup kegerumbulan apabila ia berjumpa dengan orang yang perlu dihindari. Juga jarak yang ditempuhnya sudah tidak begitu jauh lagi. Kalau misalnya ia dapat mencapai Gunung itu sebelum sore, ia masih juga harus menunggu sampai matahari terbenam. Maka akhirnya dilepaskannya kuda Yuyu Rumpung itu, dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Sementara itu cahaya merah telah membayang di langit mewarnai mega yang betebaran. Sedang didalam hutan, sinar matahari yang sudah sangat lemah itu tidak kuasa lagi untuk melawan kegelapan yang perlahan tapi pasti akan turun menyeluruh sampai kesegenap lekuknya.
Malam itu seperti biasa dalam perjalanannya di hutan, Mahesa Jenar memilih tempat tidurnya diatas cabang pohon untuk menghindari serangan binatang buas. Meskipun hutan itu tidak segarang hutan Mentaok, tetapi didalamnya hidup pula jenis harimau yang cukup berbahaya, yaitu harimau loreng. Malam itu tak ada sesuatu hal yang terjadi. Kecuali tubuh Mahesa Jenar menjadi gatal digigit nyamuk yang banyaknya bukan main.
Ketika langit disebelah Timur mulai meremang, Mahesa Jenar segera turun dari tempat istirahatnya. Dan setelah sekali dua kali ia menggeliat, maka ia segera memulai kembali perjalanannya ke Gunung Tidar sambil mencari sumber air untuk mencuci mukanya. Jalan yang ditunjukkan oleh Ki Ageng Sora Dipayana itu ternyata jauh lebih dekat daripada apabila ia menempuh jalan yang direncanakannya semula. Jalan ini langsung memotong arah ketujuannya. karena itu maka ia tidak perlu untuk tergesa sebab ia masih harus menunggu gelap untuk bertindak.
Pada saat ia melewati longkangan hutan itu, ia dapat jelas melihat Gunung Tidar berdiri tegak seperti jamur raksasa, yang konon merupakan pusar Pulau Jawa, sudah tidak begitu jauh lagi dihadapannya. Sehingga perjalanan Mahesa Jenar kali ini merupakan sebuah perjalanan yang justru diperlambat. Meskipun demikian ia masih juga agak kesiangan sampai didataran yang mengitari bukit itu, sehingga ia mempunyai waktu sekedar untuk beristirahat.
Maka ketika sampai saaatnya matahari turun serta burung mulai berkitaran mencari tempat untuk tidurnya, berdirinya Mahesa Jenar dengan wajah yang tegang memandangi Gunug Tidar dimana berdiam suami isteri Sima Rodra, yang telah berhasil menyimpan sepasang keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Dalam keadaan yang demikian seolah-olah ia mulai menilai dirinya kembali. Sudahkah ia siap untuk melakukan tugas yang penting itu. Ia seorang diri harus terjun langsung kedalam sarang sepasang harimau yang cukup ganas. Berkali-kali ia meremaskan tangannya dimana disimpan senjata kepercayaannya Sasra Birawa.
Sementara kemudian, ketika benar-benar matahari telah melenyapkan diri dibalik Gunung Tidar itu, mulailah Mahesa Jenar melaksanakan tugas untuk membebaskan kedua pusaka itu berdasarkan petunjuk dari Kiai Ageng Sora Dipayana.
Untuk naik ke bukit itu, ia tidak langsung mendaki dari arah Timur, tetapi ia melingkar ke Selatan dan dari sanalah dengan hati-hati sekali ai selangkah demi selangkah mendekati lereng bukit itu. Sebentar ia berhenti untuk mendengarkan kalau ada langkah seseorang ataupun tarikan napas. Untunglah bahwa telinga dan matanya cukup terlatih.
Ketika sampai pada tanjakan pertama dari Bukit Tidar tampaklah bahwa Sima Rodra benar-benar memasang perbentengan untuk melindungi sarangnya. Batu besar yang tampaknya berserak itu ternyata merupakan pasangan yang apabila sedikit saja tersentuh, pasti akan tergelincir dan menggelundung ke bawah. Untunglah bahwa tiap gerak Mahesa Jenar selalu dilandasi oleh ketelitian serta kehati-hatian. Setelah merayap bebrapa saat Mahesa Jenar berhasil melintasi pagar yang pertama untuk kemudian menjumpai benteng. Batu padas yang besar disusun meninggi sampai hampir dua kali tinggi orang. Dengan hati-hati
Mahesa Jenar mendekati benteng itu. Kemudian dengan tangannya ia meraba-raba, seolah ingin mengetahui sampai dimana kira-kira kekuatan padas itu. Mungkin dengan kekuatan tangannya ia bisa, meskipun tidak sekaligus tetapi setidaknya sedikit demi sedikit menghancurkan padas yang tidak sekeras batu.
KALAU Mahesa Jenar menghancurkan padas itu, maka besar kemungkinannya bahwa kedatangannya akan segera diketahui oleh pengawal-pengawal yang pasti berkeliaran di dalam benteng itu. Maka dicarinya cara lain untuk dapat melampauinya. Sekali lagi Mahesa Jenar meraba-raba serta menaksir kekuatannya. Kemudian dipilihnya cara dengan memanjat saja, dan kemudian meloncat masuk.
Demikianlah Mahesa Jenar dengan hati-hati memanjat dinding batu padas itu. Sampai di atasnya ia tidak langsung meloncat, tetapi dengan perlahan-lahan sekali ia melekatkan dirinya merapat dinding dan untuk beberapa lama ia menelungkup di situ sambil mengamat-amati keadaan di dalam daerah sarang Sima Rodra itu.
Malam itu rasanya sepi sekali. Lebih sepi daripada malam-malam yang pernah dilewatinya. Sekali duakali terdengar anjing liar menyalak di kejauhan, disaut dengan pekikan burung hantu yang sedang mencari mangsa.
Mahesa Jenar masih saja berbaring menelungkup diatas dinding batu. Matanya berputar menjelajahi seluruh lingkaran yang membentang di hadapannya. Adapun daerah di dalam benteng Sima Rodra itu pun merupakan suatu lapangan yang bersemak-semak dan rumput-rumput liar bertebaran tumbuh di sana sini. Sebenarnya tempat itu merupakan tempat yang baik sekali untuk dapat menyusup mendekati goa Sima Rodra di lambung sebelah utara bukit itu. Sebab dengan adanya semak-semak dan rumput-rumput liar itu, justru memberi kemungkinan yang lain, bahwa di dalam semak-semak itulah orang-orang Sima Rodra berjaga-jaga untuk mengawasi keamanan sarangnya.
Sampai beberapa lama Mahesa Jenar masih saja melekatkan dirinya pada dinding padas itu. Tiba-tiba terasalah angin yang bertiup perlahan-lahan menghembuskan bau yang wangi. Bau yang dibawa angin dari utara ini mempunyai pengaruh yang aneh sekali. Terasa betapa tubuh Mahesa Jenar menjadi nyaman, serta matanya menjadi berat sekali.
Angin yang aneh ini datang mengalir terus-menerus seperti mengalirnya air sungai. Sehingga pengaruhnya semakin lama semakin mencengkeram diri Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa Jenar adalah seorang prajurit yang terlatih lahir-batin. Untunglah bahwa ia segera menyadari keadaannya, bahwa pasti ia telah kena pengaruh bau wangi itu, yang sengaja disebarkan orang untuk melemahkan syaraf, sehingga orang menjadi kantuk.
Inilah kekuatan sirep yang seperti pernah dialami beberapa tahun lalu, yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Tetapi menilik kekuatannya, rasanya sirep kali ini agak lebih kuat dari yang dahulu, serta sifatnyapun berlainan pula.
Karena itu Mahesa Jenar segera memusatkan kekuatan batin, dan seperti orang yang sedang mengheningkan cipta, Mahesa Jenar diam tanpa bergerak di tempatnya berusaha melawan pengaruh sirep itu.
Meskipun agak lambat, tapi sedikit demi sedikit ia berhasil menguasai dirinya kembali, sehingga akhirnya ia merasa bahwa ia telah lepas dari daya sirep itu.
Mengalami hal yang demikian Mahesa Jenar berpikir keras. Apakah sirep ini datang dari Sima Rodra? Tetapi kalau benar demikian, maka anak buahnya sendiri yang tidak mempunyai daya tahan yang cukup akan tertidur pula. Dengan demikian maka kekuatan mereka akan jauh berkurang. Jadi adalah suatu kemungkinan bahwa sirep ini datangnya dari luar. Dari orang lain. Tetapi siapa? Kakak-beradik Uling tak mungkin akan secepat ini mencapai Bukit Tidar, kecuali kalau ia berada pada jarak yang dekat sejak Gemak Paron menyusup masuk ke goa Sima Rodra ini.
Akh…, tak akan selesai pekerjaan ini dengan menimbang-nimbang saja. Lebih baik aku masuk dan melihat keadaan, gerutu Mahesa Jenar.
Segera setelah itu, dengan tidak meninggalkan ke hati-hatian, Mahesa Jenar meloncat masuk ke dalam lingkungan sarang sepasang harimau yang cukup ganas itu. Dengan mengendap-endap ia berjalan, lewat lambung sebelah timur ia memutar ke arah utara.
Tetapi mendadak ia dikejutkan oleh teriakan yang mirip dengan aum seekor harimau, disusul oleh jerit yang mengerikan. Pastilah suara ini berasal dari suami-istri Sima Rodra yang sedang marah. Cepat Mahesa Jenar meloncat semakin dekat ke arah suara itu. Beberapa kali ia melihat beberapa penjaga tidak dapat meloloskan diri dari pengaruh sirep yang tajam itu.
Ketika ia sudah semakin dekat, ia bertambah terkejut lagi ketika ia mendengar derap orang berkelahi. Darah Mahesa Jenar segera bergejolak hebat. Siapakah yang telah mendahuluinya masuk sarang Sima Rodra…?
Perlahan-lahan ia maju setapak demi setapak, sehingga akhirnya ia mendapat perlindungan sebuah padas yang cukup besar di sebelah timur goa Sima Rodra.
Kembali darah Mahesa Jenar tersirap ketika ia menyaksikan suami-istri Sima Rodra itu sedang bertempur dengan seorang yang bertubuh tinggi, berwajah bulat, serta berdada lebar. Tetapi karena gelap, ia tidak dapat segera mengenal wajahnya. Pertempuran itu ternyata berlangsung dengan hebatnya.
Suami-istri Sima Rodra ternyata memang bukan namanya saja yang garang. Tetapi tandangnya pun tidak kalah hebat dengan namanya. Kakinya yang meskipun besar-besar, sebesar bumbung petung, tetapi seperti seekor harimau, dengan lincahnya ia meloncat, menyerang dan menghantam. Sedang istrinya bertempur dengan tangan yang dikembangkan.
Segera Mahesa Jenar mengenal bahwa cara yang demikian selalu dipergunakan oleh seorang yang sangat percaya akan kekuatan jari-jarinya, atau yang lebih mengerikan, ia bersenjatakan kuku-kukunya yang beracun.
Melihat cara suami-istri Sima Rodra bertempur, segera ia mengingat akan ceritera Demang Pananggalan. Maka Mahesa Jenar hampir dapat memastikan bahwa yang pernah datang ke Prambanan serta pernah menculik gadis dan dibawa ke Gunung Baka adalah gerombolan Sima Rodra ini. Maka ketika ia telah menyaksikan sendiri kegarangannya, ia pun menjadi yakin bahwa Demang Pananggalan memang bukan lawan dari orang ini.
DALAM menghadapi segala hal, tampaknya suami-istri Sima Rodra selalu bertempur bersama, sehingga untuk melawan orang yang baru setingkat Pananggalan pun mereka bertempur bersama.
Kalau demikian halnya, maka bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi dalam pertemuan golongan hitam di Rawa Pening? Bolehkah mereka bertempur berpasang-pasang, ataukah hanya seorang-seorang?
Menilik gerak serta keperkasaannya, maka pastilah Sima Rodra sendiri memiliki kehebatan yang sama dengan Lawa Ijo, sedang istrinya ternyata sedikit di bawahnya.
Tetapi karena perempuan itu bersenjatakan kuku-kukunya sendiri maka ia pun nampak sangat berbahaya. Apalagi ketika sekali tampak di ujung kuku itu berkilat suatu cahaya, maka sudah pasti bahwa di ujung kuku-kuku itu ditaruh logam yang mungkin sekali beracun.
Tetapi lawan Sima Rodra itu pun ternyata orang luar biasa. Mahesa Jenar sendiri pernah bertempur berpuluh kali menghadapi orang-orang perkasa. Yang terakhir adalah Jaka Soka serta Lawa Ijo. Tetapi untuk menghadapi dua orang sekaligus baginya adalah pekerjaan yang berat sekali. Kalau ia terpaksa bertempur melawan keduanya, maka pastilah pagi-pagi ia sudah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa.
Sedang orang itu, yang bertempur dengan Sima Rodra, nampaknya tanpa mempergunakan lambaran ilmu apapun, kecuali ketangkasan serta kekuatan jasmaniah yang cukup terlatih.
Maka, Mahesa Jenar tak berhenti menebak. Siapakah gerangan dia. Kalau yang datang kakak-beradik Uling, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan bertempur berpasangan pula. Ataukah dia yang bernama Sri Gunting? Kalau orang ini Sri Gunting, maka Uling Rawa Pening itu seharusnya mempunyai kesaktian yang luar biasa.
Sambil berpikir berputar balik, Mahesa Jenar menyaksikan pertempuran yang berjalan seru itu. Berkali-kali suami-istri Sima Rodra itu mengaum dan memekik hebat dibarengi dengan serangan-serangan sangat berbahaya. Tetapi orang yang melawannya itu meskipun agak kerepotan selalu juga berhasil menghindar, bahkan beberapa kali ia dapat mengadakan pembalasan-pembalasan.
Gerak suami-istri Sima Rodra itu tampaknya memang serasi sekali dalam keganasannya. Mereka selalu berhasil saling mengisi dengan gerak-gerak membingungkan. Kadang-kadang mereka tidak menyerang, tetapi hanya berlari berputar mengelilingi lawannya, dan kadang-kadang mereka bersama-sama menerkam dari arah yang berlawanan.
Sebaliknya, lawannya pun memiliki ketangkasan yang luar biasa pula. Sekali-kali ia melesat jauh, tetapi sesaat kemudian ia sudah berdiri di satu sisi dari kedua-duanya dan menyerang dengan pukulan yang dahsyat. Beberapa kali ia melingkar, meloncat dan berputar selagi masih di udara. Tangannya bergerak menyambar-nyambar, seolah-olah berubah menjadi seorang raksasa jelmaan Harjuna Sasra Bahu yang mempunyai seribu tangan memegang seribu macam senjata, dalam ceritera pewayangan.
Demikianlah maka pertempuran itu berlangsung dengan dahsyatnya. Tetapi karena Sima Rodra seolah-olah dapat mensenyawakan diri, serta kekuatannya, maka semakin lama tampaklah bahwa lawannya menjadi semakin terdesak.
Melihat keadaan itu, otak Mahesa Jenar bekerja keras. Bagaimanakah kalau ia mengambil keuntungan dari pertempuran itu? Ia masih belum tahu sama sekali, siapakah gerangan yang bertempur itu.
Tetapi menurut perhitungan Mahesa Jenar, ia lebih baik melawan yang seorang itu apabila terpaksa, daripada melawan Sima Rodra suami-istri. Karena itu ia memutuskan untuk menerjunkan diri dalam kancah pertarungan itu untuk membantu lawan Sima Rodra. Dan sesudah itu ia akan mengadakan perhitungan dengan lawannya. Mudah-mudahan lawan Sima Rodra itu tidak bersamaan maksud dengan kedatangannya, sehingga ia tidak perlu berhadap-hadapan sebagai lawan.
Setelah Mahesa Jenar mendapatkan ketetapan hati, maka segera ia mempersiapkan diri. Dibetulkannya ikat pinggangnya, kancing-kancing bajunya, dan ikat kepalanya, supaya nanti tidak mengganggunya.
Demikianlah dengan menggeram keras untuk menandai kehadiran, Mahesa Jenar langsung menyerang istri Sima Rodra, dengan suatu kepercayaan bahwa ia telah dibebaskan dari akibat racun karena jasa kawan sepermainannya, Anis dari Sela. Racun Lawa Ijo yang didapatkannya dari Pasingsingan pun tak berhasil membunuhnya, apalagi jenis racun yang lain, yang tidak berasal dari orang seperti Pasingsingan.
Kedatangan Mahesa Jenar sangat mengejutkan mereka yang sedang bertempur, sehingga suami-istri Sima Rodra berloncatan mundur. Lawannya pun sejenak berdiri termangu, sehingga untuk sesaat suasana jadi hening, sepi seperti daerah kematian yang mengerikan. Tetapi hal yang sedemikian itu tidak berlangsung lama, sebab terdengar suara parau Sima Rodra membentak Mahesa Jenar. Hei, siapakah kau yang ikut serta mengantarkan nyawa?
Mahesa Jenar tidak menyahut pertanyaan itu, tetapi ia berkata kepada lawan Mahesa Jenar, Aku belum mengenal Tuan, tetapi aku berdiri di pihak Tuan.
Sebelum orang itu menjawab, terdengar teriak istri Sima Rodra, Kita bunuh kalian berdua.
Istri Sima Rodra tidak menantikan lagi jawaban, tetapi dengan loncatan yang garang ia menyerang dengan kuku-kukunya yang diarahkan kepada Mahesa Jenar.
Segera pertempuran itu dimulai kembali. Tetapi sekarang Sima Rodra tidak dapat lagi mengurung lawannya, sebab sekarang mereka harus berhadapan satu lawan satu. Meskipun demikian, tidak segera dapat dilihat siapakah yang akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Suami-istri Sima Rodra yang menjadi semakin marah itu bertempur semakin garang pula. Mereka segera mengerahkan tenaga serta kesaktian mereka untuk segera dapat membinasakan lawan-lawannya yang berani memasuki daerahnya, apalagi berani menantangnya.
Dalam keadaan demikian, lawan Sima Rodra itu sempat juga menyaksikan Mahesa Jenar bertempur. Menyaksikan kelincahannya, keperkasaannya, serta kepercayaannya kepada diri seperti lazimnya seorang perwira, ia pun menjadi berpikir tentang Mahesa Jenar. Sebab orang yang memiliki kehebatan yang sampai ke tingkat itu, pastilah bukan orang sembarangan.
PERTEMPURAN itu berlangsung terus. Tetapi dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Mahesa Jenar berhasil menguasai lawannya, sebaliknya orang yang telah bertempur itupun, setelah lawannya berkurang seorang, dapat pula sedikit demi sedikit mendesak musuhnya. Dengan demikian pertempuran itu ternyata sudah tidak seimbang lagi.
Dalam kemarahannya, suami-istri Sima Rodra itu bertempur semakin buas, liar dan kasar. Sedang lawannya, tampaknya tetap tenang dan yakin.
Sesaat kemudian terdengar suara yang aneh keluar dari mulut Sima Rodra. Suara jeritan yang mirip dengan aba-aba. Apalagi setelah itu, tampak pula gerak-gerak mereka yang mencurigakan.
Meskipun mereka bertempur terus, tampak bahwa mereka sedang berusaha untuk mendekati lobang goa. Mahesa Jenar maupun lawan yang seorang lagi, dapat segera menangkap maksud itu, karena itu mereka menjadi lebih waspada.
Dan apa yang dicurigakan itu memang ternyata benar. Untunglah bahwa kawan bertempur Mahesa Jenar memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Sehingga ketika pada suatu saat, dengan sekali gerakan suami-istri Sima Rodra itu meloncat akan memasuki goanya, secepat itu pula kawan bertempur Mahesa Jenar itu telah meloncat menghalang-halangi.
Kembali Sima Rodra mengaum hebat karena marahnya. Bersamaan dengan itu geraknya menjadi semakin liar. Tetapi keadaan itu tetap tidak menolong dirinya, sehingga mereka tetap terdesak terus. Dalam keadaan yang demikian sekali lagi terdengar suara aneh dari harimau liar itu. Tetapi kali ini ternyata mereka lebih berhati-hati.
Demikian teriakan itu berhenti demikian mereka meloncat cepat seperti didera halilintar ke balik sebuah batu besar di samping goanya. Segera Mahesa Jenar dan kawan bertempurnya itu memburu. Tetapi terlambat.
Sesaat kemudian terdengar deru yang hebat dibalik batu itu, dan berguguranlah tanah di sekitarnya menyeret batu besar itu seolah-olah terhisap kedalam sebuah lobang besar di bawah tanah. Agar tidak turut terseret ke dalamnya, maka Mahesa Jenar bersama dengan lawan Sima Rodra itu serentak meloncat mundur. Selanjutnya untuk beberapa lama mereka hanya merenungi onggokan tanah bekas guguran itu.
Sebuah pintu rahasia, desis orang itu.
Memang sejak semula Mahesa Jenar juga menduganya demikian, apabila yang berkepentingan sudah ada di dalamnya, dengan sedikit sentuhan pada alat yang diperlukan, gugurlah tanah di atas pintu itu, dan menutup lubangnya sehingga mereka tidak akan dapat dikejar, untuk selanjutnya keluar dari pintu rahasia yang lain.
Sebentar kemudian kembali orang itu berkata, Terimakasih atas pertolongan Tuan.
Aku hanya membantu mempercepat penyelesaian saja, sebab tanpa aku pun tampaknya Ki Sanak pasti dapat menyelesaikan seorang diri, jawab Mahesa jenar.
Orang itu tertawa lirih. Tuan terlalu menyanjung aku. Tetapi sebenarnya bahwa kedatangan tuan menyelamatkan nyawaku. Hanya sayanglah bahwa aku terpaksa tidak dapat terlalu lama menemui Tuan, sebab ada satu pekerjaan yang harus aku selesaikan, katanya kemudian.
Jantung Mahesa Jenar berdesir lembut. Apakah gerangan yang akan dilakukannya? Karena itu ia mencoba bertanya, Apakah yang memaksa Ki Sanak begitu tergesa-gesa?
Suatu pekerjaan yang tak berarti. Aku hanya ingin memeriksa keadaan di dalam goa, jawabnya.
Mahesa Jenar mulai melihat adanya sesuatu rahasia pada orang itu. Karenanya ia tidak bertanya tentang siapakah dia dan dari manakah datangnya, sebab pertanyaan yang demikian tentu tidak akan mendapat jawaban. Maka kemudian ia hanya berkata, Bolehkah aku turut serta masuk kedalam goa?
Orang itu tampak ragu-ragu sejenak, baru ia menjawab dengan mengajukan sebuah pertanyaan, Tuan, apakah sebenarnya yang akan Tuan lakukan di atas bukit kecil ini?
Mendengar pertanyaan orang itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Tetapi pasti bahwa ia tidak akan menyebutkan keperluan yang sebenarnya. Maka dijawabnya dengan sekenanya saja, Aku datang untuk menuntut balas atas kematian kakakku di Pangrantunan.
Pangrantunan? sahut orang itu.
Ya, jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya kemudian, Tuan… orang Pangrantunan?
Ya, jawab Mahesa Jenar pendek.
Sayanglah bahwa Mahesa Jenar tak dapat melihat sorot mata orang itu di dalam gelap. Kalau saja ia mengetahui, dapatlah ia mengerti bahwa orang itu curiga kepadanya.
SEJENAK kemudian orang itu berkata, Apakah yang Tuan lakukan seterusnya? Tuan pasti tidak akan dapat menemukan Suami-Istri itu untuk beberapa lama.
Tak apalah. Tetapi aku hanya ingin melihat-lihat saja, jawab Mahesa Jenar.
Mudah-mudahan apa yang Tuan katakan benar. Silahkan Tuan melihat. Seterusnya aku berjanji untuk membalas budi Tuan membinasakan suami-istri Sima Rodra pada kesempatan lain. Semoga Tuan benar-benar tidak mempunyai kepentingan lain kecuali itu, gumam orang itu. Kemudian orang itu pergi bersama Mahesa Jenar, memasuki goa Sima Rodra dengan hati-hati. Mungkin terdapat berbagai rahasia di dalamnya. Goa itu sebenarnya tidaklah begitu dalam. Tetapi di dalamnya terdapat beberapa ruang yang dindingnya dilapisi papan, tak ubahnya seperti ruang-ruang rumah biasa. Ruang itu diterangi dengan oncor-oncor.
Dua ruang sudah mereka masuki, tetapi mereka tak menemukan sesuatu. Maka sampailah mereka pada ruang yang ketiga, yang tidak seperti ruang-ruang lain. Ruang ini mempergunakan pintu yang ditutup rapat. Ternyata pintu ini tidak hanya ditutup rapat, tetapi juga dikancing dengan kancing yang tak dapat diketahui oleh orang lain.
Ketika sudah beberapa lama mereka tak berhasil membukanya, mereka menjadi tidak sabar lagi. Mereka berdua sepakat untuk membuka pintu itu dengan paksa. Dengan demikian, mereka mempergunakan kaki mereka untuk bersama-sama menjebol pintu kayu yang terkancing itu.
Dengan satu tendangan yang hampir bersamaan mereka dapat memecahkan pintu itu, yang dengan suara gemeretak pecah berserakan. Tetapi meskipun pintu itu sudah menganga lebar, mereka tidak tergesa-gesa masuk. Sebab bukanlah mustahil bahwa ada apa-apa di dalamnya.
Setelah beberapa saat tak ditemukan apapun, maka dengan langkah yang sangat hati-hati mereka melangkah masuk. Tetapi demikian mereka melangkahkan kakinya melewati tlundak pintu, demikian serentak bulu roma mereka berdiri.
Di sudut ruangan itu mereka melihat sebuah nampan di atas sebuah meja yang dialasi dengan kain beludru buatan Tiongkok yang berwarna kuning keemasan. Dan yang mengejutkan mereka adalah cahaya yang biru kekuning-kuningan, yang memancar dari dua keris yang diletakkan di atas kain beludru itu. Karena itu, untuk sesaat mereka tegak berdiri seperti patung.
Mahesa Jenar, sebagai seorang perwira istana, sudah pasti bahwa apa yang dilihatnya itu sangat mengharukan hatinya. Ia yakin sekarang bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten itu adalah keris-keris yang asli.
Mahesa jenar memang pernah melihat keris itu beberapa kali, dahulu sebelum lenyap dari Istana Demak. Memang tidak semua prajurit bahkan perwira yang beruntung dapat menyaksikan keris itu. Karena Mahesa Jenar saat itu menjadi pengawal raja dan istana, maka ia diberi kesempatan untuk menyaksikan pada saat keris itu dimandikan pada hari pertama setiap tahun. Karena itu ia hampir tidak dapat lagi mengendalikan diri. Hampir saja ia meloncat mendekati keris-keris itu kalau saja orang yang berdiri di sampingnya itu tidak menggamitnya.
Apakah Tuan berkepentingan dengan keris-keris itu? kata orang itu.
Mahesa Jenar kini tak dapat mengelak lagi. Kedua keris yang dicarinya sudah ada di hadapannya. Maka apapun yang terjadi haruslah dihadapinya.
Benar Ki Sanak, aku datang untuk kedua keris ini. Aku harap Tuan mempunyai kepentingan yang tidak sama dengan kepentinganku, jawab Mahesa Jenar tegas.
Hem….! orang itu menggeram. Aku sudah menduga. Tetapi sayang bahwa kepentingan kita sama.
Mendengar kata-kata orang itu seharusnya Mahesa Jenar tidak lagi terkejut, namun demikian darahnya bergelora hebat. Ki Sanak, maafkanlah, aku tidak dapat melepaskannya lagi, kata Mahesa Jenar sambil menahan diri.
Orang itu merenung sejenak. Dalam keremangan cahaya oncor-oncor, Mahesa Jenar melihat betapa gelisah perasaannya, sehingga akhirnya keluarlah kata dari mulutnya, Tuan, aku telah berhutang budi kepada Tuan. Tetapi aku akan tetap pada pendirianku untuk mendapatkan benda-benda keramat dari Istana Demak itu.
Mahesa Jenar tidak tahu siapakah orang itu sebagaimana orang itu tidak mengenal Mahesa Jenar. Karena itu mereka saling berketetapan hati untuk dapat menguasai kedua pusaka itu.
Bagaimanapun Mahesa Jenar menyabarkan diri, namun akhirnya terloncat pula kata-katanya yang tajam, Ki Sanak, seharusnya tadi aku membiarkan Tuan bertempur seorang diri dan sekaligus dibinasakan oleh suami-istri Sima Rodra itu.
Kalau demikian… Tuan akan berbuat kesalahan. Bukankah lebih mudah untuk melawan aku seorang menurut pertimbangan Tuan daripada melawan mereka berdua? jawab orang itu, yang meskipun nampaknya masih setenang semula, tetapi isi kata-katanya tidak kalah runcingnya.
Sekali lagi darah Mahesa Jenar menggelegak. Ternyata orang itu dapat dengan cepat menebak perhitungannya.
Ki Sanak benar, memang demikianlah apa yang akan aku lakukan, jawab Mahesa Jenar tanpa tedeng aling-aling.
Baik Tuan. Tetapi sebaiknya Tuan mempertimbangkan sekali lagi, sahut orang itu.
Tidak ada pertimbangan lain, jawab Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sudah pasti sekarang, bahwa ia harus bertempur melawan orang itu.
Sebenarnya ia masih bimbang terhadap bakal lawannya. Menilik sikap serta kata-katanya, agak aneh kalau ia termasuk golongan hitam yang lain, yang menginginkan pusaka-pusaka itu. Sebentar kemudian Mahesa Jenar teringat pula keramahan Jaka Soka pada waktu ia akan menyertai rombongan orang-orang yang akan melintas hutan Tambakbaya, juga suami-istri Sima Rodra itu sendiri, yang dengan ramah minta menginap di Kademangan Prambanan. Karena itu ia tidak akan menilai orang itu dari sikap serta kata-katanya.
Sementara itu orang itu menjawab, Kalau demikian, marilah kita tentukan bersama, siapakah yang berhak untuk menguasai kedua keris itu.
Mahesa Jenar sudah yakin bahwa memang demikianlah yang akan terjadi. Tetapi meskipun demikian ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulut orang itu, mau tak mau ia terpaksa menaruh hormat kepadanya. Kata-kata Tuan adalah kata-kata jantan. Mudah-mudahan aku dapat mengimbangi kejantanan Tuan, jawab Mahesa Jenar kemudian.
YANG mengherankan, tetapi juga agak menjengkelkan Mahesa Jenar, orang itu masih saja tertawa lirih. Marilah kita keluar, supaya kita tidak harus berdesak desakan dengan dinding-dinding ruang ini, katanya.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Ia langsung melangkah keluar diikuti oleh orang itu. Sambil berjalan Mahesa Jenar menimbang-nimbang tentang lawannya. Pastilah orang ini berilmu tinggi dan pasti orang itu pula yang telah menyebarkan sirep sedemikian tajamnya.
Maka ketika mereka sudah sampai di luar goa, segera mereka saling berhadapan dengan taruhan yang besar. Juga masing-masing menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan lawan yang cukup tangguh. Karena itu tidak ada pilihan lain kecuali bekerja mati-matian untuk memperebutkan kedua pusaka itu. Apalagi Mahesa Jenar yang langsung atau tidak langsung ikut serta bertanggung jawab akan keselamatan pusaka itu. Maka taruhannya untuk mendapatkan kedua keris itu adalah nyawanya.
Sejenak kemudian setelah mereka bersiap, terdengarlah orang itu berkata, Marilah Tuan, permainan kita mulai.
Silahkan, jawab Mahesa Jenar pendek.
Dan segera terjadilah suatu pertarungan yang dahsyat. Meskipun mula-mula mereka tampaknya agak segan-segan, tetapi ketika mereka merasakan benturan-benturan serta tekanan-tekanan dari masing-masing pihak, akhirnya mereka tidak lagi mengendalikan diri.
Lawan Mahesa Jenar itu ternyata memang orang perkasa luar biasa.
Gerakan-gerakannya serba cepat dan mempunyai tenaga yang hebat, sehingga menimbulkan desiran-desiran angin yang menyambar-nyambar mengiringi setiap gerak dari tubuhnya. Sedang Mahesa Jenar adalah seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup baik, sehingga setiap gerakan tangan serta kakinya selalu mempunyai arti serta membahayakan. Tubuhnya yang tidak sebesar lawannya itu, bergerak-gerak seperti bayangan yang dengan lincahanya menari-nari mengitari lawannya dengan belaian maut.
Lawannya yang bertubuh tegap itu lebih mempercayakan diri pada kekuatannya, sehingga beberapa kali ia dengan beraninya menyerang dengan mempergunakan kedua tangannya, bahkan dengan serangan-serangan berganda, sehingga suatu ketika Mahesa Jenar tidak sempat lagi mengelakkan diri.
Pukulan orang itu, ditambah sekaligus dengan berat tubuhnya yang besar, mengenai pelipis Mahesa Jenar demikian kerasnya, sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah ke belakang. Tetapi rupanya ia tidak saja berhenti sampai sekian. Sebelum Mahesa Jenar dapat memperbaiki keadaannya, kembali ia berhasil mengenai lambung Mahesa Jenar dengan kakinya. Kembali Mahesa Jenar terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Untunglah bahwa ia mempunyai ilmu yang tinggi sehingga meskipun dengan agak kesulitan, dalam sekejap ia telah berhasil tegak diatas kedua kakinya yang kokoh kuat bagaikan tonggak baja.
Karena beberapa pukulan yang dapat mengenainya itu, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Wajahnya tampak menyala, serta matanya menyorotkan sinar-sinar yang memancarkan pergolakan darahnya. Sekali ia melompat ke depan, dan dengan sebuah gerak tipuan yang bagus ia berhasil menarik perhatian lawannya pada tangan-tangannya yang menyerang ke arah kepala. Kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak tampak, ia mengangkat kaki kanannya dan langsung menghantam dada lawannya.
Demikian keras serangan itu, sehinggam lawannya terpental beberapa langkah. Tetapi demikian ia tegak, demikian ia telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan sesaat kemudian ia telah melangkah maju, dan dengan kuatnya ia menghantam ke arah dada Mahesa Jenar. Dengan satu langkah, Mahesa Jenar bergerak ke samping, dan demikian pukulan itu tidak mengenai sasarannya demikian Mahesa Jenar membalas dengan sebuah pukulan pada wajah orang itu.
Kali ini Mahesa Jenar sekali lagi tak berhasil mengenainya, sehingga orang itu terdorong mundur. Mahesa Jenar tidak mau memberi kesempatan lagi, sekali lagi ia menyodok perut lawannya, sehingga orang itu menggeliat kesakitan dan meloncat beberapa langkah ke samping. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu. Ia pun sekali lagi meloncat dan dengan bergelombang ia menyerang bertubi-tubi sehingga orang itu terdesak mundur dan mundur.
Tetapi rupanya keadaannya tidaklah tetap demikian. Tiba-tiba orang itu menggeliat ke samping, dan dengan suatu putaran yang cepat ia berhasil membingungkan Mahesa Jenar, yang ingin memotong putaran itu. Cepat ia mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat ke samping lawannya, dan dengan suatu gerakan yang tangkas ia merendahkan diri. Setengah lingkaran ia memutar tubuhnya untuk langsung menyerang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar terkejut melihat gerakan-gerakan yang berubah-ubah itu, sehingga ketika sebuah pukulan melayang ke wajahnya, ia tidak sempat mengelakkan diri.
Demikian kerasnya pukulan itu sehingga Mahesa Jenar terdorong beberapa langkah.
Pukulan itu terasa sakitnya bukan main.
Sebagai seorang perwira, tubuh Mahesa Jenar cukup mempunyai daya tahan yang kuat. Tetapi dikenai oleh pukulan ini wajahnya menjadi panas dan sejenak pandangan matanya agak kabur. Ketika ia mengusap wajah itu dengan tangannya, terasa sesuatu yang cair dan hangat meleleh dari hidungnya.
Darah.
Mengalami kenyataan itu, marahnya semakin memuncak. Ia benar-benar harus berkelahi dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Maka ketika orang itu menyerangnya kembali, Mahesa Jenar segera merendahkan diri. Dengan pangkal telapak tangannya ia berhasil menghantam dagu lawannya. Terdengarlah suara gemeratak gigi beradu. Demikian kerasnya serta dibarengi kemarahan, maka pukulan Mahesa Jenar seperti berlipat-lipat dahsyatnya, sehingga muka orang itu terangkat tinggi-tinggi.
Mahesa Jenar tidak mengabaikan kesempatan berikutnya. Selagi muka orang itu masih terangkat, ia meloncat maju menumbukkan dirinya sambil menghantam perut orang itu dengan lututnya. Terdengarlah orang it mengaduh tertahan dan terlontar surut. Mahesa Jenar langsung memburu dan menghantamnya bertubi-tubi.
ORANG itu terdorong terus hingga suatu ketika ia tidak dapat mundur lagi karena punggungnya sudah melekat dengan dinding padas. Mahesa Jenar melihat kesempatan itu. Ia tidak mau melepaskan lawannya kali ini. Maka dengan kekuatan penuh ia meloncat maju dan menghantamkan muka orang itu dengan kedua tangannya sekaligus. Tetapi orang itu ternyata tidak menyerah demikian saja.
Tiba-tiba, ketika Mahesa Jenar meloncat, orang itu pun menyerang dengan kakinya ke arah perut Mahesa Jenar. Serangan yang sama sekali tak diduga oleh Mahesa Jenar. Karenanya, serangan itu bulat-bulat telah melemparkannya dan ia jatuh terguling beberapa kali.
Mahesa Jenar telah mengalami pertempuran dengan lawan yang beraneka macam.
Pada saat ia bertempur dengan Lawa Ijo, seorang tokoh hitam yang perkasa, ia pun mengerahkan segenap tenaganya. Tetapi bagaimanapun ia tidak merasakan adanya tekanan-tekanan yang sedemikian hebatnya seperti saat ini. Tidak saja ia tidak berhasil menekan lawannya, tetapi benar-benar ia merasakan bahwa tubuhnya menjadi sakit-sakit dan nyeri.
Mengingat bahwa yang dipertaruhkan adalah pusaka-pusaka istana, serta kesadarannya akan pertanggungjawabannya sebagai seorang yang merasa turut serta membina kesejahteraan rakyat, maka ia merasakan kengerian yang sangat apabila pusaka-pusaka itu sampai jatuh ke golongan hitam yang manapun. Karena itu tidak ada jalan lain bagi Mahesa Jenar kecuali membinasakan orang itu.
Pada saat ia tidak dapat menguasai lawannya, maka cara satu-satunya adalah mempergunakan ilmunya Sasra Birawa. Maka ketika tidak ada pilihan lain, segera ia meloncat bangkit dan segera ia memusatkan segala kekuatan batinnya serta mengatur pernafasannya, memusatkan segala kekuatan lahir-batin pada telapak tangan kanannya.
Demikianlah ia berdiri di atas satu kakinya, sedang kakinya yang lain ditekuk ke depan. Tangan kirinya disilangkannya di muka dadanya, sedang tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Kemudian demikian cepat bagai sambaran kilat ia meloncat maju dan dengan dahsyat ia mengayunkan tangan kanannya ke arah kepala lawannya.
Melihat sikap itu, lawan Mahesa Jenar terkejut bukan buatan. Segera ia meloncat mundur sambil berteriak, Tahan… Tuan, tahankan dulu.
Tetapi Mahesa Jenar sudah terlanjur bergerak. Kalau ia menahan serangannya maka kekuatan yang sudah tersalur itu pasti akan memukul dirinya sendiri lewat bagian dalam tubuhnya. Karena itu tidak ada cara lain kecuali melanjutkan serangannya untuk membinasakan lawannya.
Melihat Mahesa Jenar tidak mengubah serangannya, tiba-tiba orang itu pun segera bersiap, tidak menghindarkan diri, karena tidak ada kesempatan lagi, melainkan ia berdiri di atas kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ke depan, lutut kaki kanannya diteuk sedikit.
Mula-mula ia merentangkan kedua tangannya, tapi ketika pukulan Mahesa Jenar sudah melayang, segera ia menyilangkan kedua tangannya di muka wajahnya.
Melihat sikap itu, jantung Mahesa Jenar seperti berhenti berdenyut karena terkejut.
Tetapi segala sesuatu sudah terlambat. Sebab tangan Mahesa Jenar sudah tinggal berjarak beberapa cengkang saja dari orang itu.
Dengan satu gerakan pendek, kedua tangan yang disilangkan di muka wajahnya, orang itu menahan hantaman tangan Mahesa Jenar. Dan sesaat kemudian terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat seperti berbenturnya halilintar.
Akibatnya dahsyat pula. Orang itu terlempar jauh ke belakang dan bulat-bulat terbanting di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Matanya menjadi gelap dan nafasnya tersekat di kerongkongan. Sebentar kemudian ia tak dapat merasakan sesuatu.
Pingsan.
Mahesa Jenar sendiri, yang menghantamkan ilmunya Sasra Birawa, merasakan bahwa tangannya seolah-olah tertahan oleh selapis baja yang tebalnya lebih dari sedepa. Karena itu kekuatan yang dilontarkan itu seolah-olah membalik dan memukul bagian dalam tubuhnya, ditambah dengan desakan dari orang yang dipukulnya itu. Karena itu Mahesa Jenar juga terlempar, tidak hanya seperti sebuah balok yang melayang, tetapi seperti kayu yang oleh kekuatan raksasa dihantamkan ke punggung padas yang ada di belakangnya.
Demikian dahsyatnya Mahesa Jenar terbanting sehingga pada saat itu juga, pada saat ia terhempas, ia sudah tak dapat lagi merasakan apa-apa kecuali kepekatan yang dahsyat menerkam dirinya. Dan ia pun pingsan.
Demikianlah keadaan segera menjadi senyap. Hanya desir angin di rerumputan serta semak-semak yang kedengaran gemeresik lembut. Di kejauhan terdengar suara binatang malam, serta gonggong anjing yang berebutan mangsa. Di mulut goa Sima Rodra itu menggeletak sebelah-menyebelah dua sosok tubuh yang sama sekali tak sadarkan diri.
Baru beberapa saat kemudian, oleh kesegaran angin yang mengusap wajahnya, orang itu, yang telah bertempur mati-matian melawan Mahesa Jenar, yang ternyata mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga dialah yang pertama-tama dapat menarik nafas dan perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Tetapi demikian ia berusaha bergerak terdengarlah ia mengeluh perlahan. Ternyata tubuhnya terasa nyeri dan sakit seluruhnya.
UNTUK beberapa saat orang itu terpaksa berdiam diri, mengatur jalan pernafasannya serta berusaha untuk menguasai kembali pikirannya.
Angin masih berhembus perlahan-lahan. Dan ini telah menolong menyegarkan tubuh orang itu, sehingga beberapa saat kemudian ia berhasil dengan susah payah mengangkat tubuhnya dan duduk bersandar pada kedua tangannya.
Berkali-kali ia menarik nafas panjang. Keringat dingin masih saja mengalir membasahi seluruh pakaiannya. Baru setelah tubuhnya terasa bertambah segar ia perlahan-lahan bangkit berdiri.
Ketika ia memandang ke daerah sekelilingnya, tiba-tiba matanya tertumbuk pada tubuh yang masih terbaring tak bergerak, beberapa langkah dari mulut goa. Sekali lagi ia menarik nafas. Ia tahu benar bahwa pukulan lawannya itu adalah pukulan yang tak ada taranya dahsyatnya.
Perlahan-lahan dan tertatih-tatih ia berjalan selangkah demi selangkah mendekati Mahesa Jenar yang masih belum sadar. Dengan mata yang bercahaya orang itu memandangi tubuh Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya.
Memandangi tubuh yang meskipun tidak setinggi dia, tetapi tampak kokoh kuat bagai seekor banteng.
Ketika orang itu melangkah selangkah lagi mendekati Mahesa Jenar, terasa bahwa tubuhnya semakin terasa sakit. Karena itu ia berhenti dan duduk di atas padas beberapa langkah dari tubuh Mahesa Jenar yang masih terbujur tak bergerak.
Ia terpaksa menahan diri, tidak segera mendekatinya sampai tubuhnya sendiri agak terasa kuat. Karena itu dibiarkannya Mahesa Jenar terbaring tak bergerak beberapa langkah di hadapannya.
Ketika sekali lagi angin malam membelai tubuh-tubuh yang sedang kesakitan itu, tampak bahwa Mahesa Jenar mulai bergerak-gerak. Dan sesaat kemudian ia sudah dapat membuka matanya, meskipun masih samar-samar. Apalagi di dalam kegelapan malam.
Yang pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang bertaburan di langit, dan sesudah itu matanya tertumbuk pada tubuh tinggi tegap berdada lebar, duduk di atas padas di hadapannya, yang dengan tajam memandanginya seperti sebuah bayangan hantu hitam yang akan menerkamnya. Tetapi pada sat itu ia sama sekali tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan nyeri. Sambungan-sambungan tulangnya terasa seperti lepas dan tak dapat dikuasainya. Karena itu kalau terjadi sesuatu ia sama sekali tak akan dapat membela diri.
Maka sekali lagi Mahesa Jenar memejamkan matanya untuk mengumpulkan ingatannya. Dan perlahan-lahan ketika tubuhnya terasa semakin segar karena angin malam yang lembut, ingatannya pun sedikit demi sedikit menjadi cerah kembali meskipun kepalanya masih saja pening dan seperti berputar-putar.
Apa yang baru saja dialami menjadi semakin jelas dalam kepalanya. Bagaimana ia mempergunakan ilmu kepercayaannya Sasra Birawa dan bagaimana orang yang dihantamnya itu merentangkan tangannya dan selanjutnya disilangkan di muka wajahnya.
Dan sekarang, orang yang dikenai ilmunya itu ternyata masih saja hidup dan duduk di dekatnya. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar tiba-tiba merasa gembira sekali. Dan kegembiraannya itu telah sangat mempengaruhi keadaannya, sehingga tiba-tiba ia dapat duduk, meskipun dengan susah payah untuk menegakkan tubuhnya yang duduk lemah seperti tak bertulang. Meskipun demikian, wajah Mahesa jenar tampak cerah dan matanya menyorotkan cahaya segar.
Demikian pula orang yang duduk di atas padas itu. Ketika ia menyaksikan Mahesa Jenar telah dapat duduk, ia pun menjadi gembira. Senyum yang tulus telah menggerakkan bibirnya. Perlahan-lahan dengan suara parau ia menyapa, Tidakkah tuan mengalami sesuatu?
Mahea Jenar tersenyum pula, meskipun agak kecut. Bagaimana aku mengatakan bahwa aku tidak mengalami sesuatu kalau bangun saja rasanya seperti tidak mungkin, jawab Mahesa Jenar.
Orang itu menundukkan kepalanya seperti menyesali dirinya. Maafkan aku, katanya kemudian.
Mendengar kata-kata itu segera Mahesa Jenar menyahut, Jangan Tuan menyalahkan diri sendiri. Akulah yang seharusnya minta maaf kepada Tuan, sebab akulah yang pertama-tama mulai. Berbahagialah aku bahwa Tuan ternyata sehat walafiat karena kesaktian Tuan.
Tuan salah duga. Aku pun mengalami keadaan seperti Tuan. Sampai sekarang aku masih belum berhasil untuk mencapai jarak ke dekat Tuan terbaring, karena seluruh sendi tulang-tulangku sakit bukan kepalang, karena di dalam tangan Tuan tersimpan aji Sasra Birawa, sahut orang itu sambil tertawa lirih.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, maafkan aku, katanya.
Tak apalah… malahan aku merasakan suatu keuntungan, mendapat kehormatan mencicipi ilmu Tuan yang maha dahsyat itu. Dan dengan demikian aku mengenal Tuan, yang pasti salah seorang murid dari Paman Pengging Sepuh, jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengangguk perlahan. Benar Tuan, aku tinggal satu-satunya murid yang masih harus menjunjung tinggi nama kebesaran Ki Ageng Pengging Sepuh Almarhum. Untung jugalah bahwa aku tidak binasa kali ini. Kalau hal itu terjadi, berakhirlah nama perguruan Pengging. Bukankah Tuan telah mempergunakan aji Lebur Sekethi?
Terpaksa. Hanya sekadar supaya aku tidak lumat, gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
Benar Tuan…, Tuan sama sekali benar. Akulah yang terlalu lancang. Tetapi siapakah sebenarnya Tuan? Bukankah Lebur Sakethi itu menurut guruku Almarhum dan yang kukenal adalah milik Ki Ageng Dipayana? potong Mahesa Jenar.
Tuan menebak dengan tepat. Karena itu ketika Tuan mengatakan bahwa Tuan adalah orang Pangrantunan, segera aku menjadi curiga. Sebab Pangrantunan adalah daerah masa kanak-kanakku. Aku adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, jawab orang itu.
Apakah Tuan yang disebut Ki Ageng Gajah Sora? tanya Mahesa Jenar.
Benar Tuan. Akulah yang bernama Gajah Sora, jawab orang itu.
MENDENGAR jawaban itu, Mahesa Jenar jadi merenung. Untunglah bahwa tak terjadi sesuatu dalam pertempuran tadi. Kalau saja ada salah langkah, maka akibatnya akan mengerikan. Salah satu diantaranya pasti binasa. Sebab ajian seperti Sasra Birawa dan Lebur Sakethi mempunyai daya yang dahsyatnya luar biasa. Tidak hanya sebagai ajian yang tidak saja dipergunakan menyerang, tetapi juga bertahan.
Sejenak kemudian terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora bertanya kepadanya, Tetapi sampai sekarang Tuan belum menyebut nama Tuan.
Mahesa Jenar seperti tersadar dari renungannya, maka jawabnya, Namaku adalah Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar? ulang Gajah Sora. Aku belum pernah mendengar nama ini dari ayahku yang sering menyebut-nyebut nama sahabat-sahabatnya serta murid-muridnya. Bukankah seorang murid Ki Ageng Pengging itu terbunuh…?
Ya, jawab Mahesa Jenar, Bahkan tidak saja ia muridnya, tetapi juga putranya.
Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Kebo Kenanga…. Bukankah begitu? katanya.
Ya, jawab Mahesa Jenar pendek.
Kakaknya, Ki Kebo Kanigara, kabarnya lenyap tak meninggalkan bekas, sambung Gajah Sora . Dan Tuan? Adakah Tuan mempunyai sebutan yang lain?
Semua yang Tuan katakan adalah benar. Akulah yang sedikit sekali mengenal sahabat-sahabat guruku. Mungkin ini disebabkan Guru sudah lama melenyapkan diri, dan akhirnya diketahui bahwa beliau telah wafat, sehingga tidak banyak yang dapat diceritakan kepadaku.
Adapun mengenai aku sendiri, memang benarlah kata Tuan, sebab sejak aku menjadi prajurit, aku selalu dipanggil dengan nama Tohjaya.
Tohjaya…, ya Tohjaya, ulang Gajah Sora, Kalau nama ini memang pernah aku dengar. Tidak saja dari ayahku, tetapi hampir setiap orang menyebutnya sebagai pengawal raja. Tetapi kenapa Tuan sampai di sini?
Akhirnya dengan singkat Mahesa Jenar bercerita tentang segala-galanya yang pernah dialami. Juga tentang pertemuannya dengan Ki Ageng Sora Dipayana di Pangrantunan dan pertemuannya dengan Ki Ageng Lembu Sora.
Memang, anak itu agak bengal, sahut Gajah Sora kemudian. Biarlah lain kali aku mengurusnya. Juga tentang sepasang Uling, yang sampai sekarang masih aku biarkan saja sambil menunggu orang-orang golongan hitam itu berkumpul. Tetapi yang penting sekarang, apakah yang kita lakukan?
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepala sambil memandangi mulut goa yang masih saja ternganga seperti mulut seekor naga raksasa yang siap menelannya.
Beberapa saat ia agak kebingungan. Tetapi akhirnya ia berkata, Kalau saja tadi aku tahu bahwa Tuan adalah Ki Ageng Gajah Sora, maka aku kira aku tidak akan mengganggu Tuan. Nah Tuan, sekarang terserah kepada Tuan akan kedua keris itu.
Tidak, jawab Gajah Sora, Tuan lebih berhak untuk mengambilnya serta menyerahkan kembali ke Istana Demak.
Aku adalah seorang perantau, sahut Mahesa Jenar, Aku kira lebih aman kalau Tuan yang menyimpannya sampai datang waktunya untuk diserahkan kepada yang berhak nanti.
Tampaklah sejenak Gajah Sora merenung menimbang-nimbang. Akhirnya ia berkata, Baiklah, sekarang kedua pusaka itu kita ambil dan kita bawa pulang. Bukankah Tuan sudi singgah ke Banyu Biru sehari dua hari…? Atau sampai pada saat pertemuan kalangan hitam. Di sana dengan aman segala sesuatu dapat kita bicarakan.
Tentu saja Mahesa Jenar tidak dapat menolak ajakan itu. Karena itu ia pun segera mengiakan. Maka setelah itu, setelah mereka merasa bahwa tubuh mereka telah dapat dibawa berjalan, masuklah mereka dengan sangat hati-hati ke dalam goa itu dan langsung menuju ke ruang dimana kedua pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten disimpan.
Setelah menyembah beberapa kali, maka diambillah kedua pusaka itu dan dibawa keluar seorang satu, dengan tujuan untuk membawanya ke Banyu Biru, ke rumah Ki Ageng Gajah Sora yang untuk selanjutnya akan dibicarakan penyerahannya kepada yang berhak di Istana Demak.
Tetapi belum lagi mereka sempat meninggalkan daerah bukit Tidar, tiba-tiba mereka mendengar derap langkah kuda yang cukup banyak mendaki Gunung Tidar dari arah utara. Kedatangan mereka ini sudah pasti sangat mengejutkan Mahesa Jenar maupun Ki Ageng Gajah Sora.
Siapakah mereka? tanya Mahesa Jenar.
Entahlah, jawab Ki Ageng Gajah Sora sambil menggelengkan kepalanya. Derap kuda itu semakin lama semakin dekat, dan tampaknya mereka langsung menuju ke arah goa.
Mereka menuju kemari, desis Gajah Sora.
Ya, mereka menuju kemari, ulang Mahesa Jenar.
Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita? Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan.
Dalam kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan. Karena itu yang sebaik-baiknya bagi mereka adalah menghindari orang-orang berkuda itu.
Dengan keadaan kita seperti ini, sebaiknyalah kalau kita menghindari mereka, kata Mahesa Jenar.
Baiklah. Marilah kita bersembunyi, jawab Gajah Sora.
Sementara itu, kuda-kuda itu semakin dekat. Segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar mencari tempat untuk berlindung, di bawah semak yang rimbun.
Belum lagi mereka selesai menempatkan diri, muncullah dari balik-balik padas beberapa orang berkuda. Meskipun gelap malam masih menyeluruh, tetapi remang-remang mereka dapat juga menyaksikan tubuh-tubuh orang-orang berkuda itu.
TEPAT di muka goa mereka menghentikan kuda mereka, dan langsung dengan suara lantang terdengar salah seorang dari mereka berteriak, Hei Sima Rodra, sudah gilakah engkau. Kau biarkan semua penjaga-penjagamu tidur?
Suara itu melontar memukul dinding-dinding padas dan dipantulkan kembali berturut-turut beberapa kali. Namun tak ada jawaban yang terdengar. Berkali-kali orang itu berteriak-teriak memanggil, tetapi juga tak pernah ada jawaban. Akhirnya mereka berhenti berteriak-teriak.
Ada sesuatu yang tidak beres. Hai salah seorang dari kamu, bangunkan semua orang yang tidur. Juga pengawal-pengawal gerbang, kata salah seorang diantara orang-orang itu kepada pengikutnya.
Baik Ki Lurah, jawab salah satu diantaranya. Dan sejenak kemudian terdengar langkah seekor kuda menjauh.
Sementara itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar beruntung dapat menyaksikan orang-orang berkuda itu dengan jelas. Yang berkuda paling depan adalah dua orang yang gagah tegap, meskipun badannya tidak begitu besar. Mukanya tampak panjang meruncing, dan masing-masing menggenggam sebuah cemeti panjang. Mereka tampaknya hampir seperti dua orang kembar.
Ketika Mahesa Jenar sedang menduga-duga, terdengarlah Gajah Sora berbisik, Itulah Sepasang Uling dari Rawa Pening. Yang di sebelah kanan itulah yang tua, yang disebut Uling Putih, sedang yang lain adalah Uling Kuning.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Itulah mereka yang bernama Uling Putih dan Uling Kuning. Kedatangan mereka sudah pasti untuk menuntut dendam akibat terbunuhnya salah seorang kepercayaannya.
Sebentar kemudian datanglah beberapa orang berlari-lari ke arah goa itu pula.
Mereka adalah anak buah Sima Rodra yang tertidur karena kekuatan sirep Gajah Sora. Salah seorang diantaranya, yang gemuk agak pendek, bertubuh kuat seperti seekor orang hutan, maju mendekati sepasang Uling yang masih saja duduk di atas kudanya.
Salam kami untuk Sepasang Uling dari Rawa Pening, katanya.
Rupanya kakak-beradik Uling itu sama sekali tak memperhatikan sapa itu. Bahkan salah seorang dari mereka membentak, Hai, Sakayon, di manakah suami-istri macan liar itu?
Rupanya yang dipanggil Sakayon itu tersinggung juga hatinya. Buat apa kau cari mereka? jawabnya.
Jangan banyak cakap. Cari mereka, bentak Uling Kuning.
Terdengar Sakayon mendengus, Hemm…. Kau kira kau bisa memerintah aku…? Tanyakan dengan baik, aku akan menyuruh salah seorang untuk memanggilnya.
Sepasang Uling yang kasar itu menjadi marah. Kalau kau masih juga berlagak, aku patahkan lehermu, teriaknya.
Tetapi Sakayon sama sekali tidak takut. Malahan terdengar ia tertawa. Kau jangan main sekarat di sini. Katakan apa perlumu. Kalau suami-istri Sima Rodra tidak ada, akulah yang harus menyelesaikan semua soal.
Ternyata Uling Kuning hatinya lebih mudah terbakar daripada kakaknya. Hampir saja ia memutar cemetinya kalau Uling Putih tidak mencegahnya. Sedang Sakayon pun telah pula menarik pedang pendek tetapi besar seperti tubuhnya.
Jangan layani dia, Kuning, kata Uling Putih, sambil menarik kekang kudanya dan melangkah beberapa langkah maju.
Baiklah Sakayon… aku tunduk kepada peraturanmu. Tolong, katakan kepada Suami-Istri Sima Rodra bahwa aku ingin menemui mereka, kata Uling Kuning.
Sakayon yang merasa mendapat kemenangan, membusungkan dadanya sambil menjawab, Itulah namanya tamu yang tahu diri.
Lalu katanya kepada salah seorang anak buahnya, Panggilkan Ki Lurah. Katakan bahwa kakak-beradik dari Rawa Pening ingin menemuinya.
Orang yang disuruhnya itu segera berlari ke dalam goa. Tetapi sebentar kemudian ia telah muncul kembali dengan nafas yang terengah-engah. Kakang Sakayon…, Ki Lurah tidak ada di dalam goa. Bahkan ruang penyimpanan yang tidak pernah terbuka itu pun tampaknya telah dibuka dengan paksa, katanya gugup.
Hei…! teriak Sakayon terkejut. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi ia meloncat dengan tangkasnya masuk ke dalam goa. Menilik geraknya maka Sakayon pun pasti termasuk orang yang berilmu tinggi. Mungkin ia adalah kepercayaan Suami-Istri Sima Rodra. Sakayon telah keluar dari dalam goa. Gerak-geriknya menunjukkan kegelisahan hatinya. Sejenak kemudian tanpa berkata apapun ia berlari kesamping goa dimana Sima Rodra tadi lenyap.
Mereka telah mempergunakan pintu rahasia ini. Pasti terjadi sesuatu atas mereka, teriaknya.
Kemudian kembali ia berlari ke arah tamu-tamunya.
Mereka telah lenyap. Untuk tiga hari setidak-tidaknya kalian tak akan dapat menemui mereka. Sedangkan kedua pusaka yang disimpannya itu telah lenyap pula. Kalau yang mengambil Suami-Istri Sima Rodra, mereka tidak perlu memecahkan pintu, katanya dengan nafas yang memburu.
Keris itu lenyap…? tanya Uling Putih. Suaranya pun menunjukkan suatu kecemasan yang sangat. Kalau kata-katanya betul, pasti akan menimbulkan suasana yang panas dalam pertemuan kami nanti, katanya.
ULING KUNING yang lebih kasar itu tidak berkata apapun, tetapi segera ia meloncat turun dari kudanya dan langsung masuk goa.
”Kau tidak percaya?,” teriak Sakayon, “Baiklah, lihatlah sendiri.”
Rupanya Uling Putih tidak tega membiarkan adiknya memasuki goa seorang diri. Sebab mungkin ada hal-hal yang tidak beres. Karena itu ia pun segera meloncat turun dan cepat-cepat menyusul memasuki goa itu.
Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing diam sambil menunggu kakak-beradik itu keluar dari mulut goa.
Sementara itu, ketika semua perhatian dicurahkan ke mulut goa, berbisiklah Gajah Sora, “Tuan, bukankah kita dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyingkir dari kandang macan ini? “
Rupanya Mahesa Jenar pun telah memperhitungkan demikian, sehingga ia segera menyetujuinya. “Baik Tuan, tetapi jalan mana yang akan kita lalui?”
Apakah Tuan belum melihat gerbang dari benteng Sima Rodra ini? tanya Gajah Sora.
Belum, jawab Mahesa Jenar, Aku memasuki halaman ini dengan memanjat dinding belakang.
Tampaklah Gajah Sora tersenyum. Akh, Tuan kurang hati-hati. Seharusnya Tuan mengetahui lebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, arah-arah mana yang dapat Tuan lewati kalau bahaya datang. Atau setidaknya Tuan telah memiliki pengetahuan tentang itu, katanya.
Mahesa Jenar tersenyum pula. Tuan benar. Aku memang kurang hati-hati. Tetapi apakah sekarang kita dapat melewati gerbang? sahutnya.
Tentu, jawab Gajah Sora, Orang-orang yang menjaganya sedang berkumpul di sini.
Kalau demikian marilah kita pergi, sahut Mahesa Jenar lagi.
Maka sebentar kemudian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar dengan hati-hati sekali menyelinap dari satu rumpun ke rumpun yang lain, dari balik padas yang satu ke padas yang lain. Selangkah demi selangkah mereka berhasil mendekati gerbang yang menghadap ke utara.
Gerbang ini dalam keadaan biasanya selalu dijaga dengan kuatnya oleh orang-orang kepercayaan Sima Rodra. Tetapi orang-orang itu sekarang sedang berkumpul di depan goa untuk dapat mencegah kalau sepasang Uling itu akan berbuat sesuatu. Maka dengan tidak banyak mendapat kesulitan, Gajah Sora dan Mahesa Jenar berhasil keluar melewati gerbang yang menganga tak terjaga.
Setelah itu, setelah mereka berada di luar, segera mereka meloncat ke dalam semak-semak dan menjauhi benteng Sima Rodra itu dengan mengambil jalan menyusup rumpun-rumpun liar dan menjauhi jalan yang semestinya. Dengan keadaan tubuh mereka yang hampir remuk itu, mereka harus dengan hati-hati sekali menuruni tebing yang curam serta menloncati padas-padas yang rumpil. Untunglah bahwa mereka berdua mempunyai dasar kecekatan yang cukup, sehingga meskipun dengan susah payah pula mereka dalam waktu singkat telah dapat mencapai dataran di sebelah bukit kecil itu.
Tetapi demikian mereka merasa bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak lagi sulit, mereka mendengar lamat-lamat derap kuda yang keluar dari gerbang benteng bukit Tidar, yang semakin lama terdengar semakin jauh. Rupanya sepasang Uling dari Rawa Pening itu ketika sudah yakin bahwa Suami-Istri Sima Rodra tak dapat mereka temui, serta sepasang keris itu tidak lagi berada di tangan mereka, mereka merasa bahwa tak ada gunanya lagi tinggal terlalu lama di Bukit Tidar.
Setelah suara derap kuda itu lenyap, kembali Gajah Sora dan Mahesa Jenar melanjutkan perjalanan untuk secepat-cepatnya menjauhi gunung Tidar. Untuk menghilangkah jejak, mereka tidak langsung berjalan ke timur, tetapi mula-mula mereka melingkar ke barat untuk selanjutnya membelok ke utara, ke Banyu Biru.
Di perjalanan, ternyata bahwa Gajah Sora dan Mahesa Jenar yang baru saja berkenalan itu menjadi begitu akrab, seolah-olah mereka telah berkenalan bertahun-tahun. Dalam banyak hal mereka selalu bersamaan pendapat dan perhitungan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, serta mereka sudah yakin benar bahwa orang-orang Sima Rodra tidak lagi dapat menemukan mereka, mereka merasa perlu untuk beristirahat, untuk menyegarkan tubuh mereka. Maka dicarilah tempat yang sesuai untuk sekadar melepaskan lelah.
Tetapi demikian mereka duduk bersandar di pepohonan, karena lelah dan tegang yang dialaminya beberapa saat yang lalu, segera mereka jatuh tertidur.
Demikian nyenyaknya, sehingga mereka sama sekali tak merasa bahwa malam telah lama lewat, dan matahari telah tinggi di langit.
Ketika cahaya matahari itu, menerobos daun-daun dan memanaskan tubuh mereka, kedua orang yang kelelahan itu baru terbangun. Terasalah sesudah mereka beristirahat benar-benar, meskipun hanya sebentar, tubuh mereka menjadi bertambah segar. Meskipun masih saja terasa agak kaku-kaku dan nyeri, namun mereka telah sanggup untuk berdiri tegak dan melangkah dengan tangkas, berkat daya tahan tubuh mereka yang cukup kuat.
Setelah mereka mencuci muka serta sekadar minum air dari sumber yang ditemukannya di dekat mereka beristirahat, mulailah mereka melanjutkan perjalanan. Mula-mula mereka akan singgah ke Pangrantunan untuk menemui Ki Ageng Sora Dipayana. Tetapi setelah dipertimbangkan untung-ruginya, mereka membatalkan maksud itu.
Di perjalanan pulang itu, barulah mereka mengetahui bahwa wajah-wajah mereka tampaknya seperti berubah. Beberapa noda biru dan bengkak-bengkak tampak di sana-sini. Hal itu menunjukkan betapa hebatnya perkelahian mereka semalam. Sehingga apabila mereka saling memandang, mereka menjadi tertawa sendiri.
Di samping itu, dalam hati masing-masing timbullah rasa kagum satu sama lain. Sebab dalam pertempuran dan perkelahian yang mereka alami sebelum itu, jarang tubuh mereka dapat disakiti, apalagi sampai biru-biru dan bengkak-bengkak
PERASAAN Gajah Sora dan Mahesa Jenar juga menjadi geli bercampur heran.
Kenapa Ki Ageng Sora Dipayana begitu yakin bahwa cara perkenalan yang aneh itu tidak akan membawa akibat yang dapat berbahaya. Sebab rupanya, dengan memberi banyak petunjuk kepada Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana memang bermaksud untuk mempertemukannya dengan Gajah Sora yang kebetulan juga sedang disuruhnya mengambil kedua pusaka itu, tanpa memberitahukan lebih dahulu.
Dengan wajah-wajah yang demikian, apabila mereka singgah di Pangrantunan, tentu akan menimbulkan kecurigaan. Baik kepada mereka sendiri maupun kepada Ki Ageng Sora Dipayana yang menyamar sebagai seorang petani miskin. Karena itu mereka berketetapan hati untuk melangsungkan saja perjalanan mereka ke Banyu Biru.
Pada malam berikutnya mereka bermalam pula di tengah-tengah hutan. Sengaja mereka tidak menuruti jalan ke Bergota karena mereka merasa bahwa barang-barang yang mereka bawa adalah bukan barang biasa, yang apabila sampai diketahui orang akan dapat banyak menimbulkan kerepotan.
Seperti juga malam kemarin, karena lelah dan mereka belum pulih seluruhnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar demikian meletakkan tubuhnya, demikian mereka mendengkur nyenyak sekali. Tetapi malam ini ternyata tidak setenteram malam kemarin. Belum lagi mereka melampaui tengah malam, mendadak terasa tubuh mereka dikenai sesuatu. Gajah Sora dan Mahesa Jenar adalah orang-orang yang pernah mengalami latihan-latihan jasmaniah maupun kesiagaan batin. Maka demikian tubuh mereka kena sentuhan yang tidak wajar, demikian mereka meloncat berdiri dan dalam sekejap mereka telah bersiaga.
Tepat pada saatnya, terdengarlah gemerisik dedaunan disamping mereka, dan dengan suatu auman yang dahsyat meloncatlah seekor harimau hitam yang besarnya bukan kepalang, menerkam Mahesa Jenar. Untunglah bahwa tubuh Mahesa Jenar telah agak terasa baik, sehingga dengan menjatuhkan diri ia bebas dari terkaman harimau hitam itu. Bahkan tiba-tiba ia menjadi marah sekali atas gangguan yang mendadak datangnya.
Karena itu ia tidak menanti lebih lama lagi. Saat itu pula segera ia mengatur jalan pernafasan menurut ajaran gurunya, menyilangkan tangan kirinya di muka dada serta mengangkat tangan kanannya, satu kakinya ditekuk ke depan. Dan dengan menggeram penuh kemarahan, ia meloncat ke arah harimau yang baru saja menjejakkan kakinya keatas tanah itu, berbareng dengan mengayunkan pukulan Sasra Birawa. Tetapi ketika tangannya sudah hampir menyentuh tubuh harimau itu, tiba-tiba dengan gerakan aneh harimau itu berguling-guling tangkas sekali sehingga pukulan Mahesa Jenar yang dilambari kekuatan ilmu Sasra Birawa itu tidak mengenai sasarannya. Dengan demikian ia terseret oleh kekuatannya sendiri sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangan.
Untunglah bahwa dengan cepat Mahesa Jenar dapat menguasai dirinya kembali sehingga ia tidak jatuh tertelungkup. Tetapi pada saat yang demikian, pada saat dimana Mahesa Jenar masih belum dapat menguasai keseimbangan sepenuhnya, harimau itu telah siap merobek-robeknya. Untunglah bahwa kawan seperjalanannya bukan pula orang kebanyakan. Ia menyaksikan kegagalan Mahesa Jenar dengan penuh keheranan. Heran atas sikap seekor harimau yang dengan tangkas dapat membebaskan dirinya dari pukulan maut Mahesa Jenar, bahkan harimau itu telah siap pula untuk menerkamnya.
Karena itu Gajah Sora tidak mau kehilangan waktu. Cepat seperti kilat ia meloncat sambil merentangkan tangannya, yang sesaat kemudian telah menyilang dadanya. Dengan suatu gerakan melingkar lewat atas kepalanya ia menghantam harimau itu dengan dahsyatnya. Bahkan Gajah Sora telah mempergunakan ilmunya Lebur Sakethi.
Melihat serangan yang tiba-tiba datang itu, harimau hitam biasa meloncat menghindari pukulan Lebur Saketi yang tidak pula kalah dahsyatnya. Juga kali ini Gajah Sora tak berhasil mengenainya.
Tetapi sementara itu, Mahesa Jenar telah dapat menguasai diri sepenuhnya. Sehingga demikian ia melihat harimau itu berhasil menghindari pukulah Gajah Sora, demikian Mahesa Jenar mengulangi serangannya dengan ilmunya Sasra Birawa. Kali ini harimau hitam yang sedang mengelak itu tidak sempat berbuat apa-apa. Tangan Mahesa Jenar berhasil mengenai tengkuknya. Harimau itu meloncat tinggi-tinggi dan mengaum hebat sekali. Gajah Sora, yang menjadi marah pula, tidak mau membiarkan harimau itu, karenanya sebelum harimau itu jatuh di tanah ia telah mengulangi pula serangannya dengan aji Lebur Sakethi.
Akibat dari dua pukulan maha dahsyat itu hebat sekali. Harimau hitam itu terpental beberapa langkah.
Tetapi alangkah terkejut mereka berdua, ketika Gajah Sora dan Mahesa Jenar menyaksikan harimau itu jatuh berguling-guling dan kemudian menggeliat dan seperti melenting ia meloncat dan bangun berdiri. Ya, berdiri di atas dua kaki seperti manusia berdiri. Akhirnya, barulah Gajah Sora dan Mahesa Jenar sempat menyaksikan bahwa yang berdiri di hadapannya sama sekali bukanlah seekor harimau hitam, tetapi benar-benar seorang manusia yang berkerudung kulit harimau berwarna hitam.
Karena itu darah mereka bergolak hebat.
Manusia itu, yang berdiri di hadapannya, pasti bukan manusia biasa, sebab ia telah dapat membebaskan dirinya dari akibat pukulan-pukulan Lebur Sakethi dan sekaligus Sasra Birawa.
Orang yang berkerudung kulit harimau hitam itu berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya gagah besar melampaui ukuran yang biasa. Jambang dan janggutnya tidaklah begitu lebat, tetapi hampir memenuhi seluruh mukanya. Matanya tampak bercahaya di dalam gelap, benar-benar seperti mata seekor harimau.
Dalam cahaya bintang yang samar-samar, Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berpandangan tajam itu dapat menyaksikan bahwa wajah orang itu pastilah bengis dan kejam.
Sebentar kemudian terdengarlah ia menggeram perlahan-lahan, lalu terdengarlah suaranya dalam sekali, Pukulan kalian luar biasa dahsyatnya. Terasa betapa sakit dan nyerinya. Karena itu, kau telah berbuat kesalahan dalam dua hal. Mengambil kedua pusaka itu dan menyakiti tubuhku. Akibatnya adalah dua hal pula, kembalikan keris itu dan aku akan membalas pukulan kalian. Kalau kalian mati karena pukulanku bukanlah salahku.
MENDENGAR kata-kata itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar menjadi gemetar karena marah. Biarpun orang itu tidak dapat dibunuhnya karena kesaktian andalan mereka yang terakhir, tetapi mereka bukanlah anak-anak kecil yang harus menerima saja hukuman dari orang tuanya. Karena itu Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera menyiagakan diri untuk bersama-sama menghadapi bahaya yang besar, dan untuk taruhan yang besar pula, yaitu kedua keris Pusaka Demak dan nyawa mereka.
Menurut pertimbangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar, tidaklah mereka bersalah apabila mereka terpaksa mempergunakan keris-keris yang sedang mereka pertahankan mati-matian itu. Karena itu, tangan Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera melekat pada ukiran keris yang mereka bawa masing-masing.
Melihat gelagat itu, orang yang berkerudung kulit harimau itu berdesis, Hem.., kalian akan mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu untuk melawan aku. Bagus. Memang tak seorangpun di dunia ini yang akan dapat tetap hidup meskipun hanya tergores seujung rambut saja. Tetapi aku harus meyakinkan kalian, bahwa kalian tak akan dapat menyentuh tubuhku dengan kedua pusaka itu.
Habis mengucapkan kata-kata itu, orang itu segera bersiap untuk menyerang Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bagaimanapun beraninya Gajah Sora dan Mahesa Jenar, hati mereka bergetar juga. Tergetar karena menghadapi bahaya yang mungkin akan dapat menggagalkan tugas mereka untuk menyelamatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Sejenak kemudian seperti angin menyambar, orang itu mulai dengan serangannya. Alangkah dahsyatnya, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera memencarkan diri, dan tak ada pilihan lain kecuali mencabut kedua pusaka yang mereka bawa yang kemudian sejenak diungkulkan di atas kepala masing-masing. Kiai Nagasasra berbentuk seekor naga bersisik emas, yang memancarkan cahaya kuning menyilaukan, sedang Kiai Sabuk Inten yang ber-luk 11 tampak berkilat-kilat memancarkan cahaya yang kebiru-biruan.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar meskipun tidak dapat menyamai kecepatan gerak lawannya tetapi mereka bukan pula anak-anak ingusan. Apalagi di tangan mereka sekarang bercahaya-cahaya pusaka yang tiada taranya. Karena itu orang yang berkerudung kulit harimau itupun tidak berani merendahkan. Segera mereka bertiga terlibat dalam satu pertempuran yang luar biasa hebatnya.
Tampaklah sebuah bayangan hitam menyelinap menyusup dan kemudian meloncati gumpalan-gumpalan cahaya kuning yang silau dan cahaya biru yang gemerlapan. Itulah cahaya dari kedua pusaka itu di tangan orang-orang yang hampir sempurna olah senjata.
Tetapi ternyata apa yang dikatakan orang itu benar-benar terjadi. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang sudah bekerja mati-matian, sama sekali tak berhasil menyentuh kulit lawannya dengan senjata-senjatanya. Hanya untunglah bahwa karena kedua pusaka itu pula, lawan mereka belum juga berhasil dapat mengenai tubuh mereka. Kalau saja Gajah Sora atau Mahesa Jenar sampai tersinggung oleh tangan hantu itu, pastilah kulit mereka akan robek.
Akhirnya, ketika pertempuran itu sudah berlangsung beberapa saat, dan masih saja Gajah Sora dan Mahesa Jenar memberikan perlawanan yang sengit, orang yang berkerudung kulit harimau itu tidak sabar lagi. Ia meloncat beberapa langkah ke belakang, dan dengan gerak yang menakutkan ia menggetarkan tubuhnya sambil mengaum mengerikan. Sesaat kemudian ia telah siap untuk mengadakan serangan-serangan terakhir yang mematikan.
Meskipun Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak mengerti arti dari gerakan-gerakan itu, mereka yakin bahwa saat yang menentukan segera akan tiba.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri kira-kira berjarak 3 sampai 4 langkah, yang dapat dicapainya dalam satu loncatan. Mereka sudah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan yang terakhir. Kalau mereka berdua harus mati, maka setan itu pun harus dapat dilukainya pula dengan salah satu dari kedua keris itu, sehingga ia pun pasti akan mati pula.
Orang yang berkerudung kulit harimau itu setelah berhenti mengaum segera bersikap seperti akan menerkam. Tangannya terjulur ke depan, sedangkan jari-jarinya dikembangkan. Melihat sikap itu, segera Gajah Sora dan Mahesa Jenar teringat kepada istri Sima Rodra yang bertempur dengan cara yang serupa. Tetapi orang ini ternyata mempunyai ketinggian ilmu yang berlipat-lipat.
Sejenak kemudian, hampir pada saat orang itu meloncati Gajah Sora, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang nyaring meskipun tidak terlalu keras. Kemudian disusul gemerisik daun-daun yang tergetar karena suara tertawa itu. Alangkah besar tenaga yang dilontarkan lewat suara yang tidak begitu keras itu.
Mendengar suara itu, orang berkerudung kulit harimau itu tampak terkejut bukan main. Dan keadaan itu sangat mengejutkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar pula. Mereka telah terkejut karena getaran suara itu, disusul oleh sikap orang yang berkerudung itu.
ORANG berkerudung itu kemudian menegakkan kepalanya. Ia menggeram hebat menunjukkan kemarahannya. Kemudian terdengar ia berkata, Hem…, apa kepentinganmu dengan mengganggu pekerjaanku?
Dan terdengarlah jawaban yang lunak halus hampir seperti suara perempuan. Terhadap anak-anak itu kau sudah akan mempergunakan ajimu Macan Liwung? katanya.
Apa pedulimu? jawab orang itu.
Banyak kepentinganku atasnya, mereka adalah murid-murid sahabatku. Dan bukankah persoalan itu adalah persoalan anak-anak. Sebaiknya orang tua tidak usah ikut campur, jawab suara itu.
Sebaiknya kau mengurus kepentinganmu sendiri, sahut orang berkerudung itu.
Ini juga termasuk kepentinganku, jawab suara itu pula.
Aku tidak pedulikan kau, potong orang berkerudung itu.
Tetapi aku mempedulikan kau. Kalau kau memaksa pula untuk mencampuri perkara anak-anak. Baiklah kita yang tua-tua ini membuka permainan sendiri. Sedang anak-anak biarlah mereka belajar menyelesaikan masalah mereka.
Gila…. Selamanya kau gila. Kau berharap dapat mengalahkan aku sekarang?
Tidak. Aku tahu bahwa aku tak akan mengalahkan kau. Tetapi setidak-tidaknya kau juga tidak akan dapat mengalahkan aku. Dan permainan itu akan memberi kesempatan kepada anak-anak itu untuk berlindung pada bapak-bapaknya. Karena ada seorang bapak telah ikut campur pula, jawab orang itu.
Suara orang asing yang lunak dan mirip suara perempuan itu terang berasal dari belakang Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun demikian, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak berani menoleh ke belakang. Mereka tahu bahwa orang itu pasti tidak akan bermaksud jahat, sebab kalau demikian sudah sejak tadi ia dapat membunuhnya dari arah punggung. Apalagi ketika mereka berdua mendengar pembiaraannya dengan orang yang berkerudung itu, hati mereka seperti disiram embun.
Tetapi meskipun demikian mereka hampir tak berani berkedip. Sebab setiap saat orang yang berkerudung itu dapat meloncatinya dan merebut pusaka-pusaka itu, yang barangkali malahan dapat dipergunakan untuk melawan orang yang berada di belakangnya itu.
Sebentar kemudian kembali orang berkerudung itu menggeram. Jangan coba halangi aku, katanya.
Sesudah itu terjadilah suatu hal diluar daya pengamatan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Meskipun mereka berdua termasuk orang-orang yang disegani karena kesaktiannya, tetapi mereka samasekali tidak dapat menangkap gerakan orang berkerudung itu. Apa yang dilihatnya hanyalah seperti pancaran kilat yang membelah langit, sedemikian tiba-tiba dan berlangsung cepat sekali.
Orang berkerudung itu tahu-tahu rasanya sudah melekat di pelupuk mata Gajah Sora. Kemudian segera disusul dengan peristiwa yang sama cepatnya. Sebuah benturan yang luar biasa dahsyat terjadi di hadapan mata Gajah Sora dan Mahesa Jenar tanpa dapat diketahui permulaannya.
Apa yang mereka ketahui kemudian adalah orang berkerudung itu telah berdiri berhadap-hadapan dengan seorang yang berperawakan kecil. Sikapnya pun mirip dengan suaranya. Sama sekali tidak gagah dan garang, tetapi justru mirip sikap seorang perempuan.
Orang itu berdiri dengan tubuh masih bergetar diantara Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Dan dihadapannya berdiri orang berkerudung itu, yang juga tampak sedang berusaha menguasai keseimbangannya.
Kau benar-benar akan mencampuri urusanku? bentak orang berkerudung itu.
Sudah aku katakan sejak tadi, jawab orang yang mirip dengan perempuan itu.
Kemudian tampaklah orang berkerudung itu memandangi berganti-ganti Gajah Sora, Mahesa Jenar dan orang asing itu. Mukanya yang hampir seluruhnya ditumbuhi rambut yang jarang-jarang itu tampak berkerut. Lalu katanya dengan suara parau, Baiklah, aku tidak dapat melawan kalian bertiga. Tetapi jangan mengira bahwa aku telah melepaskan kepentinganku atas kedua anak-anak yang bermain-main dengan pusaka-pusaka itu.
Setelah berkata demikian, segera ia meloncat tak ubahnya seekor harimau dan kemudian menyusup lenyap di gerumbul liar.
Setelah orang berkerudung itu tidak nampak lagi, berkatalah orang asing itu kepada Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Guru kalian ternyata kurang hati-hati. Untunglah aku melihat harimau itu, sedang kalian tidur nyenyak. Sehingga aku terpaksa membangunkan kalian dengan batu. Seharusnya guru kalian tidak melepaskan kalian tanpa pengawasannya.
Gajah Sora dan Mahesa Jenar kemudian dengan membungkuk hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan dengan agak berdebar-debar Gajah Sora mencoba bertanya, Bolehkan aku mengetahui, siapakah Tuan?
Orang itu tersenyum. Tidaklah gurumu pernah berceritera tentang aku? jawabnya.
Gajah Sora mengernyitkan alisnya sambil mengingat-ingat ceritera gurunya tentang sahabat-sahabatnya. Mahesa Jenar juga mencoba untuk menebak-nebak siapakah kiranya yang berdiri dihadapannya itu. Tiba-tiba mereka hampir bersamaan teringat kepada ceritera guru masing-masing.
Pendekar sakti yang menurut istilah guru mereka, sama sekali tampangnya tak berarti. Mungkin orang inilah yang dimaksud. Maka dengan hampir bersamaan pula mereka mengucapkan sebuah nama, Tuankah yang bergelar Titis Anganten dari Banyuwangi?
Kembali orang itu tersenyum. Nah ternyata kalian kenal aku. Guru-gurumu pasti pernah berkata tentang orang yang tampangnya tak berarti, jawabnya lagi.
Lalu terdengarlah ia tertawa nyaring.
Aku dengar Kakang Pengging Sepuh telah wafat, katanya tiba-tiba kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar tertegun. Rupanya dengan tepat orang itu mengetahui bahwa Macan Ireng itu berada di sini.
Gajah Sora segera menjawab, Mungkin Tuan, sebab Guru tak pernah menyebutkan itu.
MUNGKIN, sahut orang yang ternyata adalah Titis Anganten. Sebab kedatangannya belum seberapa lama. Ketika aku ketahui bahwa alas Lodaya kosong, segera aku pergi ke Gunung Tidar. Ketahuilah bahwa orang itulah yang sebenarnya bernama Sima Rodra. Ia adalah ayah dari isteri Sima Rodra yang sekarang. Dan terkaanku adalah tepat. Ia pergi mengunjungi anak perempuannya di Gunung Tidar. Beberapa lama aku terpaksa mengeram mengawasinya. Jadi aku dapat melihat seluruhnya yang terjadi di muka goa Sima Rodra. Aku dapat melihat kedatangan kalian dari arah yang berbeda. Dan aku terpaksa membantu ketajaman sirep yang kau sebarkan, sebab Sima Rodra itupun telah mencoba melawannya. Dan karena kami lakukan berdua, maka sirep kamipun menang. Untunglah bahwa Sima Rodra berdua itu berlari ke dalam pintu rahasia, sehingga ayahnya memerlukan waktu untuk keluar melalui lobang yang lain sehingga ia baru dapat menyusul kalian sekarang ini. Dan agaknya karena kedatangannya itu ingin dirahasiakan, dan karena kepercayaannya kepada anaknya, ia tidak merasa perlu untuk membantu, lanjut Titis Anganten.
Persoalannya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Ternyata ketika mereka tertidur nyenyak, mereka telah dibangunkan oleh Titis Anganten. Itulah sebabnya mereka merasa seperti dilempar dengan batu. Dan apa yang mereka hasilkan sekarang, sebagian adalah karena jasa orang itu pula.
Karena itu, sekali lagi mereka mengucapkan terima kasih yang tak terhingga.
Tetapi… sampai sekarang aku masih belum mengenal nama-nama kalian. Siapakah namamu anak muda? tanya Titis Anganten kepada Mahesa Jenar.
Namaku Mahesa Jenar, Tuan. Sebagai seorang prajurit aku disebut Ronggo Tohjaya, jawab Mahesa Jenar.
Titis Anganten mengangguk-angguk. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengan Kakang Pengging Sepuh, sehingga aku belum mengenal nama murid-muridnya.
Sedang apa yang kau lakukan terhadap lawan-lawanmu dengan Sasra Birawa yang terkenal itu, kau benar-benar mengingatkan aku kepada gurumu. Kelak kalau telah mengendap benar-benar dan dapat menguasai setiap saluran nafasmu dengan baik, maka dapat diharapkan bahwa kau setidak-tidaknya akan dapat menyamai gurumu. Hanya sayang bahwa gurumu itu tidak lagi berkesempatan menuntunmu lebih lama lagi, sehingga kau harus berjuang sendiri untuk mencapai kesempurnaan, kata Titis Anganten kepada Mahesa Jenar.
Kemudian Titis Anganten bertanya kepada Gajah Sora, Ilmumu Lebur Seketi ternyata sedikit lebih masak dari Mahesa Jenar. Siapakah namamu?
Aku bernama Gajah Sora, Tuan, jawab Gajah Sora.
Titis Anganten mengernyitkan alisnya. Namamu mirip dengan nama gurumu. Mungkin kau tidak saja muridnya. Menilik wajahmu yang mirip dengan wajah Kakang Sora, aku sejak tadi sudah mengira bahwa kau adalah anaknya, katanya kemudian.
Benar Tuan… aku adalah anaknya yang sulung, jawab Gajah Sora.
Kembali Titis Anganten mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin karena gurumu yang bahkan ayahmu masih selalu dapat mendampingimu itulah maka ilmumu agak lebih masak sedikit dari Mahesa Jenar. Tetapi bagaimanapun aku telah dapat menyaksikan suatu pertunjukan yang luar biasa. Sasra Birawa beradu dengan Lebur Seketi. Dua macam ilmu yang tak ada bandingnya, lanjutnya.
Mendengar pujian itu, Mahesa Jenar dan Gajah Sora agak canggung pula.
Nah sekarang sarungkan pusaka-pusaka itu, kata Titis Anganten lebih lanjut.
Kata-kata itu telah menyadarkan Gajah Sora dan Mahesa Jenar bahwa sejak tadi kedua pusaka keramat itu masih saja digenggamnya erat-erat. Karena itu maka setelah diungkupkan di atas kepala masing-masing, keris itu kemudian disarungkan kembali.
Sekarang…, kata Titis Anganten melanjutkan, untuk sementara kalian akan aman. Macan Ireng itu pasti tidak akan mengganggumu lagi. Tetapi untuk seterusnya kau harus berhati-hati. Sebab ilmunya yang dinamainya Macan Liwung itu tak kalah pula dahsyatnya. Mungkin ilmu itu masih belum diturunkan kepada anak atau menantunya. Tetapi dengan kejadian-kejadian ini tidak mustahil bahwa ia akan menurunkan ilmunya itu segera untuk mendapat tenaga-tenaga yang akan membantunya melawan angkatan tua dan kalian. Akibatnya, pastilah besar. Apalagi kalau Sima Rodra itu menghubungi sahabat-sahabatnya. Misalnya Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme.
Mungkin juga dengan Ki Pasingsingan dari Mentaok, sela Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu tampaklah Titis Anganten agak terkejut. Tetapi akhirnya ia menjawab juga, Ya… Tuan, Pasingsingan, guru Lawa Ijo di Mentaok.
Ah, barangkali kau keliru Mahesa Jenar, kata Titis Anganten, Tidakkah gurumu sering mengatakan kepadamu bahwa Pasingsingan itu termasuk salah seorang dari kami?
Benar, Tuan, Mahesa Jenar menjelaskan. Tetapi ternyata ia telah mengambil seorang murid yang terkenal dengan sebutan Lawa Ijo, yang termasuk dalam golongan hitam.
Kembali wajah Titis Anganten berubah. Rupanya ia tidak menyetujui keterangan Mahesa Jenar. Siapakah yang mengatakan itu kepadamu? tanyanya.
Aku pernah melukai Lawa Ijo itu dengan Sasra Birawa, jawab Mahesa Jenar. Hal itu terpaksa aku lakukan karena Lawa Ijo mempergunakan cincin bermata akik yang merah menyala dan beracun.
Pada saat itulah muncul Pasingsingan yang akan membunuhku. Untunglah bahwa pada saat itu hadir pula Ki Ageng Pandan Alas, meskipun tidak menampakkan diri.
Pandan Alas? potong Titis Anganten. Dan tiba-tiba wajahnya menjadi terang oleh suatu kesan yang lucu terhadap Pandan Alas.
Ya, Ki Ageng Pandan Alas telah memberikan tanda-tanda kehadirannya dengan sebuah tembang Dandanggula, sambung Mahesa Jenar.
Ah, masih saja orang tua itu senang pada tembang. Masihkah suaranya baik dan nadanya tidak sumbang?
Terdengarlah Titis Anganten tertawa lirih. Bagus-bagus, orang tua jenaka itu rupanya masih akan panjang umur. Tetapi bagaimana dengan Pasingsingan?
MENDENGAR pertanyaan itu segera Mahesa Jenar menjawab, Orang itu memakai kedok kayu yang kasar.
Betul…, kau betul. Pasingsingan itu mungkin berwajah bopeng sehingga ia malu menampakkan wajahnya. Kami sahabat-sahabatnya pun belum pernah mengenal wajahnya yang asli. Dan batu merah yang disebutnya akik Kelabang Sayuta itu benar-benar miliknya. Tetapi…, Titis Anganten berhenti sebentar, lalu melanjutkannya, Aneh kalau ia termasuk aliran hitam.
Menurut Ki Ageng Pandan Alas, beliau meragukan keaslian Pasingsingan itu, sahut Mahesa Jenar.
He…? kembali Titis Anganten terkejut. Mungkin…, mungkin. Tetapi setan mana yang berani mengaku Pasingsingan itu? Pasti ia termasuk dalam tingkatan orang tua itu pula. Kalau tidak, barangkali umurnya tidak akan lebih dari satu hari saja.
Titis Anganten berhenti berbicara. Tampaklah ia sedang berpikir.
Lalu tiba-tiba katanya, Nah Gajah Sora dan Mahesa Jenar, pulanglah kalian. Sebaiknya Kakang Sora Dipayana segera diberi tahu mengenai kehadiran Sima Rodra. Perkara Pasingsingan biarlah diurus oleh Pandan Alas, yang sudah tidak punya urusan apa-apa lagi kecuali bertanam jagung. Ya, memang ia suka menanam jagung sejak muda. Itulah pokok makanannya. Ia sama sekali tidak pernah makan beras.
Kemudian terdengarlah Titis Anganten itu tertawa. Lalu sambungnya, Kalau Kakang Sora Dipayana sudah tahu, selesailah tugasku. Aku ingin melanjutkan perjalanan ke barat, mumpung aku sudah sampai di sini. Aku ingin mengunjungi Kakang di Gunung Slamet.
Tetapi tidakkah Tuan hendak singgah di rumahku? sahut Gajah Sora. Dan mungkin Tuan akan dapat bertemu dengan ayah. Barangkali pertemuan itu dapat menggembirakan ayah.
Titis Anganten menggelengkan kepalanya. “Pertemuan semacam itu selalu menjadi pembicaraan orang. Apalagi di daerah yang sedang ribut ini. Katakanlah bahwa aku akan datang besok kalau aku akan pulang ke Banyuwangi. Ketahuilah bahwa di sini segala sesuatu tak dapat dirahasiakan kalau kita tidak melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Sekarang, aku sudah lelah setelah bersembunyi beberapa hari mengintip Sima Rodra. Nah selamat berpisah. Salam buat ayahmu Gajah Sora, katanya.
Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar tidak sempat lagi untuk mengatakan sesuatu, sebab segera Titis Anganten melangkah pergi menyelinap diantara dedaunan, dan hilang ditelan gelap. Tinggallah kini Gajah Sora dan Mahesa Jenar, yang segera teringat kepada pekerjaannya. Karena itu segera mereka pun melanjutkan perjalanan.
Makin cepat mereka sampai ke Banyubiru, makin amanlah keris yang dipertaruhkannya itu.
Sampai di Sarapadan, segera mereka memotong jalan ke Bergota. Mereka berjalan dengan cepat tanpa berhenti. Sebab bagaimanapun kemungkinan Sima Rodra akan menyusul mereka masih tetap ada, meskipun Titis Anganten telah mengatakan bahwa untuk sementara mereka dapat merasa aman.
Demikianlah mereka berjalan tanpa berhenti, sehingga pada hari berikutnya, ketika matahari sudah condong ke barat, mereka dengan selamat sampai ke Banyubiru.
Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah segera berhenti memandang ke arah Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari menyambut kepala daerah perdikan mereka.
Segera jalan-jalan yang akan mereka lewati menjadi ramai. Mereka menyambut dengan tulus dan bangga atas kepala daerah mereka, yang mereka taati. Tetapi tak seorangpun dari mereka yang mengetahui bahwa kepala daerah mereka itu baru saja menyelesaikan suatu pekerjaan yang hampir membawa nyawanya.
Beberapa orang yang berdiri di tepi jalan itu bersorak-sorak ramai sekali, tetapi ada pula yang berbisik, Dari manakah Ki Ageng Gajah Sora itu…? Dan siapakah kawan seperjalanannya itu…?
Tampaklah kesibukan yang luar biasa. Hal ini disebabkan tak seorang pun dari penduduk Banyubiru yang mengetahui bahwa Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan kota. Tiba-tiba mereka melihat Ki Ageng Gajah Sora telah kembali.
Mahesa Jenar menyaksikan sambutan rakyat yang meriah itu dengan hati yang berdebar-debar. Tampaklah betapa Ki Ageng Gajah Sora memiliki sifat kepemimpinan yang tinggi, sehingga rakyatnya sangat mencintainya.
Di kiri kanan jalan, di balik pagar manusia yang menyambutnya, tampaklah halaman-halaman yang luas-luas dan bersih. Dan di atas halaman-halaman itu berdiri rumah-rumah yang besar dan bagus. Hal itu memberi pertanda bahwa Banyubiru tergolong daerah yang bercukupan.
Apalagi ketika Mahesa Jenar menyaksikan bahwa pada umumnya lumbung-lumbung mereka sama sekali tak berdinding, malahan ada yang bentuknya hanya seperti payung yang berdaun lebar. Maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa daerah itu merupakan daerah yang aman dan makmur.
BANYUBIRU terletak di lambung bukit Telamaya di kaki Gunung Merbabu sebelah utara. Di hadapannya terbentang dataran tinggi yang dibagi dalam dua jenis tanah. Di sebelah barat merupakan tanah persawahan yang subur, sedang di sebelah timur terdapat sebuah rawa yang besar. Kemudian di bagian utara dari rawa-rawa itu ditumbuhi pohon-pohon liar yang lebat, disambung dengan hutan-hutan belukar.
Di dalam hutan-hutan belukar yang berawa-rawa itulah bersembunyi gerombolan Uling yang terkenal dengan nama Sepasang Uling dari Rawa Pening. Daerahnya merupakan daerah yang sangat sulit dicapai. Meskipun demikian, Sepasang Uling itu telah membuat sendiri jalan rahasia menuju ke sarangnya.
Bagi rakyat Banyubiru, sawah serta Rawa Pening itu merupakan sumber penghasilan yang utama. Rawa Pening terkenal banyak sekali menyimpan ikan-ikan rawa yang besar-besar.
Sehingga dengan demikian penghidupan mereka agak dapat terjamin pula. Sedangkan gerombolan Uling itu, sama sekali tidak berani mengganggu mereka, sebab di bawah pimpinan Ki Ageng Gajah Sora, rakyat Banyubiru merupakan rakyat yang kuat lahir dan batinnya.
Demikianlah maka Ki Ageng Gajah Sora di sepanjang jalan melambai-lambaikan tangannya untuk menyambut sorak-sorai rakyatnya. Tiada lama berselang, terdengarlah derap beberapa ekor kuda yang datang dari arah depan. Dan muncullah dari kelokan jalan, beberapa orang berkuda menyongsong kedatangan Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar.
Demikian kuda-kuda itu mendekati Ki Ageng Gajah Sora, meloncatlah seorang yang bertubuh agak pendek dan gemuk dari atas kudanya. Wajahnya, meskipun sudah ditandai dengan garis-garis umur, tetapi tampak kekanak-kanakan dan jenaka. Kecuali kuda yang dinaikinya, orang itu masih menuntun seekor kuda lagi yang berwarna putih, sudah lengkap dengan pelananya.
Ketika yang lain melihat orang itu meloncat turun, maka berloncatan pulalah mereka dari atas kuda-kuda mereka.
Maka berkatalah orang yang pendek gemuk itu dengan suara berderai, Anakmas Gajah Sora, hampir Rawa Pening aku suruh aduk untuk mencari Anakmas, kalau-kalau sedang mandi di sana. Bahkan Gunung Gajahmungkur itu aku suruh balikkan, mungkin Anakmas terselip di dalamnya. Sungguh pandai Anakmas membikin orang tua bingung. Kemanakah Anakmas selama beberapa hari ini?
Ki Ageng Gajah Sora tersenyum. Tetapi tak sesuatu yang Paman lakukan. Untunglah aku selamat, jawabnya.
Alis orang tua yang sudah memutih itu bergerak-gerak. Aku sudah memerintahkan. Tetapi Nyi Ageng melarangnya. Katanya aku disuruh menunggu sampai seminggu ini. Kalau tidak, Nyi Ageng sendiri akan memberi perintah untuk mencari Anakmas, katanya.
Kembali Gajah Sora tersenyum. Dan sekarang aku sudah kembali, Paman.
Kembali orang tua itu berkata, Aku memang sudah mendapat kesimpulan, bahwa Anakmas pergi untuk sesuatu tugas yang tak seorang pun boleh mengetahui, kecuali Nyi Ageng. Kalau tidak, pastilah Nyi Ageng Gajah Sora sudah ribut sejak semula.
Lalu terdengarlah suara orang itu tertawa berderai. Karena itu aku tidak berusaha lagi untuk mencari Anakmas. Dan sekarang Anakmas sudah pulang dengan selamat bersama-sama seorang yang belum aku kenal, sambungnya.
Lalu membungkuklah orang itu kepada Mahesa Jenar. Bolehkah aku memperkenalkan diri Anakmas…? Namaku Wanamerta, tanya orang itu sambil memperkenalkan diri.
Mahesa Jenar membalas hormat orang tua itu. Aku bernama Mahesa Jenar, yang oleh kebaikan hati Ki Ageng Gajah Sora, aku mendapat kehormatan singgah di Banyubiru.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya kepada Ki Ageng Gajah Sora, Anakmas Gajah Sora, karena aku tidak tahu bahwa Anakmas datang berdua, maka aku hanya membawa seekor kuda untuk Anakmas. Maka baiklah kalau Anakmas Mahesa Jenar ini mempergunakan kudaku saja untuk bersama-sama dengan Anakmas Gajah Sora.
Lalu Paman…? tanya Gajah Sora.
Biarlah aku memakai salah satu dari kuda anak-anak itu, jawabnya.
Maka dipersilahkannya Mahesa Jenar mempergunakan kuda Wanamerta yang berwarna abu-abu agak kemerah-merahan, sedang Gajah Sora mempergunakan kudanya sendiri yang berwarna putih.
Meskipun mereka sekarang berkuda, tetapi mereka berjalan perlahan-lahan juga, sebab masih saja orang-orang menyambut mereka di kiri kanan jalan.
Setelah beberapa lama mereka berjalan diantara rakyat Banyubiru, sampailah iring-iringan berkuda itu ke sebuah lapangan luas, yang di tengah-tengahnya tumbuh sepasang pohon beringin. Lewat tengah-tengah lapangan yang tak lain adalah Alun-alun Banyubiru, mereka menuju ke sebuah rumah besar yang berpendapa luas dan bertiang ukir-ukiran. Itulah tempat kediaman Ki Ageng Gajah Sora.
Di muka pendapa itu telah banyak orang berjajar-jajar menanti. Diantara mereka berdiri seorang perempuan. Ketika iring-iringan itu sampai di muka pendapa, segera Ki Ageng Gajah Sora dan Mahesa Jenar turun dari kuda, dan berjalan ke arah para penyambut.
Sampai di muka tangga, perempuan itu segera mengambil siwur dan mencuci kaki Ki Ageng Gajah Sora. Orang itulah Nyi Ageng Gajah Sora.
Setelah Nyi Ageng Gajah Sora mencuci kaki suaminya maka dipersilahkan Mahesa Jenar mencuci kakinya, dan seterusnya berganti-ganti dengan mereka yang turut serta menjemput kedatangan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Setelah itu Gajah Sora suami-istri bersama-sama dengan Mahesa Jenar langsung menuju ke Pringgitan.
Mereka jadi tertegun sejenak ketika mereka melihat di dalam Pringgitan itu duduk seorang yang telah lanjut usianya, berkain kotak-kotak dan berbaju lurik hijau bergaris-garis besar. Dari wajahnya memancar keagungan pribadinya yang berwibawa.
Melihat orang itu, segera Gajah Sora berlutut sebagai pernyataan bakti dari seorang putra kepada ayahnya. Orang itulah Kiai Ageng Sora Dipayana.
MAHESA JENAR pun segera membungkuk hormat. Ia sudah pernah bertemu dengan Ki Ageng Sora Dipayana itu di Pangrantunan. Bahkan ia banyak memberikan petunjuk-petunjuk untuk mendapatkan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun harus melalui suatu ujian, bertempur melawan Gajah Sora.
Tetapi orang yang sama itu, sekarang nampak jauh berbeda dengan yang pernah ditemuinya di Pangrantunan dahulu. Kalau saja ia tidak mengenal jenggotnya yang panjang, rambutnya serta alisnya yang telah memutih seluruhnya, juga tidak di rumah Ki Ageng Gajah Sora, maka besarlah kemungkinan bahwa ia sudah tidak dapat mengenal lagi.
Melihat kedatangan anaknya serta Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum. Setelah Mahesa Jenar dan Gajah Sora suami-istri mengambil tempat duduk di atas sebuah tikar pandan di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana, berkatalah orang tua itu, Selamatlah kedatangan kalian setelah menunaikan kewajiban kalian yang berat.
Maka berceriteralah Gajah Sora atas segala pengalaman-pengalaman mereka berdua selama mereka berusaha untuk menemukan kedua keris pusaka dari Demak itu. Dan yang terakhir diceritakan pula kehadiran Sima Rodra dari Alas Lodaya yang berusaha untuk merebut kembali kedua keris itu. Juga diceriterakan bahwa mereka mendapat pertolongan Pendekar Sakti dari Banyuwangi. Mendengar cerita Gajah Sora itu Ki Ageng Sora Dipayana mengernyitkan alisnya yang sudah putih. Tampaklah bahwa orang tua itu sedang sibuk berpikir.
Kau memang beruntung Gajah Sora, bahwa Titis Anganten sempat membebaskan engkau dari tangan Sima Rodra itu. Kalau saja Pendekar Banyuwangi itu tidak menyaksikan pertemuanmu dengan Sima Rodra, kau berdua meskipun mempergunakan Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten maka tidak ada kemungkinan kau berdua dapat membebaskan diri dari padanya. Kalau hal itu terjadi maka kesalahan yang terbesar adalah terletak di pundakku. Aku terlalu menyisihkan diri dan yang terakhir terlalu sibuk dengan urusan-urusan kecil di Pangrantunan sehingga aku tidak tahu atas kedatangan Harimau Hitam itu. Dan yang pasti Pandan Alas pun masih belum tahu akan hal itu, sebab kalau ia tahu maka setidak-tidaknya ia akan mencegah Mahesa Jenar mendekati Gunung Tidar, ujar Ki Ageng Sora Dipayana.
Kemudian kembali Ki Ageng Sora Dipayana itu merenung. Mungkin ia sedang memecahkan cara untuk mengusir Sima Rodra itu dari Gunung Tidar.
Tetapi Sima Rodra bukanlah seorang yang dapat diremehkan. Ia mempunyai kesaktian yang setingkat dengan Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Pasingsingan dan sebagainya.
Tetapi bagaimanapun, dengan diketahuinya bahwa Sima Rodra ada di Bukit Tidar merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan. Sebab dengan demikian dapatlah diadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang tidak diharapkan.
Baiklah Gajah Sora…, kata Ki Ageng Sora Dipayana kemudian. Urusan Sima Rodra serahkan saja padaku. Itu merupakan soal orang tua-tua. Sekarang yang penting simpanlah Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten itu di tempat yang baik, sehingga keduanya aman sampai dapat kalian serahkan kepada kalangan Istana, jagalah bahwa hal itu merupakan rahasia sehingga tak seorangpun, meskipun orang dalam, boleh mengetahuinya, juga adikmu Lembu Sora.
Maka segera Ki Ageng Gajah Sora melaksanakan petunjuk-petunjuk ayahnya. Disimpannya Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten di dalam ruang tidurnya.
Setelah itu, setelah semuanya dilaksanakan dengan baik, segera Ki Ageng Sora Dipayana minta diri. Gajah Sora yang telah mengetahui tabiat ayahnya, sama sekali tidak menahannya. Sebab ia tahu betul bahwa apa yang dilakukan ayahnya sebagian besar adalah atas perhitungannya yang tepat.
Karena itu maka diantarkannya Ki Ageng Sora Dipayana itu sampai ke halaman belakang, bersama-sama dengan Mahesa Jenar. Dan pergilah orang tua itu tanpa ada yang mengetahuinya, kecuali mereka bertiga.
Setelah itu, Gajah Sora dan Mahesa Jenar segera pergi ke pendapa, menemui orang-orang yang sudah lama menanti untuk mendengarkan kemana Gajah Sora selama ini pergi. Tetapi apa yang dikatakan Gajah Sora hanya sekadar memuaskan hati mereka, sedangkan kepentingan yang sebenarnya sama sekali tak disinggung-singgung.
Meskipun demikian pembicaraan itu ternyata menarik juga. Pertanyaan-pertanyaan datang bertubi-tubi, yang kadang-kadang memang agak merepotkan. Tetapi dengan sedikit berputar balik, akhirnya puaslah semua orang.
Maka setelah pertemuan itu berlangsung beberapa saat, segera Gajah Sora dan tamunya minta waktu untuk beristirahat, sehingga sesaat kemudian bubarlah pertemuan itu.
Gajah Sora kemudian mempersilahkan tamunya untuk beristirahat di Gandok sebelah timur dimana sudah disediakan ruangan untuk Mahesa Jenar. Disana ia akan tinggal untuk beberapa waktu, memenuhi permintaan Ki Ageng Gajah Sora.
Keluarga Gajah Sora seluruhnya hanyalah terdiri dari tiga orang kecuali pembantu-pembantunya.
Gajah Sora dan istrinya yang ramah selalu melakukan kewajibannya dengan baik selaku seorang istri kepala Daerah Perdikan. Ia mengerti apa yang harus dilakukan, tidak hanya terhadap suaminya tetapi juga kepada rakyatnya. Ia selalu siap memberikan pertolongan-pertolongan yang diperlukan oleh penduduk wilayahnya. Kemudian seorang anak laki-laki, putra Gajah Sora.
Mahesa Jenar mengenal anak itu pertama kali ketika ia sedang duduk bersama-sama Ki Ageng Gajah Sora di halaman depan rumahnya. Tiba-tiba dari atas pohon melayanglah sebuah bayangan ke arah Gajah Sora. Mahesa Jenar yang tidak tahu-menahu, hampir saja menangkap bayangan itu. Tetapi ketika dilihatnya Gajah Sora tidak bergerak, Mahesa Jenar pun mengurungkan niatnya.
BAYANGAN itu kemudian dengan kuatnya melekat di punggung Ki Ageng Gajah Sora. Ternyata ia adalah seorang anak laki-laki yang berumur sekitar 13 tahun. Badannya tampak kuat dan agak gemuk. Wajahnya bulat mirip benar dengan wajah ayahnya. Ia sudah agak besar, tetapi karena ia putra satu-satunya, tampaklah bahwa ia agak manja juga meskipun tidak berlebih-lebihan. Menilik sikap dan geraknya, pastilah ia sudah banyak menerima pendidikan dan pelajaran-pelajaran dari ayahnya.
Ki Ageng Gajah Sora sendiri, umurnya agak terpaut sedikit dari Mahesa Jenar. Mereka setuju untuk memanggil dengan sebutan kekeluargaan. Karena Gajah Sora agak lebih tua dari Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar memanggilnya Kakang.
Di rumah Ki Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar merasakan ketenteraman hidup kekeluargaan. Berbeda sekali dengan jalan hidup yang ditempuhnya akhir-akhir ini. Pergi dari satu tempat ke tempat lain. Mengalami bermacam-macam kejadian yang sebagian besar adalah di luar kehendaknya.
Sekali-kali kalau ia sedang terbaring di ruang tidurnya, yang bersih dan teratur segala perabotnya. Timbullah iri hatinya kepada mereka yang berhasil membangun rumah tangga yang baik. Dalam saat-saat yang demikian, kadang-kadang merayap pula di dalam dadanya suatu keinginan untuk dapat menikmati kehidupan seperti ini.
Ketika ingatan Mahesa Jenar yang kadang-kadang melayang itu sampai kepada masa-masa yang baru saja dilampauinya, terbayang kembali dengan jelas satu persatu peristiwa-peristiwa itu muncul berganti-ganti di dalam angan-angannya. Teringatlah ia kepada sebuah halaman yang sejuk dan nyaman dari rumah Wirasaba yang digarap oleh istrinya yang cantik dan setia, yang karena kebodohannya, terpaksa terjadi kesalah-pahaman.
Suaminya, seorang yang tinggi hati, yang tidak mau mendapat pertolongan dari orang lain. Tetapi hatinya merasa lega, kalau diingatnya bahwa orang itu telah menemukan kesadarannya.
Kemudian ingatan Mahesa Jenar terlempar kepada suatu peristiwa di hutan Tambak Baya. Pertemuannya dengan Jaka Sora dan Lawa Ijo. Dan tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar ketika terbayang wajah seorang gadis yang ketakutan dan yang kemudian akan membunuh dirinya sendiri dengan keris Sigar Penjalin. Dan jantungnya terasa berdegup keras sekali ketika ia mencoba mengingat- ingat gadis itu, yang sedang tidur nyenyak di hadapannya. Tetapi kemudian Rara Wilis itu lenyap pula.
Yang ada kini hanyalah dirinya.
Dipandanginya kulitnya yang berwarna merah tembaga terbakar terik matahari. Tiba-tiba terasa bahwa belum waktunya bagi Mahesa Jenar untuk membayangkan ketenteraman hidup berkeluarga. Karena itu, maka jalan sebaik-baliknya adalah melanjutkan usahanya untuk melaksanakan tujuan hidupnya, bekerja keras diantara rakyat untuk kepentingan rakyat. Membebaskan mereka dari segenap gangguan kejahatan yang dilakukan oleh gerombolan-gerombolan liar dan jahat.
Ketika Mahesa Jenar bangun dari tidurnya pada suatu pagi yang cerah, ia mendengar derap kuda memasuki halaman. Dari celah-celah pintu yang kemudian dibukanya sedikit, ia dapat melihat rombongan orang-orang berkuda langsung menuju ke pendapa.
Ketika Mahesa Jenar melihat orang yang paling depan, ia mengernyitkan dahinya. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia menjadi muak melihat wajah itu. Berbeda sekali dengan Ki Ageng Gajah Sora yang tampak agung dan berwibawa. Tetapi orang ini, meskipun dari tetesan darah yang sama, sama sekali tak mempunyai ciri-ciri kebesaran seperti kakaknya. Karena itu Mahesa Jenar acuh tak acuh saja atas kedatangan adik Ki Ageng Gajah Sora, yaitu Ki Ageng Lembu Sora dengan beberapa pengiringnya.
Kembali pintu gandok itu ditutup. Kemudian Mahesa Jenar melemparkan dirinya di atas amben bambu yang panjang disisi ruang tempat tidurnya.
Sebentar kemudian terdengar suara ribut di pendapa. Rupanya mereka sedang sibuk menyambut kedatangan tamu-tamunya dari Pamingit. Terdengarlah kemudian suara Ki Ageng Gajah Sora dengan ramahnya mempersilahkan adiknya masuk ke pringgitan.
Ketika mereka semua sudah masuk, Mahesa Jenar berdiri, lalu dengan kesal pergi keluar ke samping gandok.
Mahesa Jenar melayangkan pandangan matanya ke dataran yang terbentang di bawah lambung bukit Telamaya. Di bagian barat terbentang tanah persawahan yang subur. Padi yang pada saat itu sedang menguning dan burung-burung yang terbang di atasnya. Tetapi burung-burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencuri butiran-butiran padi yang bergoyang-goyang karena tiupan angin pagi yang lembut, sebab anak-anak yang menungguinya selalu menghalau mereka, dengan goprak dan hantu-hantuan yang digerakkan dengan tali.
Di bagian timur, agak jauh menjorok ke utara terbentang rawa. Airnya yang gelisah memantulkan cahaya matahari yang masih merah, yang baru saja tersembul dari balik cakrawala. Beberapa perahu lesung para nelayan masih tampak hilir- mudik seperti sepotong lidi yang terapung-apung untuk menggali kekayaan yang tersimpan di dalamnya.
TIBA-TIBA Mahesa Jenar mendengar derap kuda yang lari sangat kencang seperti dikejar hantu. Kuda itu tidak masuk halaman lewat gerbang depan, tetapi menyusup melalui pintu butulan di samping. Mahesa Jenar memalingkan mukanya dengan agak segan-segan.
Anak itu lagi, desis Mahesa Jenar. Dan muncullah dari pintu butulan pagar itu seorang anak laki-laki yang berwajah bulat dan agak gemuk menunggang kuda hitam mengkilat. Ketika anak itu melihat Mahesa Jenar, cepat-cepat ia menghentikan kudanya.
Selamat pagi Paman, sapanya sambil menyeringai.
Dari mana kau Arya? tanya Mahesa Jenar kepada anak Ki Ageng Gajah Sora itu.
Arya Salaka itu tidak segera menjawab, tetapi dijatuhkannya sebuah benda yang cukup berat dari punggung kuda itu. Melihat benda itu Mahesa Jenar terkejut. Uling…? katanya.
Ya, Paman, aku dari Rawa Pening menangkap uling itu, jawabnya.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepalanya. Kau memang nakal Arya. Bukankah ayahmu telah melarangmu pergi ke Rawa Pening? Besok, kalau kau sudah bertambah besar tentu kau boleh pergi ke sana. Tetapi sekarang belum waktunya kau pergi sendiri, katanya.
Anak itu meloncat turun lalu mendekati Mahesa Jenar. Paman, jangan Paman katakan kepada ayah kalau aku pergi sendiri, bisiknya.
Lalu uling itu…? tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka diam termangu. Kemudian jawabnya, Aku katakan bahwa Pamanlah yang menangkap.
Mahesa Jenar tersenyum. Hampir semalam suntuk aku bersama ayahmu di pendapa itu. Bagaimana aku pergi menangkap uling? katanya.
Kembali Arya Salaka kebingungan. Akhirnya ia mendapat jawaban. Dengan tertawa ia berkata, Gampang Paman, aku akan katakan bahwa seorang kawan memberi aku uling sebagai hadiah.
Hadiah apa? tanya Mahesa Jenar.
Aku tidak tahu, Paman. Ia menjadi kebingungan lagi.
Tetapi seharusnya kau tidak pergi ke sana, Arya. Banyak bahayanya. Bukan saja uling-uling macam itu, tetapi uling yang tinggal di sebelah rawa itu akan lebih berbahaya bagimu, kalau mereka tahu bahwa kau adalah putra Ki Ageng Gajah Sora, kata Mahesa Jenar menasehati.
Anak itu memandang Mahesa Jenar dengan penuh perhatian. Uling Putih dan Uling Kuning, maksud Paman?
Mahesa Jenar mengangguk.
Baiklah Paman, tetapi pada suatu saat aku pasti akan dapat menangkapnya seperti menangkap uling itu.
Nah, pergilah, gantilah pakaianmu yang basah kuyup itu.
Tanpa menjawab, anak itu memutar tubuhnya lalu melangkah pergi. Tetapi demikian Mahesa Jenar memandang punggung anak itu, ia menjadi terkejut, sebab punggung itu terluka dan darah cair mengalir dari luka itu.
Arya… panggil Mahesa Jenar, kenapa punggungmu luka?
Luka…? tanya Arya keheranan. Ah tidak seberapa Paman.
Tetapi dari luka itu banyak mengalir darah.
Arya Salaka menggosok punggungnya dengan tangannya, dan terasa sesuatu yang cair dan hangat.
Uling itu mencoba melawan, Paman, katanya kemudian, Kami berkelahi beberapa lama. Tetapi akhirnya aku dapat membunuhnya.
Untunglah uling itu tidak menyeretmu ke dalam rawa, sahut Mahesa Jenar.
Kakiku dibelitnya, Paman, jawab Arya Salaka bangga. Dan memang ia mencoba menarik aku ke rawa. Tetapi tentu saja aku tidak mau. Rasa-rasanya tidak akan menarik berkunjung ke lubang uling. Karena itu aku berusaha membunuhnya dengan belati. Dan akhirnya sebagai Paman lihat sekarang, uling itu sudah mati. Kalau saja ibuku tidak tahu bahwa aku yang menangkapnya, pasti beliau senang untuk memasaknya.
Setelah berkata demikian, segera Arya meloncat dengan lincahnya menangkap ekor uling itu lalu diseretnya ke dapur sambil berlari-lari.
Mahesa Jenar menggeleng-gelengkan kepala. Luar biasa, katanya kepada diri sendiri.
Memang, sejak ia melihat anak itu pertama kali, ia sudah merasa kagum. Arya Salaka merupakan seorang anak-anak laki-laki yang memiliki bakat yang baik. Badannya kukuh dan otaknya pun ternyata dapat bekerja dengan baik. Uling adalah sebangsa binatang air yang mirip dengan ular dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia adalah belut raksasa. Tetapi anak ini dapat menangkapnya.
Sebentar kemudian terdengar suara Nyai Ageng Gajah Sora nyaring. Rupanya Nyai Ageng sedang memarahi Arya Salaka. Kemudian terdengarlah langkah Arya berlari-lari keluar dan langsung meloncat memanjat sebatang pohon. Dari sana ia meloncat ke atas atap yang dibuat dari papan, untuk bersembunyi.
Setelah itu tampak Nyai Ageng menyusul di belakang, tetapi Arya Salaka telah lenyap. Mahesa Jenar segera memalingkan kepalanya, dan pura-pura tidak mengetahui.
Tetapi ketika Nyai Ageng melihatnya, segera ia mendekati Mahesa Jenar, Kami mendapat tamu dari Pamingit, Adik dari Ki Ageng. Barangkali Adi Lembu Sora dapat memperkenalkan diri dengan Adi Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar pura-pura terkejut lalu membalikkan dirinya. Baiklah Nyai Ageng, sebaiknya aku mandi dulu, jawabnya.
Silakanlah Adi, katanya kemudian. Lalu ditinggalkannya Mahesa Jenar kembali seorng diri.
Dengan langkah-langkah segan Mahesa Jenar pergi menuruni tangga batu yang dibuat di lereng bukit di samping rumah Ki Ageng Gajah Sora, pergi ke mata air. Di sanalah biasanya ia mandi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk bertemu dengan Lembu Sora. Tetapi sebagai seorang tamu maka tak baik kalau ia menolak.
SETELAH Mahesa Jenar selesai membersihkan diri, segera ia pun naik ke pendapa dan langsung masuk ke pringgitan untuk menemui Ki Ageng Lembu Sora.
Melihat kehadiran Mahesa Jenar, segera Gajah Sora memperkenalkannya kepada Lembu Sora. Adi Lembu Sora, ini adalah Adi Mahesa Jenar, sahabatku yang telah lama tidak bertemu, katanya.
Kemudian kepada Mahesa Jenar ia berkata, Adi Mahesa Jenar…, Adi Lembu Sora ini adalah adikku satu-satunya yang sekarang memerintah daerah Perdikan Pamingit. Ia datang juga hanya untuk kunjungan kekeluargaan.
Ternyata memang Ki Ageng Lembu Sora seorang yang sombong. Ketika Mahesa Jenar membungkukkan diri menghormatnya atas perkenalan itu, ia mengangkat dadanya dan memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang merendahkan. Kemudian ia bertanya, Sahabat, adakah yang menarik perhatianmu, sampai kau datang dari jarak yang sedemikian jauhnya ke Banyubiru?
Pertanyaan itu sungguh tidak menyenangkan. Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar adalah tamu yang sopan, maka ia mencoba untuk tidak mengesankan ketidaksenangannya. Maka jawabnya, Ki Ageng, memang banyak yang menarik perhatianku di sini. Terutama keramah-tamahan penduduknya.
Lembu Sora menarik dagunya hampir melekat dadanya. Matanya menjadi berkilat-kilat. Rupanya ia merasakan sindiran halus yang diucapkan oleh Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak menjawab, sebab segera Gajah Sora yang bijaksana mengalihkan pembicaraan mereka ke hal-hal yang tak berarti.
Namun bagaimanapun ada suatu kesan yang dalam menggores di dalam jantung Mahesa Jenar, bahwa Ki Ageng Lembu Sora bukanlah seorang yang baik hati. Dan sebenarnyalah bahwa memang orang ini telah banyak memusingkan kepala ayahnya. Ki Ageng Sora Dipayana.
Andaikan Lembu Sora itu orang lain, maka mudahlah soalnya. Tetapi ia adalah anak Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora Dipayana. Di sinilah mulanya letak kesalahannya. Nyai Ageng Sora Dipayana dahulu terlalu memanjakan anak bungsunya, sehingga akhirnya anak ini susah diatur. Sedangkan Ki Ageng Sora Dipayana tidak mau mengecewakan istrinya, karena ia sangat menyayanginya.
Nyai Ageng Sora Dipayana adalah seorang istri yang setia, sejak Ki Ageng masih menjadi seorang yang harus mulai segala soal. Membuka hutan dan segala macam kerja yang harus dikerjakan dalam suasana sakit dan pedih.
Pada keadaan yang demikian, satu-satunya orang yang bersedia membantunya adalah almarhum istrinya itu. Karena itu, meskipun sekarang istrinya sudah tidak ada lagi, Ki Ageng Sora Dipayana tidak sampai hati untuk berlaku keras kepada anak kesayangan istrinya itu.
Setelah Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah cukup lama turut serta menemui Ki Ageng Lembu Sora, segera ia minta diri untuk pergi berjalan-jalan, melihat-lihat kota Banyubiru. Ia tidak ingin lebih lama lagi bercakap-cakap dengan Ki Ageng Lembu Sora, yang tampaknya tak mau menghargai orang lain. Sebab ia sendiri bukanlah orang yang amat kuat menahan hati.
Maka setelah ia mendapat izin dari tuan rumah, segera ia turun ke halaman dan berjalan keluar. Ia sama sekali tidak mempunyai tujuan kecuali sekadar menuruti langkah kakinya.
Tetapi demikian ia keluar halaman, dilihatnya seorang yang berdiri bersandar dinding. Orang ini belum pernah dikenalnya. Beberapa orang Banyubiru yang dekat dengan Gajah Sora sudah hampir dikenal seluruhnya. Melihat Mahesa Jenar keluar, segera orang itu memutar tubuhnya dan berjalan perlahan-lahan menjauhi gerbang.
Mahesa Jenar menjadi agak curiga. Tetapi apakah yang akan dilakukan di siang hari, dimana sinar matahari yang mulai terik ini membakar seluruh halaman?
Tetapi bagaimanapun, orang itu sangat menarik perhatiannya. Sehingga timbullah keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui maksud orang itu.
Maka segera Mahesa Jenar pun berjalan mengikutinya dari jarak kira-kira 50 langkah. Ia menjadi semakin curiga ketika orang itu beberapa kali menengoknya dan mempercepat langkahnya.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut melihat bayangan yang melayang dari sebatang pohon di pinggir jalan, langsung menyerang orang yang diikutinya.
Ia menjadi bertambah terkejut ketika diketahuinya bahwa bayangan itu adalah Arya Salaka yang tak diketahui sebab-sebabnya menyerang orang yang berjalan di depan Mahesa Jenar itu.
Ternyata orang itu pun bukan orang sembarangan. Dengan tangkasnya ia mengelakkan diri, bahkan sekaligus ia berputar sambil menyerang dengan tumitnya. Arya Salaka, ketika tidak berhasil menyerang orang itu dari atas pohon, rupanya menyadari bahwa lawannya berbahaya. Karena itu ia pun segera bersiap, sehingga ketika kaki lawannya melayang ke perutnya, ia meloncat mundur.
Demikian kaki yang tak berhasil mengenainya itu berdesing di hadapan perutnya, Arya Salaka segera meloncat sambil menghantam dada orang itu.
Tetapi bagaimanapun Arya Salaka adalah seorang anak yang belum dewasa. Apalagi lawannya ternyata memiliki kecepatan bergerak, sehingga demikian Arya Salaka meloncat, demikian ia masuk ke dalam perangkap lawannya. Tangannya yang terjulur untuk menyerang itu dapat ditangkap dan dengan sekali gerak tangan itu dipilinnya.
Tetapi Arya Salaka ternyata cerdik juga. Ia mengikuti saja putaran tangannya, tetapi demikian ia membelakangi orang itu demikian cepat ia menendangnya.
Orang itu sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak itu dapat berbuat demikian, sehingga karena hal yang sama sekali tak terduga-duga itu ia terlontar ke belakang dan tangkapannyapun lepas.
Rupanya orang itu menjadi marah sekali. Matanya tampak berapi-api dan dengan tidak ragu-ragu lagi ia pun meloncat maju menghantam Arya Salaka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga Arya Salaka tidak sempat mengelak. Maka yang dapat dikerjakan hanyalah menangkis pukulan itu.
BAGAIMANAPUN kuatnya, Arya Salaka adalah seorang anak yang sama sekali tak seimbang dengan lawannya. Maka demikian tangannya yang disilangkan di muka kepalanya itu terbentur tangan lawannya, ia terpental jauh dan hampir saja kepalanya membentur dinding halaman. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cepatnya meloncat dan menangkap Arya Salaka.
Arya Salaka berdesis menahan sakit. Tangannya terasa panas seperti terbakar. Tetapi meskipun demikian ia masih saja akan meloncat maju kalau tidak ditahan oleh Mahesa Jenar, sehingga ia meronta-ronta berusaha melepaskan pegangan itu.
Lepaskan…, lepaskan aku Paman, teriak Arya Salaka.
Orang yang diserangnya itu rupanya juga benar-benar marah. Lepaskan anak kurangajar itu, biar aku pecahkan kepalanya, katanya.
Tunggu dulu Arya…. Apakah sebabnya kau menyerang orang itu? tanya Mahesa Jenar perlahan-lahan.
Ia berjalan hilir-mudik dan mengintai-intai rumah kami. Mungkin ia seorang penjahat yang akan memasuki rumah kami ini, jawabnya.
Tutup mulutmu! hardik orang itu.
Tutup sendiri mulutmu, balas Arya Salaka. Selama ini, di kota ini tidak ada orang yang bertingkah laku seperti kau. Tak pernah kota ini ada kejahatan seperti kota-kota lain. Dan kau aku kira bukan orang Banyubiru, yang datang untuk membuat onar di sini.
Mendengar makian Arya Salaka, orang itu tak dapat menahan diri lagi. Karena itu ia melangkah maju dan dengan tangannya yang kuat ia menampar muka Arya Salaka.
Tetapi Arya Salaka sudah berada di tangan Mahesa Jenar. Karena itu sudah pasti kalau Mahesa Jenar tidak akan membiarkan begitu saja hal itu terjadi. Maka ketika tangan itu sudah terayun, Mahesa Jenar memutar tubuhnya dan memasang sikunya, sehingga tangan orang itu mengenai siku Mahesa Jenar.
Mengalami perlakuan Mahesa Jenar, orang itu menjadi semakin marah.
Apamukah anak ini…? Anakmu…? Kalau begitu kau tak pandai mengajar anakmu sehingga anakmu kurangajar, bentaknya.
Tunggu dulu… jawab Mahesa Jenar, Jangan berlaku kasar terhadap anak-anak. Memang barangkali anak ini terlalu nakal, tetapi biarlah orang tuanya yang mengajarnya. Seharusnya kau melaporkan saja kepada ayah bundanya. Sedang kau sendiri, memang dapat menimbulkan sangkaan yang bukan-bukan. Sikapmu agak mencurigakan.
Wajah orang itu menjadi merah padam. Kata-kata Mahesa Jenar sangat menusuk perasaannya. Karena itu, hampir berteriak ia kembali membentak, Apa hakmu berkata demikian. Adakah kau pengawal kota atau Kepala Daerah Perdikan ini?
Aku bukan apa-apanya, jawab Mahesa Jenar, masih setenang tadi. Tetapi tiap-tiap warga kota ini berhak turut serta menjaga keamanan kotanya. Dan bukankah kau bukan penduduk Banyubiru?
Mata orang itu menjadi semakin berapi-api. Tetapi rupanya ada sesuatu pertimbangan yang menahannya untuk tidak berbuat sesuatu. Akhirnya ia berkata lantang, Tak ada gunanya aku melayani orang-orang gila macam kau dan anak itu.
Lalu ia memutar tubuhnya, dan melangkah pergi. Tetapi kali ini Mahesa Jenar yang kemudian tidak membiarkan orang itu pergi. Ia segera menahannya.
Nanti dulu, bukankah kau bermaksud melaporkan anak ini kepada ayahnya. Nah, marilah aku antar kau kepadanya. Ayah anak ini adalah Ki Ageng Gajah Sora, kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar, segera wajah orang itu berubah. Sebentar kemudian nampak ia menjadi pucat dan gemetar. Tetapi sebentar kemudian kembali wajahnya menyala-nyala. Kemudian kembali ia melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Melihat sikapnya, Mahesa Jenar bertambah curiga. Segera Arya Salaka dilepaskan dan didorongnya ke pinggir, sedangkan ia sendiri segera meloncat untuk menghadang orang yang dicurigainya itu.
Tunggu dulu… urusan kita belum selesai, katanya.
Terdengar gigi orang itu gemeretak menahan marah. Sikap Mahesa Jenar dirasa sudah keterlaluan. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk menghindari bentrokan. Tidak ada persoalan diantara kita, sebaiknya kau jangan memulainya, kata orang itu.
Orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu segera tertarik dan mengerumuninya. Mereka mengenal Mahesa Jenar sebagai sahabat Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa orang diantara mereka bertanya-tanya, apakah yang terjadi…?
Belum lagi Mahesa Jenar sempat menjawab, Arya Salaka telah mendahului berceritera dengan suara yang mengalir seperti air terjun.
Orang itu menjadi semakin gelisah, wajahnya kembali menjadi pucat. Jangan dengarkan omongan anak itu. Sekarang beri aku jalan, katanya.
Ki Sanak… potong Mahesa Jenar, kenapa kau begitu tergesa-gesa. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu kepada penduduk Banyubiru ini supaya mata mereka tidak menyorotkan pandangan kecurigaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar